Selasa, 22 November 2016

Perang di Suriah Lagi

Perang di Suriah Lagi
Oleh Andi Hakim

Sebelumnya saiyah ucapkan terimakasih kepada pemirsah yang telah mengatakan bahwa analisis saiya mengenai konflik di Suriah sangat bagus dan sesuai dengan kenyataan.

Pada pujian yang seperti ini kita katakan bahwa perang di suriah berkembang dengan alur yang tak dapat diduga dengan mudah. Sehingga semua pendekatan analisa konflik mulai dari isu sektarian suni versus syiah, isu regime jahat versus rakyat, demokratis versus otoriter, teori proxy war sampai teori kutukan sumber daya alam dapat digunakan untuk membacanya. Dengan hasil analisisnya yang sebenarnya hanya dapat menduga-duga atau mendekati saja.

1.00
Ini pertama bahwa perang di suriah telah beberapa kali bertransformasi. Di mulai dengan konflik sektarian ke isu Arab-Springs, lalu ke desentralisasi dan muncul perang melawan teroris islam (ISIL) yang muncul entah darimana dengan truk-truk Toyota yang dilengkapi senjata berat anti pesawat. Kemudian berlanjut dengan kehadiran apa yang disebut oleh Aliansi Barat dengan milisi suriah moderat dan kini (mungkin belum yang terakhir) adalah kampanye dunia yang dimotori Barat untuk melawan ancaman ISIL pasca serangan aliansi Suriah-Iran-Iran-Rusia dan false-flag teror di Paris.

Melihat perkembangan seperti ini sebenarnya kita juga sedang menyaksikan pula perubahan kebijakan luar negeri barat. Bahwa berkepanjangannya perang di Suriah tidak lepas dari intervensi mereka. Selain bahwa dengan melakukan serangan-serangan ke wilayah Suriah tanpa persetujuan pemerintahan Assad mereka secara terbuka mengintervensi negara berdaulat dan melanggar konvensi Jenewa PBB.

Artinya, perubahan transformasi perang di Suriah memang tidak dapat tidak adalah perubahan arah politik luar negeri Eropa. Yang akan tetap sama namun berobah pola dengan menyamarkannya dalam aksi-aksi yang seolah-olah berbeda.

2.00
Persoalan kedua  seperti pernah kita tuliskan di forum ini, adalah setelah serangan Paris yang mengatasnamakan ISIL, apakah eropa punya cukup kekuatan untuk memulai kampanye besar-besaran dan terbuka ke Suriah?. Serangan di Paris dapat menjadi Exit Strategy Prancis untuk keluar dari persoalan Suriah ataukah ia akan diteruskan menjadi Enter Strategy bagi barat untuk membuat kedua negara Irak dan Suriah hancur berantakan (failed-state) seperti halnya terjadi pada Libya.

Kekosongan kekuasaan di Libya pasca terbunuhnya Qadafi adalah rencana dari politik luar negeri Barat untuk membuat mereka lebih mudah menguasai sumber daya minyak di utara negeri itu yang kaya. Meskipun barat berkali-kali menyebutnya sebagai proses demokratisasi, membela rakyat dari rejim serta, menghilangkan ancaman bagi Israel namun persoalan keserakahan adalah faktor utama dari tidak pernah hilangnya nalar kolonialisme dalam otak orang Barat.

Stayangnya srategi failed states ini tidak terlalu mulus terjadi di Irak. Bermula dengan teror yang menyasar masjid-masjid dan komunitas dua kelompok Suni dan Syiah dengan tujuan devide et empera. Pernyataan dua Ulama Besar Irak Ali Sistani dan Baqir As Sadr untuk menahan diri pada apapun bentuk teror yang tujuannya menaikkan eskalasi konflik Suni-Syiah telah membangun komitmen bersama bagi warga Irak terutama di bagian selatan, untuk mendefiniskan dengan tepat bahwa musuh mereka sebenarnya adalah kedatangan tentara sekutu yang dipimpin AS.

Serangan-serangan milisi Irak baik Suni maupun syiah mulai diarahkan kepada tentara AS. Kampanye anti penjajah di Irak yang semakin kuat dan tuntutan dibentuknya pemerintahan mandiri rupanya membuat Obama mengambil inisiatif menarik mundur seluruh pasukan mereka setelah 10 tahun bercokol di sana. Meskipun demikian, kebanyakan orang Irak percaya bahwa keluarnya AS dari Irak adalah strategy exit door enter window sekedar keluar pintu tetapi masuk kembali lewat jendela.

Titik kesadaran tentang perlunya persatuan ini yang membuat strategi "failed state" di Libya tidak dapat dilaksanakan di Irak.

Strategi yang sama juga tidak dapat digunakan di Suriah. Dalam lima tahun perang terakhir di Suriah dan Irak menunjukkan jika aliansi-aliansi pro pemerintah baik di Damaskus maupun di Baghdad menunjukkan adanya jiwa korsa nasionalisme baru Arab Suriah. Kedatangan mersenaris (tentara bayaran) yang mengatasnamakan ISIL telah difahami sebagai ancaman baik politik, budaya dan ekonomi. Tumbuhnya aliansi Irak-Iran-Suriah-Rusia dengan Lebanon (Hizbullah) ada bukti jika poros perlawanan (the resistance groups) justu bertambah anggotanya di kawasan regional terutama dalam memerangi kepentingan Barat. 

3.00
Serangan Rusia yang dikoordinasikan dengan perang intelejen-elektronik-manual yang melibatkan aliansi perlawanan terhadap basis-basis ISIL tentu semakin tidak menyenangkan bagi aliansi sekutu (AS-Eropa-Arab Saudi-Qatar-Turki). Agenda yang mereka persiapkan untuk memperlemah posisi Assad sekarang dalam kondisi kritis dan tidak dapat lagi diharapkan. Barat membutuhkan a false flag sebagai exit strategy atau enter strategty mereka di kawasan ini.

Bahwa kenyataannya dari yang sudah-sudah, elit politik pro perang di Barat tidak terlalu banyak dapat diharapkan untuk berubah sikap. Serangan di Paris, ancaman kedatangan Imigran dan pengungsi Suriah adalah pre-text untuk dimunculkannya undangan-undang keamanan umum yang membuat posisi negara menjadi lebih kuat di mata publik.

Seperti kita lihat pasca serangan di Paris, Hollande membalas dengan memerintahkan pesawat-pesawat Prancis menyerang posisi ISIS. Sekali lagi tindakan yang dilakukan tanpa otoritas dari pemerintah Suriah maupun PBB. Artinya mereka tetap dalam kebiasaan untuk bertindak seperti terorist tetapi kali ini dalam wujud negara.

Apa tujuan dari serangan ini, ada tiga hal yang dapat kita susun sebagai asumsi: Pertama menjadi dasar bagi keluarnya UU anti imigran/pengungsi ke negara2 Schengen, kedua sebagai -testing the water- bagaimana persepsi publik Prancis terhadap kemungkinan serangan militer. Ketiga adalah cara bagaimana Prancis tetap eksis dan dianggap dalam konflik di Suriah. Mereka mengharapkan apa yang memang diharapkan dari tujuan perang ini, yaitu konsensi ke sumber daya Suriah berikut turunan2nya seperti proyek pipanisasi energi ke eropa.

Hanya saja kali ini tidak terlalu mudah bagi pemerintah negara-negara Barat untuk mencari dukungan publik. Mengingat pasca Charlie Hebdo, pandangan publik Prancis dan eropa tidak lagi sepenuhnya berpihak pada politik intervensi dan bahkan cenderung menyalahkan pemerintah mereka yang ikut camput. (Scholman:2015).

Sikap yang sama juga ditunjukkan publik Inggris, dimana kali ini serangan di Paris terpaksa dijadikan pre-text bagi munculnya proposal Tory (sebutan dua partai politik di Inggris) untuk serangan Inggris di Suriah. Sebelumnya pemerintah Inggris tidak membutuhkan hal-hal seperti ini untuk bertindak internvesionis di Irak dan Libya.

4.00
Jika boleh mengatakan apa dan bagaimana kelanjutan perang di Suriah, kita masih belum dapat memprediksikannya karena sekali para pemain dalam hal ini yaitu pemerintah2an hipokrit Barat selalu akan mencari jalan memainkan agendanya. Menjatuhkan Assad yang cerdas dan dianggap berbahaya bagi kepentingan ekonomi-politik energi mereka di kawasan. Artinya mereka (barat) akan tetap memilih opsi Enter Strategy.

Meskipun hal ini tidak akan mudah dan sangat beresiko, mengingat aliansi perlawanan Iran-Irak-Suriah-Lebanon-Rusia dapat mengambil tindakan yang juga tidak dapat kita prediksikan dengan mudah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar