Minggu, 16 Oktober 2016

Aspek Intelejen dalam Geopolitik dan Geostrategi

Aspek Intelejen dalam Geopolitik dan Geostrategi

Sudah menjadi kewajaran dalam hubungan antar negara bahwa hubungan antar lembaga intelijen mencerminkan kedekatan hubungan antar negara. Dalam formalitas hubungan antar lembaga intelijen di seluruh dunia akan terjadi saling mengirim utusan perwakilan, diskusi bilateral, analisa bersama, hingga operasi bersama. Dalam contoh yang paling erat hanya terjadi di dunia Barat, khususnya dalam kerjasama intelijen antara Amerika Serikat dengan Inggris. Selebihnya masih diwarnai saling curiga karena secara natural intelijen akan selalu mencurigai intelijen yang lain.
Pentingnya aspek intelijen dalam hubungan antar negara adalah membuka pintu-pintu yang tertutup, menjembatani kemungkinan terciptanya konflik, serta mempererat kerjasama yang saling menguntungkan, bahkan membangun aliansi strategis guna memelihara stabilitas dan kepentingan nasional masing-masing. Terkait dengan catatan pentingnya aspek intelijen, maka tidaklah mengherankan apabila lembaga intelijen di seluruh dunia mencatat dengan sangat serius perilaku intelijen asing.
Intelijen Barat, khususnya CIA (AS) dan MI6 (Inggris) memiliki catatan dan reputasi yang sangat buruk dalam sejarah pemerintahan Orde Lama yang berujung pada pembantaian kelompok komunis Indonesia, hancurnya kelompok Islam politik, dan jatuhnya Presiden Sukarno. Namun CIA memiliki catatan semanis madu pada masa awal dan pertengahan pemerintahan Orde Baru berupa bantuan teknis pembentukan lembaga kontra intelijen dalam bentuk Unit Pelaksana Operasi. CIA berada di belakang penguatan fondasi pemerintahan Orde Baru yang pada awalnya diharapkan akan menjadi sahabat barat.
Namun Indonesia adalah Indonesia yang lebih senang berkelahi di dalam dan kurang memperhatikan pentingnya konsistensi kebijakan yang akan membawa pada perubahan secara bertahap menuju pada kejayaan Indonesia Raya. Dinamika politik dalam negeri Indonesia senantiasa diwarnai oleh kompetisi kekuatan politik dan kekuatan ekonomi, sehingga Orde Baru yang dibangun dari kudeta tanpa darah memiliki mentalitas psikologis rasa tidak aman karena musuh domestik di mana-mana. Musuh politik berupa kelompok sosialis-komunis kemudian dilabelkan sebagai bahaya laten yang harus ditumpas hingga ke akar-akarnya, kelompok Islam politik dimarjinalkan dan dikooptasi dalam partai yang tunduk pada pemerintah, kelompok kritis yang peduli pada situasi sosial dan keadilan ekonomi dicap sebagai melawan pemerintah, kelompok liberal yang membela kebebasan berpendapat dicap sebagai antek barat, kelompok etnisitas dianggap sebagai potensi separatis dan eksklusifisme dan sebagainya.
CIA telah melatih sejumlah agen pilihan Indonesia pada tahun 1970-an bahkan memberikan pelatihan di Amerika Serikat dan mengirimkan bantuan teknis berupa alat-alat intelijen ke Jakarta, termasuk pornografi (efek negatif untuk meliberalkan agen-agen Indonesia terhadap Barat). Di bidang Militer, sejumlah bantuan militer dari kemudahan pembelian peralatan perang (senjata dll) hingga pelatihan International Military Education and Training (IMET)yang dibekukan pada tahun 1992 membuktikan bahwa hubungan Indonesia-AS cukup erat selama era Perang Dingin. Persoalannya pada era Orde Baru adalah Indonesia tidak memaksimalkan kedekatan hubungan dengan barat tersebut untuk penyelesaian hingga tuntas isu-isu konflik di dalam negeri seperti separatisme Timor-Timur, Aceh, Maluku, Papua, hingga akhirnya persoalan itu baru dapat dibahas pada era reformasi.
Kejatuhan Orde Baru banyak diwarnai oleh murni persoalan domestik Indonesia yang semakin parah dengan kasus korupsi yang teramat besar, kebencian pada pemerintah dan militer yang memuncak serta ledakan kebebasan berekspresi yang tidak pernah hilang dalam gerakan bawah tanah. Lagi-lagi CIA dan sekutunya hanya melakukan sedikit suntikan kematian dengan mendorong pemerintahan Orde Baru yang berdiri di pinggir jurang untuk jatuh. Antara lain hal itu dilakukan melalui agen-agen handal yang berada di sekitar Prabowo, Wiranto dan di sekeliling gerakan reformis dan gerakan oportunis. Dalam kasus ini bolehlah kita anggap sebagai win-win solution karena rakyat Indonesia juga menghendaki hal yang sama dengan CIA yaitu mengganti pemerintahan yang korup di bawah Orde Baru.
Pada sisi lain, intelijen Cina di Jakarta lebih memperhatikan penyelamatan aspek bisnis yang dapat berdampak ke Cina melalui pengusaha Cina perantauan yang sebagian masih loyal kepada Cina. Sehingga peranan mereka lebih kepada melindungi kepentingan ekonomi karena Cina sedang tumbuh pesat, maka dapat menjadi alternatif pelarian kapital sehingga sekaligus mendapatkan keuntungan. Dalam kaitan ini, intelijen Singapura juga sangat berkepentingan sehingga tercatat dalam pelarian modal yang terdekat dan aman adalah ke Singapura dan berikutnya ke Cina.
Walaupun sesungguhnya para pengusaha Cina cukup loyal kepada Indonesia, namun uang tidak memiliki negara dan ia mengalir ke tempat yang lebih aman dan stabil sehingga kita tidak dapat menyalahkan terjadinya pelarian modal/kapital dari Indonesia ke luar negeri. Situasi reformasi yang membuat perubahan dalam tata hubungan negara dan swasta di bidang ekonomi telah menyebabkan sebagian pengusaha enggan membawa kembali modalnya ke Indonesia karena tidak ada lagi kekuasaan yang menopang monopoli ekonomi kelompok tertentu. Pemerintah berganti beberapa kali dan pengawasan terjadi dimana-mana dan korupsi tidak lagi menjamur walaupun belum hilang sama sekali.
Indonesia yang stabil secara politik, mantap secara ekonomi, dan kondusif secara sosial, membuka kembali peluang perubahan dan peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Hal ini juga menjadi daya tarik tersendiri bagi sejumlah kekuatan besar dunia seperti Amerika Serikat, Cina, India, Rusia, dan Uni Eropa.
Meningkatnya citra Indonesia sebagai negara demokrasi memiliki arti penting bagi China dan Barat dalam sudut pandang yang kontras. Bagi China, demokrasi Indonesia dan India berpotensi mengintimidasi legitimasi pemerintahan Partai Komunis Cina dengan pseudo democracy-nya serta dapat menjadi inspirasi bagi gerakan demokrasi di dalam negeri Cina. Sementara bagi Barat, demokrasi di Indonesia justru menjadi bukti keberhasilan sebuah proses reformasi di negara otoriter-militeristik dengan kekuasaan partai tunggal Golkar (yang dapat disamakan dengan Partai Komunis Cina). Sehingga tidaklah mengherankan apabila Cina sangat berminat membangun hubungan strategis dengan Indonesia karena Indonesia belum dan tidak terikat dengan aliansi pertahanan sepertiFive Power Defense Agreement (FPDA)yang terdiri dari Malaysia, Inggris, Australia, Singapura, dan Selandia Baru. Dengan kata lain, tidak akan rugi untuk memiliki hubungan baik dengan Indonesia.
Namun karena Indonesia demokrasi, maka secara logis akan tampak bahwa Indonesia akan lebih dekat kepada India, Amerika Serikat dan Barat, sehingga membuat Cina terisolasi dari sudut pandang politik. Padahal secara ekonomi, Cina berada dalam satu kubu liberalisasi ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan jalur komunikasi yang baik antara Cina dan Indonesia dalam menyikapi perkembangan kawasan dan dunia. Sebagaimana pernah disampaikan oleh seorang ahli strategis Cina kepada Indonesia bahwa negara-negara Barat khususnya AS dan Eropa tidak menghendaki sustainable progress di kawasan Asia karena sifat dasar manusia, iri dengki, serta ketakutan akhir dari supremasi Barat (orang kulit putih) sebagaimana ditegaskan dalam penelitian seorang ahli dari Universitas ternama di Inggris.
Sebagai tambahan, diskusi di Jepang, Korea, dan sebagian besar negara Asia adalah mempertimbangkan secara sungguh-sungguh kepemimpinan China yang bertanggung jawab dalam persaudaraan Asia untuk kemajuan Asia dan stabilitas dunia. Meskipun Amerika Serikat dan Barat masih memiliki dominasi di sejumlah bidang khususnya militer, namun hal itu hanya masalah waktu saja. Dalam 10-50 tahun mendatang dunia akan berubah dan anak cucu kitalah yang akan mengalami dan menyaksikannya.
Oleh karena itu sangat penting untuk mempersiapkan masa depan Indonesia yang melindungi kepentingan rakyat Indonesia.
Bangsa Barat sudah diramalkan oleh Nostradamus akan menuju kehancuran sebagai akibat dari keyakinannya sendiri yaitu liberalisme. Mulai dari keserakahan dalam melakukan aktifitas ekonomi, bukti angka kehamilan remaja tertinggi di dunia (Amerika Serikat maupun Uni Eropa) telah menciptakan generasi yang rusak karena ketidaksiapan mentalitas dan pola pendidikan di rumah tangganya. Setiap ideologi memiliki kekuatan dan kelemahan yang akan dominan pada suatu masa sebagai akibat dari hukum alam.
Marilah kita lindungi bangsa Indonesia dari kasus-kasus moral yang dapat menghancurkan masa depan bangsa Indonesia. Hal ini tidak identik dengan ajaran agama yang menghakimi perilaku moral. Melainkan secara cerdas kita kembangkan pemahaman publik Indonesia tentang pentingnya sinergi ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari kita yang akan membimbing kita dalam perjalanan hidup. Bangsa Indonesia tanpa agama-pun telah memiliki standar moral yang tinggi sehingga tidak terlalu sulit untuk menemukan formula kesepakatan aturan hidup yang dapat menjaga generasi muda Indonesia baik dari ajaran adat-istiadat, ajaran agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Khong Hu Chu, dll.
Cina bahkan dengan liberalisme ekonomi dan sosialisme politik ala Cina telah mulai melakukan penggalian jati diri bangsa Cina dengan ajaran Cina kuno berupa filsafat Khong Hu Chu yang dikembangkan pada masa Presiden Jiang Zemin. Hal ini mencerminkan kehati-hatian dalam melaksanakan ideologi Barat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seyogyanya hal yang sama juga harus ditempuh oleh Indonesia dengan penggalian kekayaan filsafat dan khasanah di nusantara, sehingga kita tidak terjebak dalam arus dinamika dunia yang akan menenggelamkan Indonesia. Menjadi kewajiban para pimpinan nasional dengan dukungan intelijen yang kuat untuk menentukan arah dan merancang masa depan Indonesia raya. Dalam kaitan tersebut, hubungan aliansi strategis yang mantap dengan berbagai negara asing tidak dapat terhindarkan.
Tulisan ini berusaha membuka wacana tentang perlunya membaca geopolitik dan geostrategi lingkungan lokal, nasional, regional dan internasional. Namun keputusan tetap berada di tangan pimpinan nasional Indonesia. Sudah waktunya Indonesia bermain secara pintar dengan kalkulasi yang tepat serta dalam bimbingan kepentingan 250 juta rakyat Indonesia yang mendambakan kesejahteraan yang adil dan merata.
MHI
https://muhammadharrisindra.wordpress.com/2011/08/03/aspek-intelejen-dalam-geopolitik-dan-geostrategi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar