Minggu, 06 November 2016

Berpikir Irreguler

Berpikir irregular

Andi Hakim

Menggunakan strategi manajemen pemangku kebijakan untuk membuat peta politik di Indonesia sebetulnya membutuhkan cara berpikir irregular.

Maksudnya tidak seperti yang dituliskan dalam buku-buku teori politik dan komunikasi pada umumnya, hakikatnya politik seperti halnya ilmu-ilmu humaniora lainnya sebenarnya bergerak dinamis karena melibatkan manusia sebagai subjek kajiannya.

0.I
Misalnya bila kita mencoba menganalisa apa maksud Jokowi Luck mendatangi Prabowo dan berkuda di ranch Hamabalang maka akan ada dua kemungkinan teknis menganalisanya,

Pertama bahwa hal tersebut merupakan satu bentuk kompleksitas jejaring stakeholders yang perlu dikelolanya agar kepentingannya sebagai presiden tetap terjaga. Jejaring kepentingan ini bila disalinghubungkan dengan set-up politik pilkada DKI dimana ia mungkin perlu menyelamatkan Ahok yang terdesak, atau menunjukkan kepada Megawati jika ia pun dapat membuat persekutuan-persekutuan baru dengan Prabowo dll.

Perhubungan tadi jika lanjutkan dengan misalnya upaya Jokowi berdiplomasi untuk mencegah pecahnya NKRI, anarkisme atau pun maraknya Wahabisme, akan semakin menciptakan apa yang disebut sebelumnya sebagai teori kompleksitas jejaring.

0.II
Sementara yang kedua adalah bahwa apa yang dilakukannya adalah hal santai biasa-biasa saja (ease). Ia sama sekali tidak mengandung kompleksitas melainkan sebuah kesederhanaan (simplicity) yang juga tidak macam-macam. Semacam mekanisme defensif paling dasar dan alamiah dari manusia; yaitu bagaimana Jokowi menjaga kepentingannya sebagai seorang Jokowi. 

Misalnya bisa saja ia naik kuda berdua karena ingin membicarakan beberapa hal terkait keamanan dengan Prabowo dengan lebih santai. Mengingat mungkin saja ia tidak terlalu percaya bahwa bila itu dilakukan di meja dengan beberapa orang "dekatnya" maka hasilnya akan disimpulkan oleh  media massa secara berbeda.

Apa yang dibicarakannya tentu bisa apa saja, mulai dari tawaran menjadi Menkopolkam kepada Prabowo untuk menggantikan Wiranto di reshuffle kabinet berikutnya. Asumsi ini mungkin saja terjadi mengingat bila kita melihat model manajemen keamanan ala Jokowi dengan tiga kali mengganti Menkopolkam dalam dua tahun pemerintahnya menunjukkan jika ia bermasalah dengan perihal rasa aman. Tiga kali reshuffle tadi menunjukkan  pendekatan keamanannya adalah dengan pendekatan insekuriti (ketidakamanan). Maka apa susahnya buat Jokowi mengganti Wiranto misalnya dan meminta mantan Pangab tadi menjadi ketua PBSI

Tentu saja hal ini tidak perlu diseriusi, karena pembicaraan lain seperti permintaan agar Prabowo ikut arisan panci gila, diet karbo, investasi pengembang-biakan ekspor kodok dan menjadi wali nikah anak keduanya atau hal lain yang belum dikatakannya secara langsung boleh kita masukkan.

0.III
Perumitan atau penyederhanaan seperti ini akan membuat  pengamatan dapat membuka kemungkinan memperoleh jawaban irregular. Yang mungkin tidak biasa dilakukan bila menggunakan cara berpikir regular. Melalui pendekatan berpikir irregular maka hal-hal yang mungkin absen dan tidak umum dari pengamatan dapat kita angkat secara sejajar. 

Lagi pula apa susahnya memberikan pandangan, salah juga tidak membuat kita kehilangan uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar