Senin, 07 November 2016

Tak Ada Yang Bisa Dibela

Tak Ada yang Bisa Dibela
Oleh: Yudi Latif

(Kompas, Selasa, 8 November 2016)

Unjuk rasa 4 November itu begitu fantastis baik dari segi kuantitas mapun kualitas. Jumlah massa yang terlibat sebanding dengan penggelaran kekuatan rakyat padaperistiwa 1998.  Demonstrasi ini juga memperlihatkan sisi-sisi keadaban publik yang membanggakan: tertib, bersih, terkendali.

Memang  ada  sedikit  kerusuhan  di  waktu tambahan.  Namun,   insiden   seperti   itu, kendati tak bisa dibenarkan, kerap terjadi dalam aksi demonstrasi. Sekiranya aparat keamanan   bisa   terus   menempuh   cara-cara   persuasif   ketimbang   instrumen pengusiran secara paksa, mungkin ceritanya bisa berbeda. Sekiranya para pemimpin aksi secara biadab menyerukan massa untuk bereaksi lewat jalan amuk, ceritanya juga bisa berbeda. Nyatanya, situasi bica cepat diatasi; massa pulang dengan tenang. Pidato Presiden yang menuding kerusuhan itu ditunggangi aktor politik, kalaupun benar adanya, tidaklah bijaksana. Ketidakmatangan komunikasi politik seperti itu bukannya   meredakan,   malah   bisa   memanas-manasi   api   resistensi   terhadap pemerintah.

Tinggal   masalahnya,   dengan   pengerahan   massa   sebanyak   itu,   anak   panah demonstrasi ini mau diarahkan ke mana dan untuk apa? Apakah pengerahan daya-upaya  raksasa ini  sekadar  untuk “menghukum” seorang Basuki  Tjahaja Purnama(Ahok) dengan tuduhan penistaan agama, sehingga terpental dari bursa pemilihan calon   gubernur   Jakarta?   Ada   banyak   hal   yang   tidak   terkatakan   lewat   ekspresi demonstrasi ini.

Pertama, munculnya isu penistaan agama itu  membersitkan kecenderungan yang disebut Julian Benda “pengkhianatan intelektual” di ruang publik kita. Banyak orang cerdik-pandai   yang   terseret   dalam   arus   kepentingan   pragmatis   dan   semangat partisan   yang   membuta,   sehingga   tidak   punya   kelapangan   dan   kepekaan   nurani dalam mengambil tindakan yang mempertaruhkan keselamatan bangsa. Sekiranya seorang   ilmuwan   patuh   pada   kaidah-kaidah   ilmiah   dan   punya   tanggung   jawab intelektual, masalah ini bolehjadi tidak akan pernah ada.

Tentang isu penistaan agama sendiri, sesungguhnya merupakan tuduhan yang masih bisa diperdebatkan. Sekiranya   ucapan Ahok menyangkut Surat Al-Maidah ayat 51 itu   dilihat   dalam   konteks   pernyataannya   secara   utuh,   kita   tidak   bisa   menarik kesimpulan yang tunggal bahwa Ahok telah melakukan penistaan. Dengan kata lain, jika   pengadilan   tidak   tunduk   pada   opini   mahkamah   jalanan,   Ahok   belum   tentu dinyatakan bersalah. Kita   harus   secara   jujur   mengakui   bahwa  tuduhan   penistaan   agama  ini   hanyalah deskripsi   tipis   dari   penjelasan   lebih   tebal   tentang   gemulung   kecemasan   yang berkecamuk   di   kegelapan   jiwa   bangsa.  

Dalam   kaitan   ini,   Ahok   tidaklah   berdiri sendiri, melainkan mewakili komunitas yang dibayangkan kaum  “Pribumi”-Muslim, sebagai ancaman dari “yang lain” (the significant other).  Bahwa Tionghoa itu secara stereotip diidentifikasikan dengan pengusaha besar, angkuh, dan eksklusif.   Gaya bicara   ahok   yang   terkesan  over-confident,  bertutur   kasar,   disertai   ketegaan menggusur   rakyat   miskin   dan   relasinya   dengan   pengembang,   secara   sempurna mewakili bayangan kecemasan  tersebut.

Di sisi lain, belasan tahun orde demokrasi reformasi, kebebasan sebagai  negative rights (bebas “dari” segala represi dan pembatasan) mengalami surplus. Bersamaan dengan arus globalisasi, masuk berbagai paham baru yang di tanam di atas tanah-tanah yang telah diolah oleh gerakan-gerakan kegamaan sebelumnya. Ketika ormas-ormas keagamaan mapan gagal menjadi gembala dan pembela rakyat miskin yang terlempar   dari   pasar,   aktivis-aktivis   keagamaan   militan   mengambil   alih kepemimpinan atas mereka. Dengan memanfaatkan momentum keterbukaan ruang publik, kaum miskin kota ini diledakkan dalam gairah “kejahatan  kebencian” (hate crime).

Dalam pada itu, kebebasan sebagai positive rights (bebas “untuk” meraih kehidupan yang lebih baik) gagal dijalankan oleh komunitas politik. Dunia politik mengalami surplus   politikus,   defisit   negarawan.   Negarawan   adalah   aktor   politik   yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada negara. Sedangkan politikus adalah aktor politik yang menempatkan negara dalam pelayanan pada dirinya. Sedemikian rupa gairah menjadi politikus itu bahkan tak bersedia naik menjadi pandita setelah turun dari tahta keprabuan. Di tangan para politikus oportunis ini, rakyat bisa diadu domba, keselamatan negara dan bangsa bisa dikorbankan, demi kepentingan sesaat.

Banyak politikus dan pemimpin politik naik panggung dengan retorika populisme, namun dalam  kenyataannya tetap  berkhidmat pada  neo-liberalisme, sebagai cara mempertahankan kekuasaan. Dengan mengedepankan kepentingan jangka pendek, setiap pemimpin   yang   tampil  tidak   punya   komitmen  untuk   melakukan penataan mendasar  sistem   ketatanegaraan   kita,   sebagai  cara  memperkuat   konsepsi   negara kekeluargaan dan negara keadilan. Demokrasi berjalan menurut logika pasar, yang menempatkan negara sebagai pelayan modal. Akibatnya, kesenjangan sosial makin lebar, yang kian melambungkan kecemburuan sosial.

Tampak jelas, dalam kasus Ahok ini semua pihak bersalah. Tak satu pun pihak yang bisa dibela. Yang bisa menuntun kita keluar dari lorong gelap ini adalah berpihak pada kebenaran.   Jika kita mau jujur,  Ahok hanyalah “korban” kecemasan karena ketidakmampuan   kita   menegakkan   prinsip-prinsip   kehidupan   publik   yang   sehat.

Adalah   salah   menjegal   hak   politik   setiap   warga   hanya   karena   sentimen   etnis-keagamaan.     Namun,   perlu   diingat   bahwa  setiap   warga   negara,   bahkan   jika dipandang   sebagai   subjek   hukum,   bukanlah   individu-individu   abstrak   yang tercerabut dari akar-akar sosialnya. Dalam asosianya dengan akar sosial ini, stigma superioritas dan eksklusivitas golongan tertentu harus dijawab dengan usaha-usaha inklusivitas sosial yang lebih baik. Tugas kenegarawanan harus mampu berdiri di
atas   dan   untuk   semua   golongan,   dengan   mengupayakan   persatuan   dan   keadilan lewat penataan ulang sistem ketatanegaraan dan demokrasi kita. 

(Yudi Latif, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar