Jumat, 15 Maret 2013

SEJARAH HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)


SEJARAH HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah sebuah organisasi Islam kalangan mahasiswa muslim di Indonesia. Organisasi ini begitu strategisnya di era sekarang ini, hingga sebagian besar nama-nama besar politikus muslim di Indonesia berasal dari HMI.


Sejarah Berdiri dan Tokoh-tokohnya

HMI didirikan di Yogyakarta, Jawa Tengah, Indonesia, pada 5 Februari 1947. Ketika itu keadaan politik di Indonesia masih di tandai oleh daya upaya bersemangat rakyat, melalui revolusi, untuk memenangkan kemerdekaan nasional dari kekeuasaan Belanda.

Berdirinya HMI banyak diilhami oleh gagasan-gagasan yang dirumuskan oleh Jong Islamieten Bond dengan Islam Studies Club-nya. Itulah sebabnya HMI banyak memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan jangka panjang Jong Islamieten Bond. Tujuan semu ingin meyakinkan para cendekiawan muslim muda agar sambil mengejar pendidikan akademisnya, juga menjunjung agama Islam. Dengan menempuh ikhtiar demikian itulah mereka dapat ditempa menjadi intelektual ulama, sekaligus ulama-intelektual.

Prakarsa untuk mendirikan HMI dilakukan oleh beberapa orang mahsiswa universitas Islam di Yogyakarta, Jawa Tengah, atau di sekolah tinggi Islam. Mereka kemudian menjadi kalangan pemimpin yang pertama. Lafran Pane, Kartono, Dahlan Husein, dan Maisaroh Hilal, semuanya mahasiswa sekolah tinggi Islam. Mewreka menyelenggarakan sebuah pertemuan untuk membicarakan bagaiman seharusnya menghadapi tantangan zaman dan menyusun pedoman sebagai penyalur cita-cita para cendekiwan muslim muda. Pertemuan yang dipimpin oleh Lafran Pane itu diselenggrakan di sebuah gedung yang sekarang dimiliki oleh Pastoran Katolik Roma di Jalan Senopati 30, Yogyakarta. Pertemuan diadakan pada 5 Februari 1947, dalam hari kuliah seperti biasa. Kuliah hari itu mengenai tafsir Qur'an yang di berikan oleh Profesor Hussin Yahya, dahulu dekan jurusan Sastra Arab pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Setelah mendapat persetujuan professor, Lafran Pane memberikan pernyataan resmi bahwa sebuah organisasi untuk semua mahasiswa muslim telah didirikan dan diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam (disingkat HMI).

Ketika diwawancarai, Lafran Pane menegaskan bahwa keputusan yang tergesa-gesa untuk mendiriakn organisasi tersebut disebabkan oleh kebutuhan mendesak bagi para cendekiawan muslim muda untuk ikut serta di dalam perjuangan kemerdekaan nasional dan terutama untuk melestarikan dan mengamankan ajaran-ajran Islam. Pertemuan tersebut mensahkan Lafran pane sebagi ketua pertama, HMI. Kemudian, beberapa orang lain dari kelompok pemula ini menjadi pimpinan-pimpinan terkemuka tersebut. Di antaranya, Sanusi, seoarang insinyur dan belakangan menjadi menteri dalam kabinet RI dari partai Masyumi; Anton Timoer Jaelani, mantan Inspektur Jenderal Departemen Agama dan berijazah, M.A. dari McGill University di kanada; dan Akhmad Tirtosudiro, Jenderal Angkatan Darat.

Kegiatan HMI di Bidang Pendidikan

Umat Islam Indonesia dalam berbagai cara telah berusaha meningkatkan kualitas organisasi sosioedukasi dan politiknya. Pendidikan agama pertama-tama diberikan di rumah, di tengah-tengah kelurga, tatkala anak masih balita. Tujuan utama pendidikan pada tingkat ini ialah untuk mengajar anak agar dapat membaca dan menghafalkannya beberapa surat Alquran, serta untuk menghafalkan doa-doa pendek untuk kegiatan sehari-hari, seperti doa hendak makan, setelah makan, hendak tidur, setelah tidur, dll.

Untuk pendidikan lebih lanjut, pada kesempatan-kesempatan tertentu, anak juga diharuskan belajar kepada seorang guru. Pada tingkat dasar pendidikan ini tidak dilakukan usaha-usaha agar anak dapat memahami Alquran. Pelajaran disampaikan kepada para siswa yang duduk mengelilingi guru, dan tidak di dalam sebuah kelas yang teratur. Disamping pelajaran membaca Alquran, para murid di perintahkan untuk melakukan salat Jumat. Pada umumnya pelajaran diadakan pada waktu sore dan petang hari. Mereka yang tidak ingin melanjutkan pelajarannya lebih lanjut dapat berhenti pada tingkat dasar ini. Tetapi, bagi mereka yang ingin memperoleh pengetahuan lebih luas, terdapat banyak lembaga-lembaga lain, yang di Jawa terkenal dengan nama pesantren (pondok pesantren), dan di Sumatera dengan nama Surau. Di pondok pesantren ini para siswa diberi pelajaran bahasa arab dan jurisprudensi Islam (usul al-figh). Pada lemabaga-lembaga ini pula para siswa diajarkan memahami isi Alquran dan hadis. Di Jawa pemimpin pondok pesantren disebut kiai, sedangkan siswa-siswinya disebut santri. Selanjutnya, istilah santri biasa digunakan sebagai istilah teknis yang di peruntukan bagi para muslim Indonesia yang saleh, melaksanakan dengan sadar lima rukun Islam. Adapun muslim yang sekedar nama, yang sangat tidak acuh di dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam, dikenal sebagai abangan (Islam abangan).

Selain bertujuan agar pandai membaca Alquran dan mengerti tentang agama, para santri memasuki pesantren juga ada maksud lain, yaitu untuk dapat berbagai berkat/barakah (karunia magis) dari sang kiai. Di mata umat, kiai adalah tokoh ulama yang memiliki bebagai pengetahuan tentang Islam, sekaligus sebagai tokoh spiritual yang disegani masyarakat. Seorang kyai bukan sekadar seorang manusia dengan ilmu pengetahuan keagamaan, tetapi juga seorang yang dianugerahi dengan kekuatan (pancaran karunia) illahi, yang pendapatnya di dalam segala masalah dianggap sebagian besar ummat tak bisa salah, dan orang yang harus ditaati tanpa bertanya.

Holland Indische School (HIS) dan Schakel School adalah sekolah untuk tingkat dasar atau tingkat pertama. Lembaga-lembaga pendidikan ini sekular sama sekali, namun demikian agama diajarkan untuk memberikan moral kepada para pealajar. Dalam masa perjuangan bersenjata, sebuah universitas Islam didirikan di Yogyakarta yang pada tahun 1951 pindah ke Solo. Pada saat selanjutnya lembaga-lembaga serupa didirikan pula di daerah-daerah lain, yang sepenuhnya di bawah naungan kementerian agama dan bukan kementerian pendidikan dan kebuadayaan. Untuk meningkatkan pendidikan agama pada tingkat yang lebih tinggi, didirikan pula Perguruan Tinggi Agam Islam Negeri (PTAIN) yang kemudian berganti nama menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di semua ibu kota propinsi.

Karena campur tangan pemerintah serta adanya ide-ide pemikiran sekular dari para tokoh sekular, dalam perkembangannya sekarang ini IAIN lebih bercorak sebagai sebuah perguruan agama Islam yang bersifat sekular. Secara tidak disadari di kalangan para cendekiawan muslim jebolan perguruan sekular lebih berorientasi kepada ilmu (knowledge oriented) atau islamologi.

Selain meningkatkan mutu pendidikan, organisasi sosial yang berusaha meningkatkan kesejahteraan sosial kaum muslim juga didiriakan. Organisasi pertama dengan corak demikian itu di Jawa dimulai dalam tahun 1905 dengan nama Jamiat Khair. Meskipun sebagian besar anggotanya adalah orang-orang Arab atau keturunan Arab, tercatat juga sedikit nama-nama pribumi. Salah seorang di antaranya ialah K.H. Ahmad Dahlan, orang yang kemudian terkenal sesudah berhasil mendirikan sebuah organisasi pembaharu yang paling berpengaruh bagi kaum muslim hingga sekarang ini, yaitu gerakan Muhammadiyah.

Jamiat Khair sangat giat dalam mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat menengah dan dengan penekanan pengajaran pada berbagai mata pelajaran, seperti misalnya ilmu hitung, sejarah ilmu bumi, dan sebagainya. Bahasa pengajaran bahasa Indonesia, karena kebanyakan anak-anak Arab itu sampai sekarang pun lebih banyak yang berbahasa Indonesia daripada berbahasa Arab. Diajarkan pula bahasa Inggris, bukan Belanda. Beberapa orang guru didatangkan dari negara-ngara Arab. Di antara mereka yang terkemuka ialah orang yang bernama Akhmad Soorkati dari Sudan. Ia kemudian mendirikan sebuah oganisasi dengan nama Al-Iryad (Al-Irsyad Al-Islamiyah). Akibat pertentangan di dalam tubuh Jamiat Khair itu sendiri menyebabkan Akhmad Soorkati mendirikan Al-Irsyad. Gerakan Al-Irsyad lebih berwatak tegas yang cocok dengan semangat cita-cita kaum pembaharu atau modernis Muslim. Titik berat lebih di tekankan kepada mempelajari tauhid (keesaan Tuhan), usul al-figh, dan sejarah, karena bagi mereka pendidikan pertama-tama berarti memepersiapkan manusia untuk menjawab seruan Tuhan, siap berkorban jiwa dan raga tanpa syarat. Pendidikan ditinjau dari sudut itu ialah mendidik demi kewajiban dan ibadah terhadap Tuhan. Keterlibatannya yang mendalam terhadap panggilan untuk menyebarkan cita-cita kaum pembaharu muslim, gerakan Al-Irsyad pun telah mengilhami kaum muslim di Indonesia dengan cita-cita kemerdekan dan persamaan. Sesungguhnya cita-cita inilah yang telah menjadi penyebab, selain sebab-sebab lainnya, terjadinya perselisihan di antara mereka dan dengan Jamiat Khair. Tetapi, itulah pula mengapa Al-Irsyad mendapat dukungan luas di kalangan awam dan mempunyai pengaruh lestari hingga sekarang.

Sebuah organisasi yang dinamakan Perserikatan Ulama, serupa dengan Jamiat Khair Arab itu, didirikan oleh kaum muslim Indonesia yang terutama terdiri dari para 'ulama'. Pemrakarsanya ialah H. Abdul Halim dari Majalengka Jawa Barat. Ia berpendidikan di Mekah dan sangat paham terhadap karya-karya al-Afghani dan 'Abduh. Organisasi ini banyak memiliki dan mengelola sekolah-sekolah yang mengajarkan mata pelajaran sekuler modern. Yang terpenting di antaranya ialah lembaga pendidikan yang dinamakannya Santi Asrama, kata-kata sansekerta dipakainya untuk nama itu dan bukan Arab. Pelajaran sekular tersebut tidak hanya terdiri pelajaran-pelajaran yang bersifat umum, tetapi juga pelajaran tentang kerajinan tangan, perdagangan, dan pertanian. Perserikatan Ulama dengan tegas menentang gagasan pemisahan total antara masalah surgawi dan duniawi, atau antara agama dan negara, serta tegas berpihak pada mazhab hukum Syafi'i.

Pada tahun 1912 berdiri sebuah organisasi keagamaan Islam pembaharu oleh K.H. Ahmad Dahlan yang diberi nama Muhamadiyah di Yogyakarta. Tujuan utama organisasi ini ialah untuk menyebarkan keimanan Islam di kalangan penduduk dan untuk meningkatkan kehidupan beragama di kalangan anggotanya. Seperti halnya gerakan lain yang memiliki kecenderungan pembaharuan, maka untuk mencapai tujuannya tersebut didirikanlah sekolah-sekolah, balai-balai pengobata, rumah sakit, rumah-rumah yatim piatu, took-toko, hingga universitas dengan mata pelajaran keagamaan dan nonkeagamaan serta dengan melaksankan dakwah Islam seluas-luasnya.

Pada tahun 1920, menyusul gerakan keagamaan yang hampir sama dengan Muhamadiyah, namun sedikit lebih keras adalah yang didirikan oleh A. Hasan di Bandung, Jawa Barat. Organisasi ini menempuh sikap bermusuhan yang lebih keras terhadap penguasa pendudukan Jepang, dan menyelenggarakan perdebatan umum dengan orang-orang yang memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang doktrin-doktrin keagamaan. Seperti gerakan-gerakan lain yang berkeyakinan sebagai pembaharu, tujuan utamanya ialah menyeru umat manusia untuk memenuhi kewajibannya, melaksanakan sepenuhnya hukum Islam sebagaimana di perintahkan oleh Alquran dan sunah.

Tahun 1925 berdiri Jong Islamieten Bond oleh seseorang yang bernama R. Sam, belakangan terkenal dengan nama Syamsurijal, mantan walikota Jakarata dan anggota aktif partai poltik Islam, Sarekat Islam. Berkat kegiatan Jong Islamieten Bond ini banyak cendekiawan Muslim muda yang tercegah meluncur jauh dari ajaran-ajaran Islam, sementara mereka tetap tekun menuntut ilmu pengetahuan. Melalui Islam Studie Club, salah satu program di antara kegiatan-kegiatan Jong Islamieten Bond, mereka memperbincangkan masalah-masalah mutakhir yang penting, seperti misalnya "Islam dan Kebebasan Berpikir", "Poligami dan Islam", "Perang dan Etika di dalam Islam", "Peranan dan Kedudukan Wanita di dalam Islam", "Islam dan Nasionalisme", dan lain-lain. Sebagai organisasi pembaharu bagi kaum cendekiawan muslim muda, Bond ini tidak pernah kehilangan wataknya yang berkebangsaan. Riwayatnya tamat oleh pemerintahan pendudukan Jepang.

Tahun 1905, K.H. Samanhudi di Jawa Tengah mendirikan Sarekat Dagang Islam. Ia merupakan sebuah organisasi dagang untuk membantu para pedagang muslim, bersaing dengan lebih berhasil menghadapi kemajuan pedagang Cina yang sedang berkembang. belakangan nanti, ketika organisasi ini mendapatkan nama barunya, Sarekat Islam dalam tahun 1912, pimpinan Haji Samanhudi digantikan oleh H.O.S. Tjokroaminoto, seorang yang memiliki kharisma besar, seorang bangsawan terpelajar dengan pengalaman lama didalam birokrasi pemerintahan. Di bawah pengaruhnyalah lingkup organisasi ini meluas, bukan hanya masalah-masalah perdaganagn dan ekonomi, tetapi juga sosoial, keagamaan, dan politk sekaligus. Pergantian namanya itu benar-benar mencerminkan kawasan garapannya yang luas.

Sesudah masa penyusunan di bawah pimpinan Tjokroaminoto, Sarekat Islam di pimpin oleh dua orang terkemuka yang seperti Tjokroaminoto juga kemudian menjadi pejuang kemerdekaan terkemuka di gelanggang politik, yaitu Haji Agoes Salim dan Abdul Muis. Di bawah pimpinan tiga orang tokoh tersebut Sarekat Islam berkembang sangat pesat. Pada konggresnya yang pertama tahun 1916 anggotanya telah mencapai 360.000 orang. Karena sikapnya yang berpihak kepada rakyat banyak dalam perjuangan mereka melawan yang berkuasa.

Watak militan yang semakin berkembang pada organisasi ini menimbulkan ketakutan bagi kalangan pemerintah, sehingga tahun 1918 ketika parlemen kolonial, Volksraad (Dewan Rakyat), itu dibuka secara resmi, pemerintah kolonial mengakui Sarekat Islam untuk mewakili kepentingan pribumi di dalam badan legislatif tersebut. Ketika popularitas organisasi ini semakin kentara, golongan-golongan lain berusaha mengendalikan gerakan ini. Yang terpenting di antaranya ialah golongan-golongan yang berkecenderungan komunis dan terpengaruh keberhasilan revolusi Rusia yang baru saja berlalu.

Menyadari pesatnya organisasi ini, pemerintah berusaha merongrongnya dengan cara menempatkan tokoh-tokoh pemimpin sayap kiri di cabang-cabang lokal. Dalam perkembangannya, terjadi jarak antara pimpinan pusat dengan daerah, sehingga timbul permasalahan komunikasi di mana pusat tidak bisa mengontrol kegiatan di daerah. Gerakan tokoh kiri, seperti Semaun dan Darsono dengan dibantu oleh Hendrik Sneevliet, seorang anggota partai sosialis di Negeri Belanda, akhirnya berhasil menguasai pimpinan atas cabang lokal Sarekat Islam di Semarang, Jawa Tengah. Di bawah pimpinan tiga tokoh kuat ini, idiologi Komunis disusupkan ke dalam politik nasional Sarekat Islam.

Tahun 1923, melalui tindakan tegas yang dipaksakan oleh konggres, mereka yang berkecenderungan komunis dipaksa untuk mendirikan organisasi sendiri. Pertama dikenal dengan nama Sarekat Islam Merah yang kelak akan menjadi Partai Komunis Indonesia. Partai Komunis terus giat hingga pada permulaan pendudukan Jepang, ketika itu kemudian dilarang, tetapi timbul kembali sesudah perang dunia II. Selama perjuangan kemerdekaan, partai ini ikut ambil bagian dalam merebut kemerdekaan, tetapi kemudian ditindak oleh pemerintah Indonesia di kemudian, karena keterlibatannya dalam usaha coup d'etat dalam tahun 1948. Kemudian, Presiden Soekarno mengijinkan dihidupkan kembali, tetapi dinyatakan terlarang pada zaman Soeharto. Kemudian, di era reformasi ini, Gusdur (K.H. Abdul Rahman Wahid, cucu pendiri Nahdlatul Ulama) menyatakan kebebasan kembali semua idiologi.
Tahun 1931, untuk menegaskannya sebagai sebuah gerakan politik yang memiliki kekutan riil demi kepentingan Indonesia, nama Sarekat Islam berganti menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia, yang tahun 1971 dikenal dengan singkatan PSII. Dari tahun 1931 hingga pendudukan Jepang, PSII merupakan partai politik Muslim paling berpengaruh yang pernah ada di Indonesia.

Semasa pendudukan Jepang, pada tahun 1943, PSSI bersama dengan organisasi-organisasi Islam yang ada meleburkan diri ke dalam Masyumi, sebagi kependekan dari Majelis syura Muslimin Indonesia. Persatuan ini tidak berlangsung lama. Dalam tahun 1947, dua tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan, terjadilah perpecahan yang pertama. PSSI lama kembali didirikan. Dalam tahun 1952, selama berlangsung konferensi tahunannya di Palembang, Sumatera Selatan, kaum ulama yang hanya diberi kedudukan sebagai penasihat di dalam pimpinan Masyumi menuntut suara lebih banyak untuk mengisi kursi-kursi pimpinan yang diduduki oleh orang-orang awam dengan pandangan keagamaan pembaharuan. Karena tuntatan ini tidak pernah terpenuhi, para ulama tersebut akhirnyaya memutuskan untuk meninggalkan organisasi, dan kemudian membentuk partai sendiri. Mereka mendirikan Nahdatul Ulama (kebangkitan ulama), yang semula pernah berdiri dalam tahun 1926 sebagai sebuah organisasi sosial yang berpandangan keagamaan tradisionalis. Dalam masa pendudukan Jepang, Nahdatul Ulama berfusi ke dalam Masyumi.

Dalam tahun yang sama, sebuah golongan tradisionalis lainnya telah pula meninggalkan Masyumi, dan muncul di bawah nama Perserikatan Tarbiyah Indonesia (Perti ) yaitu Perserikatan Pendidikan Islam Indonesia. Ia didirikan di Sumatera Barat sebagai sebuah organisasi pendidikan, dan sejak tahun 1952 telah menjadi sebuah partai politik muslim tradiaional yang lain. Perbedaan kecil antara Perti dan Nahdatul Ulama terletak pada, bahwa yang terdahulu menuntut tradisionalisme sebagai mewakili mazhab hukum Syafi'i khususnya, sedangkan yang belakangan menuntut sebagai mewakili seluruh umat yang dengan taat memeluk ajaran-ajaran ahli sunah wal jamaah. Orang-orang dari kedua golongan tersebut berselisih dengan golongan pembaharu, karena pandangannya yang terlalu progresif. Dalam pandangan dua golongan tersebut, kaum pembaharu adalah sama seperti kaum rasionalis dan sangat dalam terpengaruh oleh cara berpikir Barat, atau malahan lebih buruk lagi, di bawah pengaruh langsung ideologi sosialis.

Setelah tahun 1965, tatkala G 30 S/PKI gagal, timbullah suatu situasi politik yang baru di dalam negeri, dan mencapai titik-didihnya pada penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Suharto pada tanggal 11 Maret 1966. Pada awal pemerintahan Suharto, semua pemimpin Masyumi yang dipenjarakan, termasuk Muhammad Natsir, dibebaskan dari penjara. Ini membangkitkan harapan akan dihidupkanya kembali Masyumi. Di luar dugaan, pemerintah baru itu menolak gagasan itu. Beberapa orang di antara pimpinan Masyumi dipandang oleh pemerintah telah menentang idiologi Pancasila sedemikian jauh, sehingga mereka pun dianggap memusuhi persatuan bangsa Indonesia. Tersangkutnya beberapa orang pemimpin Masyumi pada cita-cita mendirikan sebuah negara Islam di Indonesia, barangkali tidak menjawab sepenuhnya mengenai penolakan pemerintah untuk menghidupkan kembali Masyumi tersebut, walaupun di masa lalu masalah ini telah menjadi salah satu sebab penting dalam perdebatan yang menggenting. Kebenaran hal ini barangkali akan lebih jelas jika kita mengingat bahwa gagasan untuk mendirikan sebuah negara Islam bukan merupakan tujuan mantap Masyumi saja, tetapi juga merupakan tujuan ideologi partai-partai politik Islam lainnya, Nahdatul Ulama PSII dan Perti. Walau berbeda dengan sementara pimpinan Masyumi tersebut, tak seorang pun di antara para pemimpin ketiga partai ini telah terlibat di dalam pemberontakan itu.

Menelan tantangan pemerintah dengan sedikit rasa pahit sebuah badan pekerja dibentuk untuk meninjau kembali kemungkinan berdirinya sebuah partai politik baru bagi golongan muslim dengan pandangan keagamaan pembaharuan, yang sama sekali bersih dari pertalian apa pun dengan Masyuni dahulu. Dalam tahun 1967 terbentuklah partai baru itu dengan nama Partai Muslimin Indonesia, mula-mula dikenal sebagai PMI, kemudian berubah menjadi Parmusi. Dari semula, Parmusi menentang persyaratan pemerintah dalam mendirikan partai baru tersebut, dengan memilih sebagai ketuanya pada kongres yang pertama, Muhammad Roem, bekas pemimpin Masyumi dahulu, yang dengan tegas tidak disetujui oleh pemeintah. Muhammad Roem kemudian diganti oleh seorang tokoh muda yang tak penah bersangkut-paut dengan Masyumi, Djarnawi Hadikusumo, bekas ketua Muhammadiyah di Jawa Tengah. Menanggapi campur tangan pemerintah terhadap urusan rumah tangga Parmusi, dengan terbuka Muhammad Roem menyerang pemerintah Presiden Suharto di dalam tulisan-tulisannya yang menyatakan, walaupun terdapat perbedaan jelas antara "orde lama" Sukarno dengan "orde baru" Saharto, namun dalam hakikat keduanya sama belaka. Yaitu, di bawah kekuasaan yang lama tidak ada demokrasi sama sekali, sedangkan di bawah kekuasaan yang baru demokrasi itu tak kunjung datang.

Sampai tahun 1972 keempat partai politik Islam, PSll, Nahdatul Ulama, Perti, dan Parmusi, dengan tak mengingkari adanya perbedaan dalam berbagai masalah, benar-benar mencerminkan cita-cita politik seluruh ummat di Indonesia dalam masa mutakhir.

Perkembangan politik baru terjadi pada akhir tahun itu. Didorong oleh wawasan pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah perkembangan ekonomi dan politik, pemerintahan Suharto melancarkan reorganisasi menyeluruh atas sistem politik yang berlaku. Kebutuhan untuk mengurangi jumlah partai-partai politik mendapat perhatian utama, karena di mata pemerintah partai-partai merupakan sebab pokok kegagalan Indonesia untuk berkembang sebagai suatu bangsa yang modern. Partai-partai itu bukannya berjuang untuk mengembangkan kepentingan nasional, melainkan selalu saling cakar-cakaran dan berebut demi kepentingan masing-masing. Karena pemilu 1971 telah dimenangkan secara gemilang oleh Golongan Karya (Golkar) yang terutama terdiri dari para pegawai negeri dan yang di pimpin oleh anggota-anggota militer, dengan segera gagasan pemerintah tersebut mendapat tanggapan positif di parlemen. DPR menetapkan sebuah undang-undang yang menuntut penyusutan jumlah partai-partai politik di dalam negeri. Maka, keempat partai politik Islam itu pun dilebur menjadi satu, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Selain PPP yang mewakili kepentingan politik ummatnya, ada sebuah partai yang terbentuk melalui fusi, antara lima partai politik yang disebut Partai Demoktasi Indonesia atau PDI. Partai ini terdiri dari berbagai unsur: nasionalis, sosialis, dan Kristen, baik Protestan maupun Katolik.

Pada zaman Soeharto, karena kecintaannya kepada kekuasaan dan takut tersingkir, tokoh-tokoh Islam yang berbau keras serta oganisasi-organisasi yang berbau menentang kebijaksanaannya ditekan dan selalu diusahakan untuk dimusnahkan. Banyak tokoh-tokoh muslim, baik yang militan maupun yang sekular, dipenjara pada masa ini. Asal berani menentang saja terhadap kebijaksanaan pemerintah pada waktu itu, maka akan disingkirkan.

Milihat sifat politik pemerintah yang demikian, HMI tidak mengambil posisi yang terlalu keras berhadapan dengan pemerintah. Hanya, pada saat-saat yang tepat organisasi ini bersama dengan organisasi-organisasi mahasiswa lainnya bersatu untuk menggulingkan pemerintahan Soeharto. Waktu itu Amin Rais, tokoh dari UGM, dengan kelihaiannya mengambil mementum yang tepat untuk menjadi tokoh sentral gerakan penggulingan Soeharto oleh kalangan mahasiswa.

Pada zaman Habibi, pintu demokrasi dibuka lebar-lebar. Pers, yang selama pemerintahan Soeharto dibungkam, menjadi bebas dan kebablasan. Perubahan tatanan kehidupan politik berubah dengan sangat cepatnya, hingga kursi presiden dapat digulingkan dengan waktu yang tidak mencapai lima tahun. Partai-partai politik dihidupkan kembali, hingga Golkar, yang tadinya nomor tiga pada zaman keemasannya, setelah pemerintahan Habibi menjadi partai nomor 33. Angka 33 adalah jumlah dikiran Subhanalloh, Alhamdulillah, dan Allahuakbar setelah salat. Ini boleh jadi Allah mengingatkan orang-orang Golkar supaya bertaubat dan berzikir mengingat Allah. Renungkan kesalahan-kesalahan di masa lampau untuk kemudian menyongsong Indonesia baru, Golkar baru dengan semangat perjuangan baru.

Pada zaman Gus Dur, lebih bebas lagi dan lebih edan. Karena bebasnya, hingga paham-paham atau idiologi yang selama ini tidak diakui pemerintah dibebaskan untuk hidup. Tokoh kontrovesial ini memang unik. Betapa banyaknya tokoh politik yang sehat-sehat dan pinter-pinter, tetapi dengan tingkah polah tokoh ini membuat mata tertuju pada gerak-geriknya yang unik dan membingungkan umat. Dan puncak kebingungan dari umat ini, pada sidang MPR pemilihan presiden, diangkatlah seorang Gus Dur menjadi presiden RI yang ke-4. Meskipun telah menjadi Presiden, Gusdur tetap Gusdur, bahkan kontroversialnya semakin menjadi-jadi hingga jajaran pemerintahan bingung. Jurus dewa mabuk yang dijalankannya menjadikan media masa waktu itu selalu menyoroti gerak-gerik langkah sang presiden yang disebut kyai itu. Tiada hari tanpa pemberitaan Gus Dur. Puncak perhatian mata tertuju pada Gus Dur tatkala menjelang detik-detik dikeluarkannya dekrit. Boleh dikatakan, apalagi di jajaran pejabat tinggi, di kalangan rakyat biasa saja sebagian kalangan waktu itu semalaman banyak yang tidur. Begitu dekrti dikeluarkan, terjadilah titik balik di mana yang semula setiap omongan dan perkataan Gus Dur itu diperhatikan orang, mulai saat itu berbalik menjadi tidak sama sekali diperhatikan. Posisi HMI waktu itu mayoritas tidak sejalan pemikirannya dengan kebijaksanaan pemerintah yang begitu bebasnya menghidupkan semua paham-paham, termasuk komunis.

Kegiatan HMI di bidang Sosial Keagamaan

Setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh pemerintah Belanda pada akhir tahun 1949, HMI mengalihkankan perhatiannya terhadap kegiatan-kegiatan sosiao-edukasi. Prakarsanya ini mendodrong terselenggaranya muktamar akbar Pemuda Muslimin dalam tahun 1953 di Jakarta, sebuah kongres yang bertujuan mempersatukan pemuda muslim di dalam mencari cara-cara yang tepat sesuai dengan ajaran Islam, untuk memberikan sumbangan bagi kemakmuran bangsa yang baru tumbuh.

Tahun 1955, HMI dengan giat ikut serta di dalam program dan kegiatan internasional. Misalnya, mnejadi anggota penuh pada Organisasi Mahsiswa Muslim Sedunia. Pada masa inilah HMI mulai menerbitkan majalah sendiri, MEDIA, media yag di miliki dan di pimpin oleh Dewan Pimpinan Pusat. Perhatiannya di bidang kegiatan sosio-edukasi yang makin meningkat, juga tercermin di dalam keputusan yang diambil oleh kongresnya pada tahun 1955. Sebagai contoh, HMI mendesak menteri pendidikan untuk segera mengumumkan undang-undang yang mengatur organisasi kegiatan akademi di universitas-universitas. HMI mengimbau kepada pemerintah untuk memperbesar bantuan beasiswa kepada semua mahasiswa yang layak menerimanya. Ia pun menuntut kepada kementerian agama agar kepada HMI diberikan hak untuk mengurus jamaah haji di Mekah. Lebih lanjut melalui yayasan pendidikan Islam itu, didirikanlah sekolah-sekolah, mulai dari tingkat dasar sampai menengah, dan bersamaan dengan itu juga didirikan sebuah sekolah untuk pendidikan guru agama.

Untuk memenuhi kebutuhan bimbingan riset dalam berbagai teori pengetahuan, juga didirikan sebuah lembaga riset di bawah pengawasan HMI cabang Yogyakarta. Untuk mengembangkan kerja sama di bidang kegiatan kebudayaan, pendidikan, dan kemasyarakatan, HMI ikut juga didalam Konferensi Mahasiswa Afro-Asia di Bandung, dalam tahun 1955. Kecuali menjadi anggota organisasi mahasiswa muslim sedunia World Assembly of Youth (WAY), sebuah organisasi pemuda yang beraliran Barat, atas dasar aliran poltik HMI juga menjadi anggota Persatuan Mahasiswa Sedunia (World Union of Students), sebuah organisasi yang beorientasi agak kiri. Dalam pada itu, di dalam negeri, HMI ambil bagian sepenuhnya di dalam kelompok-kelompok kerja untuk membantu penduduk setempat dalam membangun desanya dengan pembuatan jalan, taman hiburan, serta kemudah-mudahan umum lainnya.

Selama tahun-tahun 1960-an, sesudah masyumi dibubarkan, keadaan para kader muslim pada umumnya menjadi semakin memburuk. Jalan paling baik bagi HMI agaknya ialah untuk membelokkan perhatiannya sama sekali pada kegiatan-kegiatan sosio-edukasi, khususnya yang bersangkut-paut langsung dengan mahasiswa. Yang terpenting di antaranya ialah pembentukan kelompok belajar bagi mahasiswa kedokteran muslim dari semua universitas di Jawa dan Sumatera. Dari musyawarah-musyawarah ini, para mahsiswa kedokteran itu menjadi yakin bawa menolong rakyat melalui pelayanan kedokteran adalah sejalan dengan gagasan Islam tentang dakwah.

Selama masa ini juga, seminar-seminar tentang pendidikan agama Islam di selenggrakan di berbagai universitas, terutama mengenai masalah pendidikan wajib dalam keagamaan yang ketika itu diajarkan di semua universitas dan sekolah negeri. Pada kongresnya yang ke-7 dalam tahun 1963, setia kepada keputusan untuk mengabdi kepada kepentinagn mahasiswa muslim, HMI mendirikan lembaga-lemabaga sendiri di bidang kesehatan, seni, dan pertanian yang sekarang masih berjalan.

Di bidang agama, HMI bersama-sama dengan organisasi Islam lainnya menganjurkan dibentuknya sebuah majelis ulama yang terlaksana dalam tahun 1975. Sesudah terbentuk, HMI merupakan salah satu di antara anggota penuh majelis. Di melalui inilah gaasan-gagasan HMI yang modern itu mulai dikumandangkan di kalangan ulama dan pejabat pemerintah. Majelis itu merupakan badan utama bagi pemerintah untuk merundingkan hal-hal sehubungan dengan masyarakat Islam.

Dalam program sosial pemerintah yaitu keluarga berencana, HMI ikut ambil bagian. Untuk memberikan dasar hukum program kelurga berencana itu, pemeritah menyodorkan sebuah rencana undang-undang perkawinan kepada DPR sebagai pengganti undang-undang yang diwarisi dari pemerintah Belanda. Undang-undang yang melarang keras poligami itu membangkitkan tentangan hebat dari golongan Islam, termasuk HMI. Sikap Islam ialah menyokong undang-undang pengganti yang memungkinkan berlangsungnya poligami di kalangan Muslim dalam hal-hal khusus terentu. Ini diteriama oleh DPR dan menjadi undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974. Dengan ikut sertanya dalam masalah ini, sekali lagi, menunjukan bahwa HMI selalu menjawab dengan tangkas masalah-masalah yang menyangkut kepentingsn umat.

Pada forum internasional, HMI melanjutakn usahanya untuk di perhitungkan peranannya, dengan mengikuti berbagai konferensi, seperti Program Kepemimpinan Mahasiswa Asia dan Pasifik yang di selenggarakan di AS, sedangkan Himpunan Mahasiswa Islam Asia Tenggara di Serdang, Selangor, Malaysia. Dalam konferensi itu diputuskan bahwa markas besar himpunan seyogyanya di Jakarta, karena pembanguan dan modernisasi telah menjadi perhatian utama pemerintah, dengan penuh minat HMI ikut serta dalam memecahkan masalah-masalah universal tentang kepadatan penduduk dan urbanisasi. Dalam berbagai konferensi itu, HMI dengan mendalam memperbincangkan masalah-masalah pelestarian lingkungan, pengembangan perikanan, dan land reform.

Sejak tahun 1974, HMI telah berpandangan politik dan membantu pemerintah melaksanakan program pembangunannya. HMI melihat bahwa kemajuan tertentu telah dicapai. Tetapi, HMI juga melihat bahwa penyebab penderitaan rakyat terletak pada kenyataan bahwa kemakmuran yang meningkat itu tidak terbagi secara merata. Kecaman lebih lanjut dibidikkan pada ajakan pemerintah kepada penanam modal asing untuk menunjang pembangunan ekonomi. Pada hemat HMI, hal ini sampai batas-batas tertentu telah memeberikan manfaat bagi perekonomian nasional, yaitu dengan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak. Tetapi, yang lebih menyedihkan, sangat sering penanam modal asing tersebut merugikan para pengusaha pribumi, melalui persaingan yang tak jujur, karena pemerintah tidak memberikan perlindungan terhadap perindustrian dalam negeri, yang di hadapkan dengan keuangan dan keahlian asing yang lebih kuat.

Melanjutkan kegiatan keagamaan, HMI mendesak pemerintah untuk melenyapkan kegiatan aliran kebatinan, dan bahkan untuk menolak secara resmi yang mempersamakannya dengan agama-agama dunia.

Disamping HMI, terdapat lima buah organisasi mahasiswa di negeri ini, dua di antaranya berdasarkan keislaman. Yang pertama ialah Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang mempunyai ikatan-ikatan langsung dengan partai politik Nahdatul Ulama dahulu, dan oleh karenanya kuat berkecenderungan kepada golongan tradisionalis di kalangan umat. Anggota-anggota PMII terutama di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dan di IAIN-IAIN di seluruh tanah air, namun demikian lebih kecil jumlahnya ketimbang HMI. Menurut beberapa orang anggota HMI, hubungan antara HMI dan PMII tepat sama seperti hubungan antara golongan tradisional dan golongan pembaharu di dalam umat. Organisasi yang kedua ialah Ikatan mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Seperti namanya, ia pun mempunyai ikatan langsung dengan gerakan pembaharu Muhammadiyah. Secara ideologi, IMM dan HMI mempunyai wawasan yang sama, tetapi HMI merupakan sebuah organisasi yang bebas. Barangkali kita akan heran, mengapa Muhammadiyah memandang perlu untuk membentuk organisasi mahasiswanya sendiri. Menurut salah seorang anggota HMI, jawaban atas pertanyaan itu ialah bahwa selama masa pemerintahan Presiden Sukarno dahulu untuk mendapatkan persetujuan dariya, sebuah organisasi harus dapat membuktikan bahwa ia mempunyai dukungan kuat dari masyarakat luas. Untuk memenuhi persyaratan inilah, bukan saja Muhammadiyah, tetapi semua gerakan sosio-politik yang ada di tanah air, harus membentuk sebanyak mungkin organisasi-organisasi penunjang.

Selain organisasi-organisasi mahasiswa dengan dasar keislaman itu, juga terdapat tiga buah yang lain ialah Gerakan Nasional Mahasiswa Indonesia (GNMI), yang bertlian langsung dengan Partai Nasional Indonesia, Gerakan mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), sebuah organisasi merdeka yang mewakili mahasiswa-mahasiswa Kristen Protestan, dan Pesatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), juga sebuah organisasi merdeka yang mewakili mahasiswa-mahasiswa katolik.

Tahun 1973, sebuah organisasi pemuda lahir, yaitu Komite Naional pemuda Indonesia (KNPI). Komite ini semula didirikan sebagi suatu badan penasihat pemuda untuk menggalakan program keluarga berencana pemerintah. Namun, kemudian berkembang menjadi sebuah badan dengan tujuan lebih luas, sebagai member tetap bagi semua pemuda Indonesia untuk memperbincangkan semua masalah nasional. Bidang perhatian dan keanggotan yang meluas ini kemudian harus tertampung di dalam anggran dasar KNPI. Namun, sementara orang berpendapat, KNPI merupakan sebuah organisasi yang dengan sengaja dididrikan oleh pemerintah untuk mengarahkan para pemuda serta kegiatan politik mereka agar tetap dapat dikendalikan sebaik-baiknya. Terdapat kecurigaan kuat bahwa pada akhiranya pemerintah akan melaksanakan peleburan berbagai organisasi pemuda dan mahasiswa itu ke dalam KNPI, menurut pola peleburan berbagai partai politik menjadi dua golongan politik utama. Sebagai suatu kelompok yang mewakili perseorangan dan bukan organisasi, KNPI mempersatuakan keanekaragaman pemuda Indonesia itu. KNPI terlalu rapuh untuk dapat bergerak bebas dari pemerintah.

Kegiatan Bidang Politik

Tak lama sesudah HMI berdiri dalam tahun 1947, berlangsunglah perundingan Linggarjati. HMI dan Masyumi menanggapinya berbeda, hal ini mencerminkan perbedaan yang mendasar antara kedua organisasi tersebut. HMI membenarkan hasil perundingan sebagai sesuatu yang mungkin menyebabkan penyerahan kedaulatan terjadi melalui jalan damai, sedangkan Masyumi tidak memberikan persetujuannya. HMI memberikan penilainnya yang bebas penuh pertimbangan, menyadari pertentangannya dengan Masyumi yang pada saat itu masih mewakili kedudukan politik seluruh umat.

Desember 1947 Aksi Militer I itu berakhir dan Perundingan Renville antara pemerintah Belanda dan Indonesia berlangsung. Diputuskan olehnya bahwa daerah hukum Indonesia diciutkan menjadi sebagian kecil Jawa dan seluruh Sumatera. Lebih dari itu, Republik Indonesia harus mengakui kedaulatan Belanda atas pulau-pulau sisanya. Republik Indonesia akan menjadi salah satu di antara anggota-anggota Negara Indonesia Serikat. Berdasarkan alasan inilah, HMI bersama-sama dengan Masyumi dan bagian terbesar golongan politik yang lain menolak keputusan-keputusan Perundingan Renville. Di luar dugaan umum, kaum komunis dan golongan sayap kiri lainnya, terdorong oleh hasratnya yang kuat untuk merebut kekuasaan pemerintah, mendukung hasil-hasil perundingan.

Sesudah penyerahan kedaulatan pada 30 Desember 1949, ibu kota Republik Indonesia dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Masa setelah penyerahan kedaulatan ditandai dengan ketenangan politik dan kewajaran, dan HMI pun memalingkan perhatiannya kepada usaha untuk mempersatukan kembali umat yang telah terpecah-belah.

HMI tidak mendukung partai politik Islam tertentu apa pun, tetapi mendorong anggotanya untuk memilih menurut nurani masing-masing .

Tahun 1958, terdorong terutama oleh rasa ketidakpuasan yang mendalam terhadap cara pemerintah pusat di dalam menangani pemerataan kesejahteraan ekonomi, pemerintah-pemerintah daerah di Sumatera dan beberapa daerah di Sulawesi bersama dengan sekutu mereka di dalam angkatan bersenjata melancarkan suatu pemberontakan. Mereka mengumumkan berdirinya pemerintah baru yang disebut Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan PERMESTA di Sulawesi. Pemerintah-pemerintah ini sangat anti komunis dan bersimpati terhadap dunia Barat. Beberapa pimpinan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia bergabung dengan pemberontak, tetapi HMI tidak terlibat. Bergulat dalam keadaan sukar seperti ini, HMI mengeluarkan sebuah pernyataan tentang ketidaksetujuannya terhadap pembentukan pemerintahan baru itu. Ia pun menegaskan bahwa Masyumi sebagai partai tidak harus dipersalahkan karena dukungannya terhadap pemberontakan tersebut. Karena pembatasan-pembatasan terhadap semua kegiatan politik oleh pemerintah nasional yang meluas itu, tidak banyak yang bisa diperbuat oleh HMI demi kepentingan kemerdekaan politik.

Tahun 1960, ketika Masyumi dilarang, pada kongresnya yang ke-6, HMI hanya mencetuskan hal-hal penting yang secara politik tidak menimbulkan pertentangan sebagai dasar bagi programnya, seperti berikut:




Tetap setia kepada Islam dan tanah air Indonesia.

Meneruskan kepemimpinanya di tengah umat umumnya dan meneruskan pertanggungjawaban untuk memepersatukan anasir yang beraneka ragam di dalam umat.

Melanjutkan kepemimpinan di tengah-tengah gerakan mahasiswa Indonesia.

Melanjutkan penyiarana-penyiaran azas-azas masyarakat keislaman di tengah masyarakat Indonesia khususnya.


Dengan mendukung Presiden Soekarno, jelas bahwa HMI mengambil langkah politik secara hati-hati. Keberhasilan Presiden Soekarno membubarkan Masyumi menunjukan betapa sia-sianya penentangan politik. Dan, dikembalikannya Partai Komunis ke dalam kehidupan politik menunjukan betapa jauh langkah yang dipersiapkan untuk mempermantap kekuasaan pribadinya. Sesudah Masyumi dibubarkan, Presiden Soekarno tidak mendengar suara tantangan politik dari kalangan umat. Padahal, sebenarnya kaum muslim tradisionalis, seperti mislanya yang ada di tubuh Nahdatul Ulama, PSSI, dan perti, tidak mempunyai wawasan revolusioner, namun mereka berkerumun di sekitar program revolusioner Pesiden Soekarno. Yang menarik perhatian lebih lanjut ialah bahwasanya Presiden Sukarno, sebagai seorang revolusioner yang cukup pragmatis dan seorang ahli siasat yang cukup cakap, berhasil mengekang baik kaum komunis maupun kaum muslimin tradissional demi kepentingan suatu kekuasaan yang tak satu pun di antara keduanya itu mampu mengendalikannya. Kampanye Presiden Soekarno untuk menjebol kekutan apa yang di dinamakan olehnya "neo-kolonialisme", dan untuk memebersihkan semua perlawanan terhadap pemerintahnya, memuncak pada siasatnya untuk menggabungkan semua kekuatan revolusioner, yaitu pro Pesiden Soekarno, ke dalam Nasakom, kependekan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunis.

Gagasan Nasakom Presiden Soekarno ini pada dasarnya berakar dari warisan kebudayaan jawa yang merupakan campuran selaras dari semua anasir yang berbeda-beda menjadi menjadi satu sistem yang manunggal. Namun demikian, sebagaimana peristiwa-peristiwa selanjutnya, menunjukan bahwa kaum komunis yang sama pragmatisnya dengan Presiden Soekarno itu menerima Nasakom dengan sikap untuk pada akhirnya tampil sendiri di atas tampuk kekuasaan. Mengingat bahwa Presiden Soekarno tanpa kesulitan berhasil membubarkan Masyumi, kaum komunis dan golongan sayap kiri lainnya melancarkan serangan politk terhadap HMI, dan mendesak Presiden Soekarno untuk membubarkan HMI, sebagai organisasi reaksioner yang berbahaya serta berwatak sama seperti Masyumi. Dalam salah satu pidatonya, ketua partai komunis ketika itu dengan tegas menuntut pembubaran HMI, dan agar pembubarannya itu harus dilaksanakan serentak dengan pembubaran Masyumi. Sejak saat pemberontakan Madiun, kaum Komunis memendang HMI sebagai musuh dengan corak yang sama dengan Masyumi. Karena itu, mereka berhasrat menghancurkan organisasi ini secepat-cepatnya, dan dengan demikian dapat mengayun langkah stragis lebih lanjut menuju cita-cita kekuasaan Komunis. Serangan kaum komunis itu berupa tuduh-tuduhan yang dikobarkan, baik oleh partai, maupunn organisasi mahasiswa Komunis, bahwa HMI seperti halnya Masyumi bertentangan dengan sila-sila Pancasila, terlibat berat dalam pemebrontakan kedaerahan, bahwa HMI anti Soekarno, anti Nasakom, dan bahkan sebagai agen CIA, HMI berpihak kepada Malaysia dalam pertikainnya dengan Indonesia. HMI juga dituduh memberikan dukungan penuh terhadap gerakan Darul Islam. Bekerja sama dengan golongan sayap kiri di dalam tubuh gerakan mahasiswa nasionalis, mahasiswa komunis ini bekerja membanting tulang untuk mengeluarkan HMI dari segala kegiatan kemahasiswaan di kampus-kampus.

Gerakaan anti HMI ini, kendatipun meluas di seluruh tanah air, namun yang paling mempan adalah di Jawa Timur. Orang yang bertanggung jawab sepenuhnya di dalam rencana tempur ini Dr. Ernsk Utrecht, seorang keturunan Belanda-Indonesia, ketika itu Utrecht adalah Profesor dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya di Jember, Jawa Timur. Walaupun resminya bukan seorang anggota Partai Komunis Indonesia, ia tegabung dalam sayap kiri Partai Nasional Indonesia (PNI), namun dari kuliah-kuliahnya ia sangat dikenal sebagi seorang yang berwawasan idiologi anti agama.

Tekanan yang ditimpakan kaum komunis dan golongan sayap kiri lainnya terhadap HMI itu mencapai puncaknya dalam tahun 1964, setahun menjelang percobaan kup tahun 1965. Selama masa ini, atas prakarsa sendiri, Dr. Utrecht mengeluarkan sebuah pengumuman yang melarang HMI ikut serta di dalam kegiatan apa pun di fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Mengingat kekutan HMI yang tak berkurang di hadapan sayap kiri itu, pengumuman pembubaran Utrecht tersebut jelas tidak meyakinkan. Pemerintah pusat, Presiden Sukarno khususnya, bukannya memenfaatkannya tekanan sayap kiri itu, malahan membiarkan HMI tetap bebas bergerak atas dasar pertimbangan bahwa HMI bukan suatu gerakan politik yang dapat mengancam ushanya untuk mempersatukan bangsa dan negara. Oleh karena itu, tindakan Dr. Utrecht tersebut disambut dengan gelombang amarah dari berbagi golongan Islam, dari organisasi-organisasi mahasiswa dan nonkomunis lainnya dari pemerintah pusat, dan dari beberapa orang perwira tinggi angkatan darat. Ketika Masyumi dilarang, golongan-golongan politik dan sosial Islam lainnya mengambil sikap diam, tetapi kali ini anggota-anggota Nahdatul Ulama, PSII, Perti bersama-sama menytakan diri siap berkorban jiwa raga apabila perlu demi kelangsungan hidup HMI.

Melalui seorang utusan, Presiden Sukarno berpesan agar HMI meneruskan kegiatan-kegiatannya. Jenderal Ahmad Yani, ketika itu panglima angkatan Darat yang kemudian terbunuh dalam kup komunis yang gagal tahun 1965, menyatakan keyakinannya tentang kesetiaan dan kebulatan HMI dalam mengabdi demi kepentingan tanh air. Seperti Muhammadiyah, walaupun HMI adalah sebuah kelompok pembaharu di dalam umat, namun bukanlah suatu partai politik. Lebih Dari itu, terdapat banyak Perwira Tinggi yang berpengaruh di dalam tubuh angkatan darat adalah para alumni HMI. Mereka ini pun telah mempengaruhi Presiden Soekarno untuk tidak mengambil tindakan terhadap HMI. Di pihak lain, Dr. Utretcht, dengan menggunakan dalih serupa yang telah dikenakan terhadap Masyumi sebelumnya, menyatakan pelarangannya terhadap HMI sebagai gerakan reaksioner yang juga telah disusupi sangat mendalam oleh gagasan kapitalis. Tindakannya itu telah membelah dua kubu di kalangan para profesor di Jember, seperti halnya di kalangan mahasiswa. Hal ini membawa akibat, di antara dua kelompok yang saling berlawanan itu menjurus ke arah terjadinya duel kekuatan secara fisik. Pemerintah pusat memecahkan masalah ini dengan segera memindahkan Pofesor Utrecht dan para professor yang dengan gigih berpihak kepada HMI pada jabatan-jabatan pengajar di berbagai tempat di Jawa. Kendatipun demikian, kaum komunis tak pernah menghentikan mereka agar HMI dibekukan secara nasional, terus-menerus sampai pada saat kup yang gagal dalam tahun 1965 itu. Pada saat kup terjadi dan disusul dengan kemenangan politik Angkatan Bersenjata, khususnya Angkatan Darat, piihak yang menang ini mendapat dukungan bersemangat dari goglongan Islam dan golonan agama lainnya. Golongan Islam yakin bahw Tuhan telah meridhai kemenangan nasional terhadap pemerontak-pemberontak kaum komunis yang ateis itu. Seperti juga pada saat pemberontak Madiun, HMI bersatu di belakang angkatan darat dan berjuang untuk menghancurkan kaum komunis.

Dilaporkanlah dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur bahwa pembunuhan besar-besar merupakan peristiwa sehari-hari. Tak seorang pun yang dapat memberikan perkiraan yang mendekati kebenaran tentang berapa banyak rakyat yang terbunuh selama pergolakan terjadi. Polongka, seorang ilmuwan politik yang memiliki banyak pengalaman tentang perkembangan politik di Asia Tenggara, memperkirakan sebanyak 150.000 sampai 300.000 jiwa terbunuh, yang dikatakannya, tidak dapat mengubah kenyataan bahwa baik sifat maupun luasnya pembunuhan sedemikian rupa sehingga hanya akan meninggalkan warisan luka yang berlangsung lama bagi beratus-ratus ribu manusia. Dikatakan pula bahwa konon pembunuhan-pembunuhan tersebut dilakukan oleh pasukan khusus angkatan darat sebagai tindakan tegas balas dendam atas kekejaman serupa yang dilakukan oleh kaum komunis terhadap pejuang sipil anti komunis itu yang terdiri dari anggota-anggota HMI, anggota-anggota organisasi pemuda yang tergabung dalam Nahdatul Ulama, anggota-anggota Muhamadiyah, dan di sementara daerah, juga anggota-anggota pemuda Katolik dan organisasi-organisasi mahasiswa lainnya.

Sesudah kup dan peristiwa kelanjutannya, Dewan Pimpinan Pusat HMI kemudian menyampaikan sebuah pernyataan tentang peristiwa tersebut kepada pimpinan militer nasional, dengan pokok-pokok masalah sebagai berikut:




Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang utama kup yang gagal itu.

Seluruh barisan Islam harus bersatu di bawah pimpinan Nahdatul Ulama untuk mengutuk kaum komunis beserta simpatisan-simpatisannya.

Mutlak perlu Partai Komunis Indonesia dibubarkan.

HMI siap dengan segala daya membantu pelaksanaan pembubaran Partai Komunis Indonesia itu.


Bersamaan dengan itu, HMI bekerja untuk memulihkan hak menyatakan perbedaan pendapat dan pemerintah yang demokratis yang telah ditindas selama kekuasaan Presiden Soekarno. Agar Orde Baru terlaksana, HMI bekerja sama dengan organisasi-organisasi mahasiswa nonkomunis lainnya membentuk sebuah arena persatuan yang dikenal dengan nama KAMI, kependekan dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia pada tanggal 25 Oktober 1965 di Jakarta. Organisasi-organisasi mahasiswa Protestan dan Katolik juga giat di dalam barisan mahasiswa ini. Dengan perantara KAMI, yang dalam bahasa Indonesia perkataan ini juga berarti kita kata ganti orang ke-1 jamak untuk dihadapkan dengan kamu dan mereka kata ganti orang ke-2 dan ke-3 jamak, HMI dan golongan-golongan anti komunis lainnya memisahkan diri secara tegas dari golongan-golongan mahasiswa dan partai politik sayap kiri orde lama. Pada tanggal 10 Februari 1966, melalui KAMI, dalam suatu demontrasi raksasa di kampus Universitas Indonesia di Jakata, HMI menuntut agar Presiden Soekarno segera mengmbil tindakan untuk membubarkan Partai Kominis Indonesia dan semua organisasi-organisasi mantelnya. Disamping itu, mereka pun menuntut turunya harga-harga barang kebutuhan hidup pokok. Juga dituntut agar menteri kabinet Presiden Sukarno yang condong ke komunis di copot.

Timbulnya "orde baru" juga dikenal sebagai masa kebangkitan angkatan 66 yang ditandai oleh suatu kejujuran baru dan keterbukaan. Sebulan sesudah demontrasi kampus tersebut, Presiden Soekarno mengabaikan tuntutan KAMI, malahan membentuk kabinet baru dengan membawa beberapa orang yang dikenal sebagai simpatisan komunis yang dicurigai terlibat di dalam kup yang gagal itu. Rangsangan Presiden Soekarno ini memancing protes amarah baru kalangan mahasiswa yang didukung oleh angkatan darat. Sekali lagi, KAMI di piminoleh HMI, melancarkan demontrasi besar-besaran. Kali ini bergerak dari kampus langsung menuju ke gerbang istana presiden. Di sini mereka mengulangi tutunannya agar Pesiden membubarkan Partai Komunis. Tetapi, sekali lagi suara mereka tak mempan. Akibatnya, terjadi bentrokan kekerasan antara mahasiswa dengan pasukan pengawal istana yang menimbulkan korban dua orang mahasiswa tewas. Presiden Soekarno mengobarkan pertentangan mengenai komunisme sampai ke titik didih, yaitu dengan tindakannya yang paling akhir, pembubaran KAMI, yang mengakibatkan para mahasiswa dan golongan anti-komunis lainnya mengamuk. Ini adalah peristiwa terakhir yang menghabiskan kesabaran angkatan darat. Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno akhirnya menyerahkan kekuasaan pemerintahannya kepada Jendral Soeharto. Untuk memulihkan ketertiban, dengan cepat jendral-jendral bertindak melaksanakan tuntutan yang meluas untuk membubarkan partai Komunis dengan semua anak organisasinya.
Seperti sudah dikemukakan terdahulu, dalam suasana baru ini bagian terbesar golongan Islam berhasrat untuk membangun kembali partai Masyumi. Tetapi usaha itu gagal. Tak lama setelah kegagalannya itu, dengan dukungan HMI, pemerintah mengesahkan berdirinya Parmusi. Dalam hal ini HMI menyokong golonan pembaharu yang berpendirian lunak terhadap golongan yang lebih keras. Dalam pemilihan umum 1971 partai politik Islam yang tampil dalam satu wadah persatuan gagal memenangkan bagian terbesar suara. Dari sejak tahun 1970 dan seterusnya, dengan dalih memberi tempat istimewa pada pembangunan ekonomi, pemerintah membatasi semua kegiatan politik. Pembatasan ini berhasil membendung kegiatan politik HMI sedemikian rupa, sehingga ketika PPP dibentuk tak ada jalan lain kecuali harus mendukung penggabungan itu.

Dalam kongresnya pada than 1976, HMI menyerukan anggota-anggotanya untuk mengikuti pemilihan umum tahun 1977 sebagai pemilih-pemilih bebas. Walaupun demikian, sudah barang tentu mereka diingatkan untuk memberikan suaranya sejalan dengan asas-asas HMI dan keislaman. Oleh karenanya, Akbar Tanjung, ketua HMI pada masa lalu, berkampanye untuk golkar, sedangkan Ridwan Saidi, juga bekas ketua HMI, berkampanye untuk PPP.

Kedudukan Idiologi HMI

HMI digolongkan dalam gerakan muslim dengan corak modern yang sekular. Hal ini karena HMI terutama terdiri dari para mahasiswa dengan latar belakang kota yang memsuki lembaga-lembaga sekular di sekolah tinggi. Mereka ini termasuk orang-orang yang berminat, dan terkadang sangat berminat terhadap agamanya, tetapi yang dalam berbagai hal tidak senang dengan azas-azas kepercayaan tradisional dan dengan desakan pandangan kaum kolot tentang kesucian lembaga-lembaga kemasyarakatan tradisional di dalam dunia muslim. Namun demikian, dalam perkembangan terakhir, sangat banyak jumlah mahasiswa dari lembaga-lembaga pendidikan keagamaan Islam yang menjadi anggota HMI termasuk mahasiswa dari IAIN di berbagai kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya.

Kritik terhadap Posisi HMI dari dalam Kalangan Muslim Pembaharu

Gagasan pembaharuan yang dilancarkan oleh HMI nampaknya tak berpengaruh apa pun bagi kalangan kaum tradisionalis. Gagasan-gagasan baru HMI untuk pembaharuan itu telah menimbulkan pengaruh yang mengejutkan bagi kehidupan umat di Indonesia dan sampai batas-batas tertentu membangkitkan amarah, baik di kalangan pemimpin muda maupun tua di kalangan arus umum muslim pembaharu. Bersama tokoh-tokoh itu, gagasan Hamka dan Natsir, keduanya merupakan pemimpin-pemimpin terkemuka di kalangan kaum muslimin pembaharu. Gagasan pembaharuan yang benar harus merupakan gagasan yang sekaligus akan menciptakan kesatuan sejati umat muslimin yang dengan sepenuh kepercayaan serta kebulatan hati berpegang pada syariat Islam. Sebagai akibat pembaharuan yang benar ialah bahwa hanya sejumlah kecil umat saja yang akan berkerumun di bawah panji-panji itu.

Banyak kecaman terhadap gagasan-agasan HMI dan Madjid, mantan ketua HMI itu, tentang sekularisasi, seperti arus umum kaum pembaharu lainnya, bahwa sesungguhnya di dalam Islam orang tidak memerlukan sekularisasi, karena pada hakikatnya Islam bukan saja sebuah agama, tetapi suatu pandangan hidup yang lengkap. Dalam kerangka pikiran seperti ini, Islam memerintahkan para pemeluk untuk mengemban tanggung jawab duniawi dalam masalah-masalah duniawi dan akhirat, sesuai dengan perintah-perintah Allah SWT. Oleh Karena itu, seluruh kegiatan manusia adalah untuk menyembah dan menghamba bagi Allah SWT. Inti masalahnya ialah bahwa di dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan seperti hubungan antara seorang hamba atau abdi dengan Tuhannya. Atas dasar ini Ansyari berpendapat bahwa gagasan Madjid tentang desaklarisasi atas semua masalah dan nilai keduniawian berarti mengingkari tanggung jawab terhadap perintah Allah SWT, dan dengan demikian merupakan perbuatan seoarang yang tak beriman atau kufur. Madjid berpendapat bahwa sekularisme merupakan suatu pendangan dunia menyempit yang dapat menjadi suatu agama baru, sedangkan sekulariassi berarti bahwa nilai-nilai duniawi harus dipandang dalam arti empiris yang terpisah dari pengaruh suatu agama atau metafisika apa pun. Bagi Madjid, menjadi sekular sama sekali tidak berarti tanpa Tuhan. Walau bagaimanapun, arti sekular itu diutak-atik tetap menunjukkan kepada kebebasan. Bagaimana mungkin seorang yang dengan kebebasan dalam arti sekular menurut Madjid adalah orang yang bertakwa menurut kaca mata Alquran dan sunah. Sedangkan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan kebenaran dari kaca mata agama Islam menghendaki adanya pertentangan dengan arus zaman yang menunjukkan semakin rusak dan bebas.

Rasyidi, yang pernah menjadi Profesor hukum Islam Universitas Indonesia, berpendapat bahwasanya sekularisme sebagai agama baru secara historis dikemukakan oleh G. S. Holyoake (1817-1906) di Inggris. Gagasanya menimbulkan agnostisisme yang mempersoalkan eksistensi kekuatan-kekuatan dan perikeadaan dunia lain. Patut diperhatikan tentang pemahaman Rasyidi terhadap pekembangan sekularisme di dalam sejarah dunia Barat selama abad ke-19 yang telah menimbulkan zaman baru di dalam hubungan antara gereja dan negara. Ia yakin bahwa kecenderungan ke arah sekularisme telah terjadi lama jauh sebelum Holyoake mengemukakan hal istilah itu sendiri. Selama Renaisans, sekularisme telah mempunyai pengaruh yang mendalam atas humanisme dan reformasi. Pada ketika itu pemisahan agama dari politik merupakan suatu gerakan yang masih akan tumbuh, dan baru berkesampatan terwujud sepenuhnya dalam abad-abad ke-19 dan ke-20.

Rasyidi juga menyadari bahwa sekularisme dan sekularisasi membawa pengaruh yang merugikan bagi ajaran-ajaran dan kepentingan Islam. Karena itu, keduanya harus diberantas. Baginya gagasan pembaharuan HMI seperti yang di pelopori oleh Nurkholis Madjid hanyalah benar sampai batas untuk membebaskan kebebasan kaum muslimin dari kebodohan keagamaan. Tetapi, yang mengcewakan baginya ialah bahwa mereka telah menempuh jalan yang salah dan berbahaya, yaitu sekularisasi untuk melaksanakan rencana-rencana mereka. Bukanlah soal, betapapun indah kedengarannya istilah itu bagi telinga manusia modern, tetapi sekularisasi tak dapat diterapkan dalam Islam, karena istilah itu sendiri tumbuh dari dan hanya berlaku bagi tata kehidupan Barat dan orang Kristen. Rasyidi bukannya berbicara tentang sekularisasi dan sekularisme, tetapi ia mengajak Madjid dan HMI untuk mencurahkan waktu dan tenaganya pada masalah mencari tenaga pimpinan-pimpinan baru yang dididik untuk menghafal fikih, demikian juga untuk menguasai tafsir fikih abad ke-10 sampai abad ke-15 ditinjau dari zaman modern dan tuntutan-tuntutannya. Ia juga menyesal bahwa Madjid dan HMI tidak menyadari tentang akibat negatif yang ditimbulkan oleh sekularisassi yang melampaui batas.

Baik Rasyidi maupun Ansyari memberikan ulasnnya terhadap beberapa konsep Alquran yang dipakai oleh HMI dan Madjid untuk gagasan mereka tentang pembaharuan. Dan, hal utama di antara konsep-konsep itu ialah pemahaman tentang iman dan amal saleh. Definisi Madjid tentang iman merupakan kepercayaan yang kukuh terhadap Tuhan dan merupakan suatu sikap penerimaan terhadap Tuhan. Rasyidi merasa bahwa definisi ini menyesatkan, karena dalam pemahamnnya ini, iman terutama menunjuk kepada pengalaman keagamaan manusia secara pribadi. Devinisi ini tidak sesuai dengan pemahaman Islam yang sebenarnya tentang iman sebagai kepercayaan yang timbul dari rasa takut terhadap Tuhan. Bagi Rasyidi, pemahaman Madjid terhadap perkataan ini lebih mencerminkan mistikisme penduduk asli Jawa daripada pemahaman Islam yang sebenarnya. Jika orang harus mengikuti jalan pikiran Madjid, pastilah ia akan terbawa untuk mecari kesatuan dengan Tuhan, hal yang dilarang keras dalam Islam.

Rasyidi berusaha menunjukan bahwa Madjid tidak memiliki pengetahuan yang baik mengenai konsep-konsep agama Islam. menurut dia, istilah amal saleh menekankan sifat moral dari hubungan manusia dengan sesamanya sebagai suatu manifestasi kepercayaannya terhadap satu Tuhan. amal saleh berarti, pertama-tama berbuat baik pada Tuhan, dan kemudian terhadap sesama manusia, sesuai dengan perintah yang di berikan oleh Tuhan di dalam syariat. Dasar yang kokoh bagi manusia untuk menjalankan amal salehnya ialah salat-salat wajib sebagai salah satu rukun Islam. Hanya dengan menjalankan hal-hal inilah manusia menjadi kebal terhadap kejahatan dan dosa, dengan jalan demikian pula, hubungan yang kukuh antara iman dan amal saleh dapat dibangun di dalam pengertian Islam yang benar tentang perkataan-perkataan tersebut.

Menurut Rasyidi, Madjid banyak meminjam kepada W. Cantwell Smith untuk pemahamannya tentang agama. Sementara, ia mengakui lingkup pengetahuan Smith yang luas tentang Islam, ia pun menyatakan kekecewaannya bahwa Smith tak pernah memperoleh kesempatan untuk melakukan telaah secara mendalam tentang fikih, dan tidak pernah mengerti arti penting fikih bagi kaum muslimin dalam tiap-tiap generasi guna menanggulangi tuntutan zaman yang sedang berubah. Andai kata dia mempunyai kesempatan seperti itu, Rasyidi berpendapat, ia tentu akan dapat menilai kekuatan fikih serta masa berlakunya yang tahan lama dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh kaum muslimin di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bagi Ansyari, amal saleh juga berarti melakukan segala sesuatu yang baik dalam pandangan Allah SWT. Daripada membuat perbedaan yang tajam antara iman dan amal saleh, menurut Ansyari, yang pertama yakni iman seharusnya menentukan kualitas yang kedua, yaitu amal saleh agar memperoleh perkenaan dari Allah SWT.

Muhammad Natsir pada suatu kesempatan mengucapkan sebuah pidato di depan HMI. Dalam pidatonya yang di ucapakannya itu sangat jelas dirasakannya bahwa ketaatan terhadap gagasan sekularisasi akan berakibat seperti apa yang pernah disebut Nabi sebagai cinta terhadap dunia yang mementingkan diri sendiri, di mana mati merupakan suatu keadaan yang menakutkan. Menurut Natsir, orang yang berpandangan keduniawian seperti ini akan berusaha mencari kenikmatan duniawi selama masa kehidupannya dan cita-cita yang paling luhur. Ia tidak akan segan untuk mengorbankan kebenaran demi keuntungan pribadi agar dapat hidup dengan senang di dunia ini. Perbuatan demikian ini akan bertentangan dengan ajaran Islam, yang di dalamnya menyuruh orang agar melakukan kegiatan-kegiatan duniawi dengan sungguh-sungguh sejalan dengan perintah dan kehendak Tuhan.

Pada kesempaan lain lagi, tanpa menyebut nama Madjid dan HMI, Natsir mengatakan bahwa menurut Islam, orang memang harus masuk ke dalam kelompok orang-orang yang di dalam salah satu hadits Nabi dinamakan sebagai "orang-orang asing" (al-ghraba). Kalimat ini menunjuk adanya bahaya nyata yang harus dipikul seseorang dibenci dan dikejar-kejar oleh tetangga-tetanganya apabila dia tetap setia kepada kebenaran Tuhan. Dalam pidato yang sama, juga tanpa menyebut nama, Natsir tegas-tegas memperingatkan para hadirin bahwa setiap langkah yang diambil untuk pembaharuan haruslah sejalan dengan kepentingan serta watak umat yang luhur. Natsir menyatakan bahwa empat kekuatan pokok memberikan ciri bagi orang-orang di dalam umat: orang harus menjadi pribadi yang baik, orang harus berkualitas mampu menarik orang-orang lain untuk berbuat baik , orang harus menghindari perbuatan jahat, dan akhirnya, orang harus percaya kepada Tuhan. Maka di dalam pikiran Natsir jelaslah bahwa untuk mempertahankan kesatuan umat, untuk melindunginya dari setiap serangan atau pengaruh jahat, orang harus menunaikannya di dalam umat, di mana dan bagaimana orang dapat hidup sesuai dengan empat ciri-ciri yang di ridhai Tuhan ini.

Hamka, sebagai seorang pemimpin yang telah lama mengabdi keapada gerakan Muhammadiyah, melancarkan serangan yang bahkan lebih keras terhadap sekularisasi yang di pelopori oleh Nurkholis Madjid dan HMI. Suatu gerakan untuk pembaharuan (tajdid), ia berpendapat, tidak perlu bertujuan untuk memperbaharui seluruh bangunan Islam agar dapat diterima oleh tuntutan serta kebutuhan manusia di dunia modern. Menurut pendapatnya, lebih baik gerakan itu merupakan pembaharuan yang didasarkan atas gagasan salaf (para pewaris sah) yang mengajak kembali kepada Alquran dan hadis sebagai satu-satunya jalan pembaharuan Islam yang dapat dipertangungjawabkan. Atas dasar pandangan seperti itu, Hamka berpendapat bahwa bahwa semua diskusi tentang sekularisasi dan modernisasi dewasa ini merupakan suatu daya upaya baru dunia Barat untuk melaksanakan suatu bentuk baru kolonialisme, yaitu kolonialisme idiologi, atau dalam kata-kata Hamka sendiri, ghazwul fikr.

Menurut Hamka, kolonialisme politik sudah tamat riwayatnya. Bahkan sampai saat ini pun, pihak Barat-Kristen masih memandang Islam dan dunia muslim sebagai musuh nomor satu yang harus dihadapi. Termasuk di dalam kolonialisme idiologi ini, sebagaimana Hamka melihatnya, selain dari memperkanalkan sekularisasi dan modernisasi, juga perjudian, pelacuran, dan tempat-tempat plesiran, dan lain-lain, belum lagi dikatakan mengenai gagasan-gagasan politik dan ekonomi, seperti kapitalisme dan komunisme. Bagi Hamka, kolonialisme ideologi ini telah menyusup dalam-dalam pada semua segi kehidupan kaum muslimin, oleh karenanya ia telah memperingatkan mereka agar selalu waspada dan berpegang teguh pada ajaran-ajaran Alquran dan hadis.

Menunjuk pada keteledoran moral pada pandangan keagamaan Madjid, seseorang yang bernama Muhammad Syamsuri dari Jawa Timur mengirimkan sepucuk surat karena redaksi majalah Panji Masyarakat yang mengatakan bahwa ia heran dan terkejut sesudah membaca karangan Madjid tentang perjudian. Dalam karangnnya itu Madjid berpendapat bahwa perjudian tidak tegas di larang di dalam Islam, dan malahan dapat dibenarkan jika perjudian tersebut terutama digunakan untuk tujuan-tujuan sosial yang dapat diterima, atau jika dari padanya diperoleh pendapatan bagi pemerintah. Syamsuri merasa bahwa pendapat Madjid adalah akibat dari peangetahuannya yang miskin tentang ajaran-ajaran Islam.

Tokoh lain, ialah Syamsurijal, juga dari Jawa Timur, mengeluh bahwa pendirian Madjid dan HMI tentang politik pembaharuan telah menimbulkan pertentangan kepentingan antara HMI dan kepentingan umum ummat. Menurut pendapatnya, HMI menginginkan penghapusan kekuatan politik Islam agar menjadi lebih dapat diterima oleh golongan-golongan sosial dan keagamaan lain di dalam negeri. Pengahapusan politik ini dirasakannya akan membawa HMI tersesat dari tujuannya semula, yaitu menjadi organisasi utama yang bertanggung jawab untuk mencari kader bagi pimpinan umat di hari depan. Menurut Syamsurijal, HMI tampaknya takut untuk menggunakan identitas Islamnya dalam melancarkan gagasan-gagasan pembaharuan itu. Mereka tidak ingin dipertalikan dengan usaha-usaha untuk mengembalikan Jakarta Charter. Dengan perbuatannya yang demikian itu, HMI membuka diri sendiri sebagai suatu oraganisasi yang tanpa kepercayaan diri.

"HMI pertama-tama merupakan sebuah oraganisasi mahasiswa yang di dasarkan atas Islam", kata Boen Yan Saptomo, seoarang bekas anggota HMI lainnya. Oleh karenanya jangan melibatkan diri di dalam masalah-masalah politik, seperti sekularisai, modernisasi, dan lain-lain. Walaupun HMI tidak pernah menyatakan diri sebagai sebuah oraganisasi politik, namun dengan memelopori gagasan itu sebenarnya HMI telah terlalu banyak ikut serta di dalam masalah-masalah politik praktis. Saptomo juga khawatir melihat kenyataan bahwa dalam akhir tahun-tahun ini HMI sudah dan masih terus terlalu banyak menaruh minat terhadap usaha-usaha kerja sama dengan organisasi-organisasi mahasiswa lain. Hal ini juga merupakan penjelasan atas semboyan yang di pilihnya: "Dalam kebinekaan kita bangun hari depan", sebagai tema pokok kongres mereka tahun1976. Menurut pendapatnya, dengan alasan itulah HMI sedang dalam perjalanan meninggalkan umat. Agar tetap setia kepada umatnya yang semula, Saptomo mendesak keapda HMI agar lebih banyak memperhatikan kegiatan-kegiatan kampus, demikian pula bekerja pula untuk menciptakan intelektual ulama dan ulama intelektual. Dengan melakukan hal-hal seperti ini, HMI akan memulihkan kembali suatu kepribadian yang berimbang bagi kehidupan para anggotanya, dan yang pada gilirannya akan bermanfaat bagi seluruh umat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar