Rabu, 16 November 2016

Ahok Turun, apakah Djarot atah Puan Naik...

Ahok turun, apakah Djarot atau Puan naik
- Pemilih Tionghoa meninggalkan Ahok-

Yang perlu kita fahami dalam mengamati politik di Indonesia maupun dimana saja di dunia adalah praktik dari politik aliran dengan masing-masing diujungnya adalah tokoh-tokoh elit (big men). Aliran ini sangat ditentukan oleh modal-modal sosialnya, yang umumnya berupa politik kedaerahan/marga, ras, golongan, agama, alumni, dst., yang kita sebut saja bersifat primordialis

Setelah aksi demo mengutuk Ahok kemarin yang diikuti lebih ribuan simpatisan dan terjadi serentak di puluhan kota di Indonesia maka kita sebenarnya sepakat jika Ahok akan dituding sebagai penista agama memang pada akhirnya terjadi.

Terlepas bahwa ada atau tidaknya pemodal di balik demo yang cukup masif kemarin kita hanya dapat membaca kenyataan jika kerisaukan  beberapa tokoh Tionghoa jika Ahok terus maju akan lebih banyak keburukannya bagi kelompok Tionghoa. 

1.00
Semenjak Soeharto melakukan penyederhanaan politik aliran ke dalam fusi tiga partai, ia sebetulnya menyadari jika kanal-kanal politik tadi tidak akan dapat membendung aliran secara efektif. Lewat rentang geografis yang sepanjang benua eropa, sebaran pulau-pulau lebih dari 200 bahasa daerah, agama dan kepercayaan Indonesia tidak akan mudah diurus dengan kekerasan.  Soeharto membaca benar kritik Mohammad Hatta terhadap politik demokrasi terpimpin Soekarno. Yang Hatta menyebutnya terlihat akur di tengah tapi membangkang di luar.

Soeharto menganggap hegemoni via institusionalisasi politik aliran yang diterapkannya masih tetap membutuhkan instrument legal untuk mendukungnya. Melalui kebijakan yang kemudian kita kenal dengan kebijakan politik SARA (Suku Agama Ras Antar Golongan) ini Soeharto mengikis kemungkinan terjadinya friksi bernuasa primordinal.    

Menjelang tahun 1980-akhir dimana kekuatan ekonomi warga keturunan Cina yang ditunjukkan dengan seringnya Soeharto mengajak, mendorong, meminta, pengusaha keturunan dalam acara-acara televisi. Liem Sio Liong menulis opini (-saiya pikir majalah yang menulis itu adalah Time Asia) mendorong agar Soeharto memperkuat kelompok muda Islam.

2.00
Munculnya kelompok studi yang dimotori aktivis-aktivis masjid seperti Adi Sasono untuk mendirikan pusat-pusat kajian ekonomi, sosial, dalam bentuk rekomendasi politik adalah tanda-tanda bahwa aliran Islam yang dulu dijinakkan Soeharto untuk masuk ke wilayah intelektual dan berkutat di sivitas kampus, mulai menuntut haluan ke arah ekonomi. Soeharto tidak terlalu mempercayai surat Liem, tetapi ia membuka kanal baru bagi politik Islam untuk secara terbuka memiliki payung intelektual yang diakui negara selain partai yaitu dengan berdirinya ICMI.

Liem sebagai pengusaha tentu faham, bahwa yang dibutuhkan kebanyakan warga keturunan adalah persoalan keamanan dalam usaha. Mereka tidak akan banyak menuntut lebih, mengingat sudah menjadi tabiat dari pedagang yang pragmatis, prekondisi aman untung berjual-beli.  

Kerisauan dari lambatnya Soeharto mengakomodir politik islam inilah yang ditulisnya dalam opini tadi dengan kalimat: Islamic youth; adopt or revolt, kebangkitan politik Islam diakomodasi, adopsi atau Soeharto menerima revolusi.

Sejarah menunjukkan jika Soeharto memang telat dan reformasi 1998 yang menjatuhkannya tidak dapat dilepaskan dari gerakan-gerakan aktivis politik Islam. Sampai puncaknya sebelum kemudian menurun adalah bersekutunya aliran Islam dalam fraksi Poros Tengah pimpinan Gusdur, Amien Raies dan beberapa tokoh aktivis masjid dari Partai Keadilan.  

3.00
Bila kita perhatikan aksi kemarin maka ini adalah dorongan dari politik aliran dari golongan Islam yang secara alamiah akan memaksa keluar. Kita faham bahwa gagalnya Yusril Ihza Mahendar yang dianggap representasi politik Islam untuk head to head dengan Ahok karena dikalahkan di tepian pendaftaran pemilu meninggalkan kekecewaan.

Hanya saja sasaran tembak bahwa Ahok adalah lawan yang harus dikalahkan tidak begitu saja pudar. Dimana sekarang arah dari politik aliran tadi ditunjukkan dengan aksi yang kita yakin akan terjadi lagi dalam waktu yang tidak lama. Penistaan agama yang digunakan untuk menyorong Ahok bukanlah tudingan yang main-main dan upaya apapun tidak akan mudah meredamnya. Berbicara persoalan toleransi, maka urusan SARA adalah hal yang paling penting untuk tidak disinggung-singgung.

Seperti nasihat Liem pada Seoharto untuk mengakomodasi politik Islam, maka bagi pemilih tionghoa yang kebanyakan trader, pilihan pada Ahok mengandung persoalan dilematis sekaligus pragmatis. Mereka punya alasan besar dan alamiah untuk mengalihkannya kepada sosok lain, seperti Anies-Uno atau Agus-Sylvi.

Andi Hakim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar