Rabu, 01 Mei 2013

MENGOKOHKAN PERAN DAN FUNGSI BPL HMI DI ERA KONTEMPORER


MENGOKOHKAN PERAN DAN FUNGSI BPL HMI DI ERA KONTEMPORER

DInamika perkaderan HMI yang mengalami degradasi hingga dititik nol harus dibangkitkan lagi. Recoveri harus diwujudkan dalam perkaderan HMI, proses perkaderan HMI dari mulai berdiri, baik yang bersifat informal, sekedar kajian dan diskusi  para mahasiswa hingga tahun 60-an telah menjadi cikal bakal budaya intelektualitas di HMI, hingga pada kepemimpinan Ismail Hasan Metarium mulai memikirkan untuk bagaimana mengadakan pelatihan formal dan berjenjang dalam rangka mewujudkan insan muslim intelektual. Dari kajian perkaderan, seminar hingga lokakarya perkaderan maka baru tahun 70-an ketika HMI dipimpin Cak Nur mampu mewujudkan jenjang training perkaderan di HMI.
            Perkaderan HMI dari masa kemasa telah mengalami degradasi yang diikuti dengan kompleksitas permasalahan di internal HMI yang tidak di imbangi dengan proses rekruitmen yang baik, proses kaderisasi yang ideal dan out put yang kebanyakan diorientasikan pada dunia politik. Tentunya hal ini telah membuat penurunan kualitas kader-kader HMI dari tahun ke tahun. Sehingga pada awal tahun 2000-an dibentuklah kelembagaan yang secara mandiri diharapkan mampu mencetak instruktur-instruktur handal untuk mengelola training yang berkualitas dan mampu menjaga ritme perkaderan informal (cultural) di HMI, yaitu BADAN PENGELOLA LATIHAN (BPL) HMI. BPL berdiri ditahun 2002, menggantikan peran dari LEMBAGA PENGELOLA LATIHAN yang dianggap kurang bisa menjaga standar quality controle Perkaderan HMI.
            Namun waktu bergulir dengan begitu cepat, banyak konsep gagal yang telah ditorehkan oleh badan ini secara kelembagaan baik dari tingkat PBHMI, Badko dan Cabang. Secara kelembagaan tidak bisa mengkonsolidasikan untuk membentuk BPL CABANG DAN KORWIL secara merata diseluruh jenjangnya. Begitu juga dengan gagalnya penerapan TRAINING INSTRUKTUR yang sampai empat jenjang, dari TRAINING INSTRUKTUR TINGKAT DASAR hingga TRAINING INSTRUKTUR TINGKAT PROFESIONAL tidak pernah diadakan hingga tuntas, antara aturan yang ada dan realitanya tidak konsisten. Sehingga yang menjadi pertanyaan hari ini adalah kemana peran dan fungsi BPL HMI dalam perkaderan HMI, Tiga periode telah berlalu, dari kepengurusan Chasbulloh Khatib, M. Istazkiya dan M. Yusro Khazim, namun belum mampu mengaplikasikan peran dan fungsinya sebagai lembaga yang menggawangi proses kaderisasi secara nasional.
            Bayang-bayang krisis instruktur melanda hampir seluruh kader HMI, alumni pun merasakan betul, bagaimana proses regenerasi instruktur di HMI tidak berjalan sesuai dengan mestinya. Instruktur HMI mengalami keterputusan generasi, sehingga training-training formal HMI terus bergantung pada peran alumni, sedangkan kader yang masih aktif dianggap kurang mumpuni. Dan selama beberapa kurun waktu ini, PBHMI melalu Bidang PA juga tdak pernah mengkaji secara mendalam dan bagaimana menangani permasalahan ini. Sehingga kekosongan instruktur yang masih aktif sangat minim, bahkan bisa dikatakan nihil dibeberapa badko dan cabang.
            Ketidakmampuan kader-kader HMI untuk mengkoreksi pedoman perkaderan HMI tahun 2000 telah menjadikan proses perkaderan ini stagnan. Kader-kader HMI tidak mampu memberikan otokritik pada system dan pedoman perkaderan HMI tahun 2000, sedangkan perkaderan secara cultural-pun dianggap telah melenceng dari tujuan awalnya, sehingga banyak kader yang setelah selesai dari kepengurusan HMI hanya berbondong-bondong pada dunia politik praksis, sedang ruang yang lainya tak tergarap/tidak dilirik untuk di isi.  
            Oleh karena itu, Untuk keluar dari keterpurukan ini, maka diperlukan sosok instruktur/pendidik yang berkualitas; kualitas muslim yang kaffah, memiliki intelektual tinggi, kemampuan profesionalitas yang handal, dan jiwa kemandirian yang kokoh. Sedangkan secara kelembagaan, BPL HMI harus seksi dan lincah dalam bergerak, agar mampu untuk menjalankan organisasi secara maksimal, berlari cepat dari keterpurukan perkaderan selama ini menuju masa kebangkitan kembali perkaderan HMI untuk menyongsong masa kejayaan HMI yang kedua, dan mampu menyongsong masa keemasan bangsa Indonesia ditahun 2030, juga menjadi pelopor diera kontemporer ini.
            Recovery Perkaderan HMI sudah selayaknya kita kaji kembali untuk mendapatkan sebuah konsep dan system perkaderan terbarukan,  untuk menjawab tantangan globalisasi dan menyongsong masa keemasan Indonesia 2030. Sehingga perkaderan HMI dalam mencetak kepemimpinan pun harus diorientasikan untuk mencetak pemimpin yang bernafaskan islam, memiliki intelektualitas yang konsisten dan bisa dipertanggung jawabkan, memiliki kemampuan profesionalitas yang handal dalam segala bidang, dan berjiwa mandiri. Sehingga mampu terwujud tujuan perkaderan itu sendiri yaitu : MUSLIM INTELEKTUAL PROFESIONAL  MANDIRI. 
            Mengevaluasi diri secara terlembaga adalah sikap yang paling elegan untuk mengawali perbaikan. Sistem perkaderan di HMI yang memproses anggotanya melewati berbagai jenjang kepemimpinan organisasi mulai dari komisariat, cabang, badko hinga pengurus besar sudah saatnya melakukan upaya penyegaran kembali (refreshment) mengingat stigma tertua dan terbesar yang melekat pada HMI dalam peta gerakan mahasiswa secara nasional. HMI saat ini harus bisa melihat fenomena-fenomena kepemimpinan yang berkembang, baik mulai konteks local, nasional maupun internasional. Sebagai organisasi kader HMI sudah seyogyanya melakukan rekonstruksi kepemimpinan kader dalam hal mempersiapkan kepemimpinan bangsa kedepan. Makanya melalui jenjang training formal mulai basic tarining, intermediate training dan advance training dimana ketiganya terintegrasi dalam satu proses kaderisasi kepemimpinan untuk melahirkan kader umat kader bangsa.