Minggu, 06 November 2016

Ricuh Pasca Aksi Islam 4/11 dan Agenda Setting

Ricuh Pasca Aksi Massa Islam 4/11 dan Agenda Setting

Oleh Andi Hakim

Kuncian dua minggu penyelidikan penistaan agama Ahok yang disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada perwakilan aksi massa Islam adalah pukulan kepada rival elit politik lainnya.

Ada dua hal yang perlu kita telisik secara hati-hati dari ricuh pasca aksi damai umat Islam.

0.1
Pertama bolehlah kita sebut Jusuf Kalla pahlawan pemerintahan dari aksi massa 4/II yang dihadiri ratusan ribu umat islam dari berbagai pulau di tanah air.

Pada saat aksi-aksi serupa terjadi pula di puluhan kota lainnya di Indonesia, di Jakarta, dimana seharusnya Presiden sebagai lembaga tertinggi birokrasi mengambil keputusan rupanya telah meninggalkan Ibu kota. Kehadiran Menteri Setkab Pramono Anung, dan Menkopolhukkam Wiranto untuk menerima utusan massa aksi tidak memuaskan massa yang ingin agar Presidenlah yang segera mengambil sikap karena lembaga ini merupakani birokrasi tertinggi pemerintahan jauh di atas Gubernur. Satu tuntutan yang wajar dan masuk akal dari massa aksi.

0.2 

Sayangnya ketika lautan aksi massa Islam yang berlangsung damai di Ibukota menuntut keputusan penting untuk diambil Presiden -sekali lagi presiden- sebagai lembaga tertinggi birokrasi untuk memerintahkan penyelidikan atas gubernur Ahok, Jokowi menghilang ke Tangerang. Ia berpikiran buruk bahwa ratusan ribu umat Islam akan merangsek, menyeretnya dan memukulinya ke jalan.

Ia menganggap enteng tuntutan aksi massa Islam dan memilih menjadi Mandoor proyek kereta api Bandara.  Seolah-olah di jantung Ibukota tidak terjadi apa-apa,  Jokowi dengan pose fotografis mengawasi pekerjaan proyek yang sebetulnya bukan pekerjaannya. 

Kita faham jika yang dikerjakan Jokowi dengan Mendadak Mandor ini adalah satu bentuk kepura-puraan standar yang dilakukan in case Jakarta rusuh (sebagaimana nasehat polhukkam dan intelejen). Ia akan dengan mudah dievakuasi dengan pesawat yang sudah menunggu di runway-23-22.

Di sinilah kemudian kita melihat bahwa pada aksi kemarin Jusuf Kalla adalah pahlawan bagi ratusan ribu massa umat Islam. Keberanian Jusuf Kalla, untuk memilih untuk tetap tinggal di Istana Wakil Presiden Merdeka Utara pada 4 November adalah satu sikap kenegarawan yang luar biasa.

Ia bukan saja mengambil-alih tanggungjawab kepemimpinan nasional pada saat Djokowi Mendadak Mandoor namun dengan tegas menetapkan waktu 2 minggu kepada perwakilan massa aksi umat Islam untuk kepastian penyelidikan Ahok.

0.3
Di sinilah kemudian, sikap Jusuf Kalla, yang juga dikenal sebagai tokoh KAHMI-HMI tidak menyenangkan elit politik di lingkaran Jokowi yang berharap bahwa momentum aksi kemarin akan berlangsung dengan hasil datar-datar saja tanpa menjanjikan apapun kepada ratusan ribu umat Islam peserta aksi massa.

Kuncian 2 minggu dari Jusuf Kalla akan menjadi tanggungjawab pemerintah dan garansi bagi mereka untuk kembali dan memastikan bahwa aksi serupa akan datang dalam kekuatan lebih besar lagi bila tidak dipenuhi.

Sebaliknya hal ini tidak akan menyenangkan pihak yang berharap Ahok perlu diselamatkan karena sedemikian berharga bagi investasi politik-ekonomi mereka.

Sehingga dapat kita baca dengan mudah kemana arah Agenda Politik Kepentingan melalui Framing Media yang memanfaatkan  mahasiswa anggota HMI sebagai dalang kericuhan pasca aksi damai umat islam. Strateginya dengan cara mem-framing unjuk rasa ratusan ribu umat Islam seolah-olah itu hanya didomplengi agenda kepentingan satu dua elit aktor. Elit tanpa bentuk ini pun nantinya yang dikambinghitamkan kepada  aksi kelompok mahasiswa Hmi sebagai biang kericuhan. Tujuannya mengadu domba  antar umat Islam yang satu dengan lainnya dan menghilangkan makna dari unjuk rasa damai sebelumnya.

Devide et empera, gaya psywar lempar batu sembunyi tangan, lembar sendal sembunyi-tanggungjawab seperti ini kita faham mirip pekerjaan jendral-jendral zaman orde baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar