Sabtu, 10 Juni 2017

MUHAMMADIYAH DAN NU

MUHAMMADIYAH & NU:
Dua Sayap yang Siap Menerbangkan Garuda

Anang Rikza Masyhadi
Pondok Modern Tazakka Batang Jawa Tengah

Siapapun yang hendak membicarakan bangsa Indonesia, maka tidak bisa tidak membicarakan umat Islam Indonesia. Jika ada orang yang mencoba membahas Indonesia tanpa melibatkan pembahasan tentang umat Islam Indonesia, maka itu pasti orang yang sangat aneh dan jelas-jelas tidak paham tentang Indonesia.

Tidak perlu kita jauh-jauh merunut ke belakang bahwa kemerdekaan bangsa ini dari tangan penjajah adalah jasa terbesar kaum muslimin. Saat ini saja, bisakah bicara tentang Indonesia dari sudut pandang manapun tanpa melibatkan umat Islam Indonesia?

Sementara itu, jika kita membicarakan tentang umat Islam Indonesia, maka pasti akan membicarakan pula tentang, setidaknya, Muhammadiyah dan NU. Bisakah membahas umat Islam Indonesia tanpa menyinggung peran Muhammadiyah dan NU di dalamnya?

Tentu saja, Muhammadiyah dan NU bukanlah segala-galanya dalam konteks Islam Indonesia, karena banyak ormas-ormas Islam lain. Akan tetapi, menurut saya, Muhammadiyah dan NU adalah Islam mainstream dan merupakan bagian terbesar dari umat Islam di negeri ini. Maka, Muhammadiyah dan NU, hemat saya bagaikan kedua sayap untuk Republik ini. Bangsa ini tidak mungkin bisa terbang jika salah satu sayapnya rusak. 

Puluhan ribu pesantren, konon sekitar 24.000 jumlahnya, yang berafiliasi kepada NU, baik yang besar maupun yang kecil, nyata-nyata telah ikut andil dalam melahirkan manusia Indonesia yang berkontribusi pada negeri ini. Alumninya ada yang jadi lurah, camat, bupati, gubernur bahkan ada yang jadi menteri atau presiden. Banyak pula jenderal polisi dan TNI yang pernah belajar mengaji, meskipun sebentar, dari ulama-ulama NU.

NU dengan majelis ta'limnya tersebar hingga ke pelosok negeri, dan melaluinya memberikan pengajaran Islam kepada bangsa ini, mulai dari mengenal huruf hijaiyyah sampai pada menghafal Al-Quran. Seolah-olah seperti tidak ada desa di negeri ini yang tidak ada warga NU-nya.

Melalui rutinitas amaliyah tahlilan mingguannya, NU yang beranggotakan sekitar 80an juta warga, seolah seperti sedang memenuhi atmosfer Indonesia dengan kalimat tauhid dan shalawatnya. Setidaknya, setiap malam Jumat, jika kita naik ke angkasa, maka di atas bumi pertiwi ini akan terdengar jelas gema tahlil dan shalawat dari para warga NU. Ya, Nu menjaga Indonesia dengan dzikir, tahlil dan shalawatnya.

Dalam beberapa dasawarsa ini, NU mulai mengembangkan perguruan tinggi. Asosiasi Perguruan Tinggi NU (APTINU) mencatat ada sekitar 100an perguruan tinggi yang berafiliasi ke jam'iyyah yang dipimpin oleh Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj ini.

Berbeda dengan NU, Muhammadiyah lebih banyak bergerak di perkotaan, dan dikenal sangat konsen pada gerakan pendidikan dan kesehatan. Konon, saat ini ada sekitar 170 Perguruan Tinggi Muhammadiyah tersebar di seantero Nusantara. Ada beberapa Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang jumlah mahasiswanya mencapai 20 ribu. Bahkan, Universitas Muhammadiyah Kupang, konon 75% mahasiswanya beragama Katolik.

Belum lagi pendidikan dasar dan menengah yang dimiliki organisasi yang saat ini dinahkodai oleh Dr. KH. Haedar Nashir, M.Si ini. Yaitu sekitar 4600an TK/TPQ, 2300an SD/MI, 1150an SMP/MTs, dan 1300an SMU/MA/SMK.

Ditambah amal usaha kesehatan: 2100an berbentuk Rumah Sakit Umum, Balai Kesehatan Ibu dan Anak, dan Rumah Bersalin. Ditambah 300an panti asuhan, 50an panti jompo, 80an rehabilitasi cacat, dan 70an dalam bentuk Sekolah Luar Biasa untuk penyandang cacat. Di Muhammadiyah juga ada pondok pesantren, yang saat ini jumlahnya sekitar 100an.

Tidak sedikit lurah, camat, bupati, bahkan gubernur, dan menteri serta pejabat negara lainnya yang lahir dari didikan perguruan tinggi Muhammadiyah. Beberapa kabupaten hanya memiliki RSUD, sehingga tidak dapat menampung pasien masyarakat, di situlah Muhammadiyah melalui rumah sakitnya hadir melayani kesehatan masyarakat.

Dalam perkembangannya akhir-akhir ini, pemetaan peran di atas semakin cair. Dan nampaknya Muhammadiyah dan NU akan bertemu dalam peran-peran strategis keumatan dan kebangsaan. Muhammadiyah yang awalnya konsentrasi di pendidikan berbasis sekolah kini mulai berkembang ke pesantren. Dan NU yang awalnya berbasis pesantren kini mulai berkembang ke perguruan tinggi.

Siapakah yang berani meragukan peran dan kontribusi Muhammadiyah dan NU seperti tersebut? Maka, keliru besar jika masih ada orang yang selalu menghadap-hadapkan Muhammadiyah dan NU, apalagi hanya masalah khilafiyyah furuiyyah dan untuk kepentingan jangka pendek. Apalagi hanya untuk kepentingan diri dan kelompok kecilnya saja.

Masalah khilafiyyah furuiyyah telah ada sejak abad kedua hijriah, dan umat Islam telah berijma' (membuat konsensus) bahwa setidaknya ada empat madzhab yang diakui, yaitu Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafii dan Madzhab Hambali. Keempat madzhab inilah yang paling banyak dianut oleh umat Islam sepanjang sejarahnya di seluruh dunia.

Jadi, jika ada perbedaan pendapat dalam tata cara wudlu, shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lainnya, sepanjang pendapatnya merujuk kepada keempat madzhab tersebut, maka bukanlah hal yang aneh dan harus dibenturkan. Ini bukan sekedar perbedaan antara Muhammadiyah dan NU, akan tetapi perbedaan madzhab yang telah dirumuskan oleh para imam madzhab sejak 12 abad yang lalu.

Pembenturan itu kini nyaris telah tiada, setidaknya semakin terkikis. Para ulama dan tokoh kedua ormas Islam terbesar ini telah menyadari bahwa pembenturan keduanya adalah strategi yang diwariskan oleh penjajah untuk memecah belah umat Islam Indonesia yang sangat besar ini. Jika pun masih ada, sungguh keterlaluan!

Bahkan, kini banyak sekali sinergi dan kerjasama kemitraan yang dilakukan keduanya. Dan ke depan, Muhammadiyah dan NU harus terus bergandengan tangan, merapatkan barisan ukhuwwah Islamiyyah untuk menjadi sayap-sayap bagi Republik ini, sehingga bisa terus mengepakkannya agar terbang dan melesat jauh.

Shaff keduanya harus lurus dan rapat agar tidak dimasuki oleh 'setan-setan' yang bisa membatalkan penerbangan Republik ini. _"Berpegang teguhlah kamu semuanya  kepada agama Allah dan janganlah bercerai-berai"_ (Qs. [3]: 103)

Muhammadiyah dan NU harus maju. Kemajuannya adalah dalam rangka mewujudkan kemakmuran seluruh Nusantara. Keduanya harus bisa berdiri di posisi yang sama: menatap masa depan bangsa dan negara. Shaf harus rapat supaya tidak diisi oleh setan yang terus membisiki agar keduanya tidak saling bertemu dan berkomunikasi. Mari, kita dorong sayap Muhammadiyah dan sayap NU mengepak, agar Garuda bisa segera terbang tinggi melesat.

13 Ramadhan 1438 H
8 Juni 2017

www.tazakka.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar