Minggu, 13 November 2016

AHOK: Tersangka, tidak, tersangka, tidak?

AHOK:  Tersangka, Tidak, Tersangka, Tidak?

oleh :  Denny JA

Rakyat Jakarta, juga wilayah lain di Indonesia, sampai tanggal 18 November 2016 nanti seperti dalam tradisi di banyak daerah: menghitung bunyi tokek.

Ketika tokek berbunyi, kita menduga Ahok tersangka. Bunyi tokek berikutnya, kita menduga Ahok tidak tersangka alias bebas. Bunyi tokek setelah itu: Ahok tersangka. Dan seterusnya sampai tokek berhenti berbunyi.

Tersangka atau tidak tersangkanya Ahok akan ikut menentukan banyak hal. Yang akan terpengaruh bukan saja nasib Ahok pribadi dan pilkada Jakarta. Bukan pula mereda dan membesarnya aksi protes. Namun juga sikap publik kepada pemerintahan Jokowi sendiri.

Seriusnya masalah ini cukup dengan melihat hal yang paling kasat mata: Aksi Demo 4 November 2016. Itu people power yang mungkin terbesar yang pernah ada. Demo mengarah ke istana negara pula.

Ia people power karena umumnya peserta demo membiayai sendiri kedatangannya. Ada pula yang dibiayai komunitasnya. Mustahil terkumpul massa sebanyak itu jika tak ada girah. Mustahil manusia bersatu sebesar itu jika tidak dihayati dan meluasnya tuntutan  keadilan.

Jika suara satu manusia saja perlu didengar, apalagi suara mereka.

-000-

Mari kita berhitung. Variabel apa saja yang menentukan Ahok tersangka atau tidak tersangka (dibebaskan). Variabel ini bisa memang seharusnya menjadi penentu. Bisa pula variabel itu justru dilarang dihitung namun dalam kenyataannya pasti berpengaruh. Setidaknya ada empat variabel penting.

VARIABEL PERTAMA: supremasi hukum. Karena ini kasus hukum, dengan sendirinya prinsip hukum yang seharusnya paling menentukan. Yang lain hanya  unsur meringankan atau memberatkan.

Problemnya dalam dunia hukum berlaku diktum: "jika dua ahli hukum berjumpa akan ada tiga pendapat." Pihak yang didakwa atau pihak yang mendakwa sama sama memiliki ahli hukum dengan tafsirnya masing masing.

Semata dari kaca mata argumen hukum, Ahok tersangka atau Ahok bebas bisa sama kuatnya. Namun jika dilihat yurisprudensi, kemungkinan Ahok tersangka lebih kuat.

Apa itu yurisprudensi? Itu istilah untuk kumpulan keputusan hakim sebelumnya untuk perkara yang kurang lebih sama, untuk perkara yang tak secara eksplisit kata per kata diatur dalam aturan yang ada,  yang umumnya dijadikan dasar keputusan hakim saat ini.

Sudah ada dalam tradisi hukum Indonesia beberapa kasus yang dianggap menista agama. Salah satunya kasus ibu Rusgiani (44 tahun). Ia  ibu rumah tangga dihukum 14 bulan karena dianggap menista agama Hindu di Bali.

Kasusnya di tahun 2012 ketika ibu Rusgiani lewat di rumah ibu Ni ketut Surati di Badung, Bali. Sambil lewat di rumah itu, ibu Rusgiani berkomentar: Canang di depan rumah ibu ketut najis. Canang itu adalah tempat sesaji untuk agama Hindu.

Ujar Rusgiani "Tuhan tak bisa datang ke rumah itu karena canang itu jijik dan kotor." Rusgiani menyampaikan opini karena keyakinanannya selaku orang Kristen, Tuhan tak membutuhkan persembahan.

Karena pernyataan pendek itu, Rusgiani dianggap menista agama dan dihukum. Ia berkomentar yang pejoratif, merendahkan ajaran agama lain.

Terlepas kita setuju atau tidak dengan hukuman ibu Rusgiani, namun fakta hukum itu terjadi. Dalam tradisi hukum, keputusan hakim ini menjadi yurisprudensi. Ia dijadikan bahan hakim dalam memutuskan perkara untuk kasus yang kurang lebih sama.

Yurisprudensi ini memberatkan kasus Ahok untuk surat Al Maidah karena Ahok dari penganut agama yang berbeda.

VARIABEL KEDUA:  political will pihak yang berkuasa. Dalam norma, hukum tak boleh dipengaruhi oleh kepentingan pihak penguasa. Namun kenyataan bisa berbeda. Di dunia yang Rule of Law nya belum matang, justru acapkali suara penguasa  lebih menentukan.

Untuk itu pula kita kenal istilah hukum yang "tajam ke bawah namun tumpul ke atas." Atau istilah "play favoritism," orang tertentu diistimewakan dan dilindungi.

Inilah yang kita beredar luas di sosial media. Kedekatan Kapolri Tito dengan Ahok disebarkan. Apalagi Kapolri pernah menjelaskan kepada publik yang terkesan membela Ahok.

Aneka berita online tanggal 5 november 2016 misalnya mengutip pernyataan Kapolri: "Bukan maksud membela, Ahok tidak bermaksud menista agama," seperti  yang dimuat di m.liputan6.com.

Seketika media sosial media dipenuhi debat soal mengapa pula Kapolri memberi opini. Seharusnya ia netral saja dan biarkan opini itu diberikan oleh pihak pembela Ahok nanti.

Kedekatan Jokowi dengan Ahok dianalisa pula. Aneka kasus korupsi yang menimpa Ahok di KPK tak kunjung mampu membuat Ahok tersangka. Beredar pula isu mengenai penyebabnya karena intervensi Jokowi. Tak heran demo 4 November tempo lalu diarahkan kepada Jokowi yang dianggap menjadi bapak pelindung Ahok.

Berbeda dengan opini itu, saat ini saya meyakini Jokowi dan Kapolri sepenuhnya tunduk pada supremasi hukum. Gelombang protes kini terlalu besar untuk membuat mereka tidak netral. Jokowi dan Kapolri sepenuhnya sadar bahkan Presiden Suharto yang jauh lebih kuat pun bisa tumbang jika rakyat merasa ada ketidak adilan yang dilindungi penguasa.

Ini hukum besi dewi keadilan. Penguasa yang rasional pasti tahu itu.

Dengan asumsi baik, saya menganggap variabel kedua: political will penguasa setelah gelombang demo 4 november sepenuhnya netral. Penguasa, termasuk Jokowi dan Kapolri,  tidak memihak atau melawan Ahok tapi menyerahkan kepada proses hukum. Ini sikap yang kita puji.

VARIABEL KETIGA: pandangan ulama dan ahli agama. Karena kasus ini soal penistaan agama, maka para ulama dan ahli agama yang paling mengerti. Dalam dunia puisi ada pameo: "Yang bukan penyair jangan ambil bagian." Hal yang sama bisa dianalogkan: "Yang tak mengerti agama secara mendalam, jangan ambil bagian."

Tanggal 9 November 2016, media online dipenuhi berita mengenai Tausiah kebangsaan. Sebanyak 99 perwakilan ulama dan aneka organisasi Islam besar menyatakan pendapat.

Antara lain berbunyi:
Memperkuat Pendapat Keagamaan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tanggal 11 Oktober 2016 tentang penistaan agama.

Juga mendukung pernyataan sikap PBNU dan PP Muhammadiyah yang merupakan pendapat dan sikap sesuai ajaran Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Al-Hadits.

Pendapat Keagamaan tersebut dikeluarkan sebagai kewajiban para ulama dalam menjaga agama dan mendorong kehidupan duniawi yang tertib, harmonis, penuh maslahat.

Menyesalkan ucapan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Pulau Seribu.

Ucapan tersebut jelas dirasakan Umat Islam sebagai penghinaan terhadap Agama Islam, Kitab Suci Al Qur'an, dan ulama, karena memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama lain.

Pimpinan MUI juga berulang-ulang menegaskan sikapnya. Pesannya jelas bahwa Ahok dianggap sudah melewati batasnya, memberi komentar yang pejoratif atas agama orang lain. Ini bukan fatwa, tapi lebih tinggi lagi, pendapat keagamaan satu satunya Mejelis Ulama di Indonesia.

Memang ada tafsir alternatif dari aneka intelektual dan ulama soal benar tidaknya Ahok menista agama. Buya Syafii Ma'arif termasuk yang tak setuju Ahok dianggap menista  agama.

Namun induk organisasi Buya Syafi'i Ma'arif, PP Muhammadiyah, dan teman sesama senior di Muhammaidyah, seperti Amien Rais serta Din Syamsudin, ada di seberang sana dan bergabung di belakang sikap resmi MUI.

Yang menyatakan Ahok menista agama jauh, jauh, jauh lebih banyak dan berpengaruh. Untuk variabel domain ahli agama, lebih berat kemungkinan Ahok tersangka.

VARIABEL KEEMPAT: opini publik Jakarta. Dalam sistem hukum, opini publik adalah non-faktor. Ia  tak boleh mempengaruhi keputusan hukum.

Hukum tak boleh tunduk pada opini publik. Namun ketika argumen hukum sama kuat, opini publik diperhitungkan.

Bagaimana opini publik Jakarta soal Ahok kasus Al Maidah? Survei LSI baru saja selesai. Survei dilakukan memotret opini  populasi penduduk Jakarta pada periode 31 oktober-5 November 2016.

Hasilnya: 73.20 persen menyatakan Ahok bersalah untuk kasus surat Al Maidah. Sebanyak 10. 50 persen menyatakan Ahok tidak bersalah. Jomplangnya terlalu besar, sekitar TUJUH banding SATU untuk opini Ahok bersalah atau tidak.

Dengan kata lain, dari 10 orang penduduk Jakarta yang berkomentar soal Ahok dan surat Al Maidah: 7 dari 10 menyatakan Ahok salah. Hanya 1 dari 10 yang menyatakan Ahok tidak salah.

Pembaca dapat pula menempatkan dirinya. Apakah anda termasuk grup yang tujuh? atau grup yang satu?

Publik opini juga sangat sangat memberatkan Ahok.

-000-

Jika empat variabel itu dijadikan indeks, besar kemungkinan sebelum atau di tanggal  18 November 2016, Ahok menjadi tersangka. Ahok tetap bisa mengikuti semua urusan pilkada. Status tersangka tidak membatalkan pencalonannya sebagai gubernur.

Ketika Ahok diputuskan tersangka, apa yang terjadi pada publik Jakarta? Tujuh orang dari 10 akan setuju. Satu orang dari 10 tak setuju. Dua dari 10 tak berpendapat.

Namun sekali lagi banyak hal yang tak terduga. Kata pecandu olahraga: Bola itu bundar. Bisa pula Ahok ternyata dibebaskan. Banyak hal terjadi di luar analisa rasional.

Karena itulah kita menunggu bunyi tokek saja hinggal 18 November ini soal Ahok: Tersangka, Tidak, Tersangka, Tidak, Tersangka. Terus saja kita menunggu hingga tokek berhenti berbunyi.***

13 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar