Jumat, 15 Maret 2013

Mengapa, Untuk Apa dan Untuk Siapa HMI Ada?



Mengapa, Untuk Apa dan Untuk Siapa HMI Ada?

oleh Wahyu Minarno (Catatan) pada 14 Maret 2013 pukul 21:09




Muqaddimah
            Tulisan sangat ringkas dan sederhana ini bertujuan untuk membangun ingatan kolektif dan merangsang seluruh organ tubuh HMI sehingga mereka sadar sepenuhnya betapa HMI yang begitu besar (atau lebih tepatnya, yang pernah besar) tidak atau kurang memanfaatkan potensi besar yang dimilikinya secara benar, baik dan efektif. Dengan menampakkan kembali potensi dan kecenderungan yang ada pada HMI, meskipun ia dihimpit oleh dua kenyataan signifikan, kemajuan sekaligus kemundurannya, diharapkan itu dapat didudukkan sebagai refleksi awal dalam menentukan langkah HMI ke depan. Sehingga kehendak bersama untuk menata kembali HMI, tidak lagi berangkat dari niat yang keliru, ruang yang kosong, dan garis start yang tidak jelas.
            The will to improve, atau kehendak untuk memperbaiki, tidak bisa tidak, mutlak diawali dengan “pengakuan dosa” atas berbagai kekurangan-kekurangan, kelemahan-kelemahan, kecerobohan-kecerobohan, bahkan pengkhianatan-pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang menjadi dasar bangunan organisasi, yang selama ini, baik disadari maupun tidak, dikerjakan secara massif dan berjamaah. Lebih parahnya, semua itu dianggap sebagai hal yang wajar di dalam berorganisasi, terutama pada wilayah tertentu yang cukup sensitif, politik.
            Selanjutnya, perlu juga besama-sama direnungkan mengenai apa sesunguhnya HMI itu; mengapa HMI ada, untuk apa HMI ada dan untuk siapa HMI ada. Ketiga pertanyaan tersebut semoga dapat mewakili pandangan terhadap HMI minimal melalui tiga sudut pandang, yaitu teologis, filosofis dan sosiologis. Memang untuk menilai bagaimana HMI kini dan yang akan datang, analisa kita haus dimulai dengan mendudukkan HMI dengan segala variabelnya, di tengah-tengah kita bersama. Kita harus duduk bersama dan menjadikan HMI sebagai “bahan kajian khusus” melalui ketiga pendekatan di atas. Ketiga pendekatan di atas tidak secara rinci dijelaskan melalui tulisan ini, mengingat ruang dan waktu yang relatif terbatas. Meskipun demikian, semoga pada kesempatan yang lain diskusi mengenai hal ini dapat diperluas sekaligus diperinci.
            Tulisan ini akan mengajak kembali kita semua untuk memeriksa ulang atau mengunjungi kembali (revisit) kehadiran HMI di tengah umat Islam dan masyarakat Indonesia secara umum. Kongkritnya, tulisan ini bertujuan untuk menjadikan HMI benar-benar kembali relevan baik secara teoritis, politis dan praktis.
            Secara teoritis berarti keberadaan HMI minimal mampu mengulang gerakan intelektual yang pernah diusung oleh Ahmad Wahib, Nurcholis Madjid dan kawan-kawannya. HMI dituntut untuk memberi kontribusi bagi perkembangan intelektual umat dan bangsa secara linier. Baik sebagai produsen pengetahuan maupun dalam kapasitas turut mewarnai perdebatan intelektual yang sedang berkembang.
            Secara politis bukan berarti HMI secara riil terlibat dalam dinamika politik. Meskipun hal demikian juga tidak secara total harus ditinggalkan (dengan berbagai pertimbangan tertentu). Politis berarti keberadaan HMI dengan segala potensinya mampu melibatkan diri dalam berbagai dinamika kebijakan pemerintah (dari Pusat hingga Daerah). Sehingga dengan itu HMI tidak hanya diperhitungkan dalam setiap keterlibatannya pada dinamika kebijakan Negara, namun juga berada pada posisi signifikan dengan fungsi dan peran yang efektif. Pada konteks ini, untuk contoh kasus nyatanya, adalah bagaimana HMI tidak saja diam ketika terdapat suatu kebijakan (beserta implementasinya) yang dinilai sama sekali tidak populis. “Kekuatan” HMI harus mampu mempengaruhi kebijakan tersebut sekaligus implementasinya di lapangan. Misalnya kasus mengenai kebijakan agraria dan program pembangunan ekonomi oleh Pemerintah yang dibingkai melalui MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Untuk kasus itu, HMI belum menampakkan keterlibatannya dalam pengawalannya. Atau bahkan HMI sama sekali tidak memahaminya karena terlalu membuang waktu, fikiran dan tenaganya hanya untuk menciptakan letupan-letupan ke dalam (politik praktis, perebutan kekuasaan dan konflik internal yang berujung kepada perpecahan). Padahal kedua hal tersebut adalah persoalan pokok yang memiliki dampak sangat menentukan bagi masa depan kehidupan masyarakat Indonesia.
            Secara praktik berarti ada tindakan nyata atau gerakan sosial yang terencana, sistematis dan memiliki dampak signifikan (gerakan sosial yang efektif). Praktik nyata sebagai wujud gerakan sosial HMI ini, saya lebih nyaman memberinya kosakata “keteladanan lapangan”.
            Keberhasilan HMI pada era sekitar Orde Baru sampai Reformasi, tidak lain adalah buah yang lahir dari proses panjang sejak 1947. Proses yang dikawal dengan komitmen terhadap kebenaran dan ketekunan serta tidak tergiur oleh berbagai godaan pragmatis. Jika mulai hari ini kita tidak berusaha menanam kembali, menyirami dan memupuk HMI, dan hanya memetik apa yang ditanam, dipupuk dan disiram oleh para pendahulu, maka cepat atau lambat buah itu akan habis, diiringi dengan tanamannya yang kian tua dan layu kemudian kering. Di HMI, sesungguhnya tidak ada posisi nyaman, sebab keseluruhan proses dalam ber-HMI adalah perjuangan yang menuntut pengorbanan dan penuh resiko.

Revisit HMI: Membaca Kembali dan Menegaskan Makna Keberadaan HMI
            HMI adalah bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia. HMI adalah bagian dari sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia. Maka HMI adalah bagian dari Islam dan Indonesia. Maka dari itu, yang selalu harus difikirkan dan dikerjakan adalah bagaimana kemajuan Islam dan Indonesia.

Mengapa HMI Ada
            Keberadaan HMI adalah ketetapan Tuhan! Tetapi kemajuan dan kemunduran HMI merupakan tanggungjawab setiap manusia-manusia yang berhimpun di dalamnya. Melalui Almarhum Prof. Lafran Pane dan kawan-kawan, Tuhan memberikan wahyu sehingga HMI didirikan sebagai jawaban bagi kebutuhan umat dan bangsa pada saat itu. Dan ternyata, sampai hari ini pun HMI dibutuhkan. Tetapi perjalanan HMI selajutnya adalah amanah bagi setiap generasi penerus yang telah secara sadar dan rasional menjadi bagian dari HMI.
            HMI ada, selain sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat pada saat ia didirikan, juga sebagai pengawal khusus bagi perjalanan umat dan bangsa ke depan. Keselamatan, kesejahteraan, bahkan kesengsaraan serta nestapa umat dan bangsa, HMI berada pada posisi sebagai salah satu entitas penentu. HMI merupakan anak kandung kebenaran, anak kandung dari kehendak untuk mimpi keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. HMI ada bukan sebagai bagian yang merusak masa depan umat dan bangsa, HMI ada bukan sebagai gerombolan perampok dan pencuri yang baik secara munafik maupun terang-terangan merampas apapun yang bukan menjadi haknya!
            Tujuan didirikannya HMI, secara substansi adalah mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhloi Allah SWT. Itu kemudian menjadi visi HMI yang harus diperjuangkan. Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, yang dilakukan oleh HMI, dalam setiap tarikan nafas pada perjalanan hidupnya, adalah perkaderan dan perjuangan. Untuk memenuhi dua hal tersebut, HMI harus mempersiapkan syarat-syarat pokoknya. Salah satu syarat pokok tersebut adalah adanya kader yang memiliki kualifikasi tingkat tinggi. Syarat pokok lainnya adalah institusi yang baik, bersih dan kuat, serta sistem yang dapat menjamin berjalannya organisasi secara baik, terarah, terukur dan bersifat mengikat (konstitusional).[1] Kualifikasi tersebut adalah akademis, pencipta, pengabdi, bernafaskan Islam dan bertanggung jawab terhadap upaya perwujudan tujuan HMI. Proses untuk membina kader sehingga memiliki kualifikasi-kualifikasi tersebut disebut sebagai perkaderan, dan itulah misi internal HMI. Misi internal tersebut sama sekali tidak boleh ditinggalkan, bagaimanapun keadaan yang menimpa HMI.

Untuk Siapa HMI Ada
HMI adalah pelindung bagi kaum yang lemah, sekaligus lawan bagi kaum penindas, apapun bentuknya, dan apapun resiko yang harus dihadapi. Sejak awal didirikan, HMI selalu berpihak dan membela kaum atau kelompok yang tertindas, terutama secara struktural. Jika pada Era Kemerdekaan HMI berpihak kepada bangsanya sendiri sebagai yang dijajah oleh kolonialisme dan imperialism Amerika, Belanda dan Negara Barat/Asia yang lain. Maka pada hari ini, dengan wajah dan mekanisme penjajahan yang telah bertransformasi, HMI harus tetap berpihak dan membela mereka-mereka yang tertindas. Buruh yang diekspoitasi dan teralienasi, petani yang dipisahkan dari sumber-sumber kehidupannya, perempuan-perempuan yang direndahkan derajat dan martabatnya, para TKI yang dinistakan dan dianiaya, rakyat yang dibohongi oleh partai politik dan para politisinya, nelayan yang dirusak lautnya, rakyat kecil yang dipaksa membayar mahal biaya pendidikan dan kesehatan, dan masih banyak lagi kelompok-kelompok tertindas lainnya, mereka semua adalah kelompok yang HMI seharusnya ada untuk mereka.
HMI bukan ada untuk kekuasaan yang sewenang-wenang dan korup, HMI bukan ada untuk membela orang-orang yang salah dan telah merugikan rakyat kecil, HMI bukan ada untuk mengabdi kepada Namrud-Namrud modern. HMI bukan ada untuk melayani para penjilat kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat dan gerakan sosial.

HMI sebagai Kebutuhan Primer Bagi Keberadaan Umat dan Bangsa
            Mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, mempertinggi derajat rakyat Indonesia dan menegakkan syi’ar agama Islam, yang hilirnya adalah keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat, bukanlah kebutuhan HMI semata. Itu adalah kebutuhan pokok umat dan bangsa yang peluang untuk dapat terwujud, telah dipercayakan kepada HMI untuk mewujudkannya.
            Keberadaan umat dan bangsa tanpa adanya jaminan akan terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat, akan melahirkan tatapan kosong ke depan. Seperti penumpang kapal yang tanpa nahkoda dan tidak tahu akan mengarah ke mana. Sehingga posisi nahkoda akan diperebutkan bahkan oleh orang-orang yang sama sekali tidak memahami cara menahkodai kapal serta buta arah mata angin.
            Mengapa umat dan bangsa berani mengambil resiko (bertaruh) mempercayakan masa depan mereka kepada HMI? Karena mereka memahami betul bahwa HMI dilahirkan memang untuk itu, untuk mengabdi kepada masa depan umat dan bangsa yang lebih baik.
            Sayangnya, jika tidak ingin disebut telah mengkhianati kepercayaan yang diberikan oleh umat dan bangsa, HMI hari ini telah mulai kehilangan moral, ilmu dan kesadarannya sebagai kelompok yang memiliki tanggungjawab besar. Yang secara ekstrim, kewajibannya lebih besar daripada haknya! Maka, itulah pentingnya mengapa kita harus selalu merefleksikan keberadaan HMI (revisit HMI). Supaya HMI tidak lupa dan tetap sadar bahwa ia masih memiliki tugas besar yang belum tertunaikan.

Rekonstruksi HMI: Sebuah Upaya Penting dan Mendesak
            Saya berfikir bahwa HMI perlu untuk melakukan suatu rekonstruksi untuk mendukung kepentingan HMI ke depan, yaitu kepentingan fungsi perkadean dan peran perjuangannya. Upaya rekonstruksi ini dalam rangka menyusun dan merangkai kembali berbagai komponen pembentuk HMI (jaringan, organ dan system organ) yang telah rusak. Sehingga HMI kembali menjadi badan yang sehat dan dapat beraktifitas secara baik dan maksimal.

Involusi HMI dan Persoalan Kepemimpinan
            Sekali lagi perlu saya sampaikan, bahwa apa yang selama ini dialami oleh HMI, tidak perlu untuk ditutup-tutupi. Terutama berkaitan dengan persoalan kemerosotan moral, paceklik intelektual dan keringnya langkah-langkah gerakan sosial HMI. Pertama itu, kemudian ditambah (diperparah) dengan dampak-dampak letupan ke dalam yang berujung kepada kemandegan total (kelumpuhan) HMI sebagai organisasi yang berada pada posisi strategis dengan fungsi dan perannya yang sangat penting. Praktek politik praktis yang tidak sehat, berebut kekuasaan secara tidak dewasa, upaya saling menjatuhkan, dan perpecahan di sana-sini, adalah letupan-letupan itu, yang berakibat tidak hanya pada HMI yang kini kurang memiliki daya tawar baik di tingkat lokal maupun nasional (apalagi internasional), tetapi juga kepada pergeseran paradigma dan tujuan.
            Hal ini dapat diukur dengan hal yang paling sederhana. Misalnya, tidak ada perbedaan signifikan antara seorang kader HMI dengan mahasiswa yang tidak pernah ber-HMI. Bahkan dalam beberapa hal (atau banyak hal), mahasiswa yang ber-HMI jauh tertinggal dengan mahasiswa yang tidak ber-HMI. Itu masalah serius! Dan kata kuncinya terletak pada dua hal. Pertama, bagaimana perkaderan di HMI harus kembali selain diluruskan, juga dipertimbangkan ulang perubahan-perubahan pada sistem dan mekanisme perkaderan yang telah dilakukan selama ini (wajib dievaluasi), serta kebutuhan untuk merancang rekayasa-rekayasa dalam hal perkaderan.[2] Kedua, mengenai peran perjuangan HMI, selain harus dipertegas, minimal harus dicari bersama dan ditentukan, HMI berjuang untuk apa dan menghadapi siapa. Kedua hal itu harus jelas pada diri setiap kader HMI. Ini akan sangat menentukan bagaimana strategi-strategi, langkah-langkah dan taktik-taktik apa yang harus dirancang dan dijalankan oleh HMI. Baik perjuangan pada level lokal hingga nasional bahkan global.[3]
            Masalah kepemimpinan adalah masalah yang juga krusial di HMI. Sebagai organisasi yang memiliki struktur hirarki, pemimpin adalah simbol sekaligus sentral komando yang menentukan setiap kebijakan organisasi yang akan dijalankan.[4] Pemimpin, selain ia harus berani dan tegas, ia juga harus jujur, adil dan amanah serta mau mendengarkan semua pihak tanpa pilih kasih. Pemimpin itu harus bias “ngemong”, bukan sebaliknya, yaitu gemar mengeluh dan selalu minta di”emong”. Biasanya, wajah dan karakter atau pola suatu kepengurusan di HMI salah satunya ditentukan oleh bagaimanakah pemimpinnya. Jika pemimpin di HMI tidak lebih hanya sebagai ekor dari individu atau kelompok lain, maka itu adalah salah satu pertanda dari kebobrokan suatu periode kepengurusan!

Perkaderan yang Seharusnya
            Keberadaan Badan Pengelola Latihan (BPL), alumni-alumni HMI yang memiliki keilmuan dan pengalaman luas mengenai materi serta metode perkaderan, juga potensi-potensi lain yang dimiliki oleh HMI, jika semuanya digerakkan dan diarahkan kepada proses penataan kembali sistem serta mekanisme perkaderan di HMI, tentu akan melahirkan suatu hasil yang bermanfaat bagi kebutuhan kaderisasi.
            Saya tidak menuliskan secara panjang dan rinci mengenai bagaimana perkaderan yang seharusnya. Namun saya hanya sekedar memberikan beberapa masukkan mengenai hal itu.
Pertama, sistem perkaderan yang selama ini digunakan oleh HMI (yang telah ditambal-sulam dan mengalami reduksi), harus dirumuskan kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan serta sumber daya yang ada. Jika memungkinkan, diadakan semacam riset mengenai perbandingan sistem perkaderan di HMI dari masa ke masa, kemudian ditarik benang merah diantara itu, selanjutnya ditambahkan dengan kebutuhan di masa yang akan datang serta berbagai kemungkinan peluang dan tantangan yang akan dihadapi. Sehingga, sistem perkaderan HMI tetap segar dan mampu mengantisipasi kebutuhan jaman, serta tetap tidak keluar dari jalurnya.
            Sistem dan mekanisme perkaderan di HMI ke depan, minimal harus memenuhi beberapa syarat diantaranya; memenuhi kebutuhan mahasiswa di kampus-kampus, tetap mampu melahirkan kader yang berkualifikasi tingkat tinggi (meskipun itu dengan sendirinya akan bertambah seiring dengan proses selama mereka ber-HMI), tidak merubah arah dan substansi perkaderan HMI (konstitusional, memiliki tujuan dan capaian-capaian target yang dapat diukur secara pasti), memiliki relefansi dengan dunia intelektual-kemahasiswaan, keislaman-keumatan, dan sosial-kebangsaan, serta mendapatkan porsi yang lebih daripada proses-proses lain di HMI. Selain dari beberapa syarat tersebut, semuanya bisa bersifat fleksibel dan dinamis. Sebab saya melihat perkaderan di HMI hari ini, selain dikelola oleh pemandu dari hasil proses Senoir Course yang asal-asalan, juga diperpendek waktunya (bayangkan jika LK 1 saja hanya 2-3 hari, materi NDP dan Mission HMI saja misalnya, rata-rata hanya diberi durasi waktu masing-masing sekitar 3-5 jam, bahkan dalam kondisi tertentu hanya 2-4 jam, itupun proses follow-up setelah LK 1 tidak berjalan maksimal). Belum lagi, dalam beberapa kasus, pemateri LK 1 (bahkan LK II) menyampaikan materi hanya ngawur. Ini adalah hal penting dan harus ditata ulang!
            Kedua, mengenai pola perkaderan HMI, terutama untuk masa yang akan datang, minimal mengandung beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah suasana yang mendukung (akan lebih baik jika pelaksanaan kegiatan Latihan Kader ditempatkan di desa-desa atau dusun-dusun, sehingga selain kondusif, tenang dan nyaman, juga akan semakin mendekatkan kader HMI dengan masyarakat). Selain suasana yang mendukung, instrumen-instrumen pendukung pelaksanaan kegiatan perkaderan di luar hal-hal pokok (materi, pemateri, instruktur/pemandu, dll) juga sebaiknya dipertimbangkan untuk disediakan. instrumen-instrumen tersebut akan sangat membantu dalam pelaksanaan kegiatan perkaderan.[5]
            Ketiga, sedapat mungkin, melalui beberapa skenario atau rekayasa tertentu, pada setiap pelaksanaan kegiatan perkaderan, ditanamkan kesadaran, keberpihakan dan ilmu “toto kromo”. Hal ini sepintas juga terkesan sepele namun memiliki dampak besar ke depannya. Serta beberapa hal lain yang masih sangat terbuka untuk kita fikirkan dan terapkan demi penataan kembali perkaderan di HMI. Hal ini mengingat, semakin sedikitnya kader HMI (terutama para pengurus, dan utamanya lagi para pengelola latihannya) memikirkan inisiatif-inisiatif, rekayasa-rekayasa dan strategi-strategi relevan-kontekstual bagi kebutuhan kaderisasi.
            Bahwa di HMI, selain peran perjuangan dan tanggungjawab akademis, setiap manusia di dalamnya dituntut untuk selalu “belajar” mengenai banyak hal.

Perjuangan yang Seharusnya
            Perjuangan HMI adalah perjuangan yang bertitik tolak dari dasar kebenaran (Tauhid). Oleh karena itu, perjuangan HMI adalah perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan melawan kedzaliman apapun bentuknya dan siapapun pelakunya. Logikanya adalah, Islam memiliki tujuan, bangsa Indonesia memiliki tujuan, dan tujuan HMI adalah bagian dari tujuan Islam dan bangsa Indonesia. Maka tujuan HMI harus selaras dengan tujuan Islam dan bangsa Indonesia. Tujuan tersebut untuk dapat terwujud membutuhkan perjuangan, dan perjuangan yang dilakukan membutuhkan pengorbanan, sedangkan setiap pengorbanan menuntut keikhlasan. Maka jika masih terdapat kader HMI yang enggan untuk berkorban demi kepentingan umat dan bangsa (terutama mengorbankan waktu, tenaga dan fikirannya), bahkan memanfaatkan HMI hanya untuk mencapai tujuan pribadinya, maka dia bukanlah pejuang. Dan jika semua kader HMI (atau sebagian besar) demikian, maka otomatis perjuangan HMI akan banyak mengalami hambatan dan ketertundaan.
            Perjuangan, bagi kader HMI, sesungguhnya tidak hanya dapat dilakukan saat ia berada pada struktur kepengurusan HMI. Saya katakan, bahwa ber-HMI yang sejati adalah ber-HMI dengan hati nurani. Karena ber-HMI yang demikian tidak memiliki tepi batas ruang dan waktu. Kapanpun dan di manapun serta sebagai apapun ia akan menjalankan misi HMI. Ber-HMI karena seseorang berada pada ikatan struktur dan aturan main organisasi adalah baik. Tetapi tidak boleh disebut bahwa mereka-mereka yang tidak berada di struktur tidak sedang ber-HMI dan berjuang. Lebih baik seorang kader yang tidak terikat secara struktur dan konstitusi tetapi fikiran dan pekerjaannya mencerminkan nilai-nilai ke-HMI-an, daripada mereka-mereka yang berada di struktur namun fikiran dan perilakunya justru hanya memanfaatkan HMI demi kepentingan pribadi atau kelompok. Tentu saja, bagi yang berada di struktur, dan fikiran serta kerja-kerjanya mencerminkan misi HMI, itu adalah sangat baik. Siapapun mereka!
            Perjuangan di HMI, atau bagi kader HMI, tidak mengenal lelah serta tidak mengenal kompromi terhadap segala bentuk kedzaliman dan ketidakadilan. Perjuangan HMI tidak mengenal kata mundur dan kemunafikan, apapun resikonya. Perjuangan untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhloi Allah SWT, perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat, dapat dan boleh dilakukan melalui segala cara. Kecuali cara yang melanggar ajaran Islam, melanggar hukum, dan konstitusi HMI.

Gerakan Sosial “Khas” HMI: Moral, Intelektual dan “Keteladanan Lapangan”
            HMI memiliki karakter gerakan sosial yang khas. Gerakan HMI meliputi gerakan moral dan intelektual yang integral terwujud melalui setiap gagasan, sikap dan kerja-kerja sosialnya di masyarakat. Sumber moralitas HMI adalah Islam sebagai sistem nilai universal. Gerakan moral HMI adalah gerakan memahami kembali dan menerapkan serta mendeseminasikan prinsip-prinsip kebenaran universal ke dalam masyarakat sampai pada titik yang paling kongkrit. Maka dibutuhkan pengetahuan yang memadai. Oleh karena itu HMI harus senantiasa “belajar dan membaca” realitas. HMI tidak boleh berhenti menimba ilmu, tetap rendah hati, dan peka terhadap perkembangan-perkembangan pengetahuan serta perdebatan-perdebatan intelektual seputar agama dan sosial.
            Apa yang menjadi perasaan dan gagasan HMI tidak boleh berhenti hanya pada wilayah perasaan dan abstraksi ide semata. Ia harus keluar, membumi dan memberi dampak positif bagi kelangsungan kehidupan sosial. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu bentuk gerakan social nyata di lapangan. Keteladanan HMI di lapangan itu minimal mengandung tiga hal dalam setiap aktifitasnya. Yaitu edukasi, empowering dan advokasi.

Gerakan Moral: Memahami Kembali dan Menerapkan Prinsip-prinsip Ajaran ISLAM dengan Baik dan Benar
            Islam adalah system nilai universal yang bagi HMI keberadaannya sangat prinsip. Bagi HMI, Islam didudukkan sebagai tiga hal; Islam sebagai sumber nilai, Islam sebagai sumber inspirasi dan Islam sebagai sumber motivasi. Oleh karena itu, khasanah Islam harus senantiasa digali dan kemudian diterapkan secara konsisten dan penuh komitmen.
            Sebagai sumber nilai, Islam menjadi dasar dari perjuangan HMI. Islam memberi ruh dan nafas bagi moralitas dan independensi perjuangan HMI. Bahwa perjuangan HMI tidak boleh berpihak kepada siapapun selain hanya kepada kebenaran. Membela orang-orang yang tertindas, menyebarkan pengetahuan agama, memproduksi pengetahuan dan mendeseminasikannya, semuanya adalah kebenaran dimana HMI berjuang diantaranya melalui itu.

Gerakan Intelektual dan Gerakan Pengetahuan
            Salah satu kebutuhan bagi gerakan sosial adalah pengetahuan atau wawasan yang memadai pengenai realitas (gejala-gejala sosial, perubahan sosial, dan lain-lain). Sebagai insan akademis, HMI dituntut untuk berwawasan luas, memahami ilmu agama, berbagai teori sosial, ilmu-ilmu alam, politik, hukum, budaya, dan lain sebagainya. Dengan bekal itu HMI diharapkan mampu secara dominan mewarnai kanvas peradaban intelektual nusantara. Gerakan intelektual HMI harus diterjemahkan sebagai gerakan pengetahuan.
Gerakan pengetahuan HMI adalah gerakan untuk selalu menggali pengetahuan, mengangkatnya ke permukaan, mengolahnya, mengelolanya, mendeseminasikannya, mendialektikakannya, dan menerapkannya secara baik dan benar. HMI juga harus secara kritis mampu merespons perkembangan intelektual secara professional dan proporsional. Kelemahan pada wilayah intelektual akan berakibat kepada HMI yang gagap dan kaku terhadap perkembangan serta dinamika intelektual, yang pada akhirnya akan menjadikan HMI tertinggal jauh di belakang.

Keteladanan Lapangan: Edukasi, Empowering dan Advokasi
            Dengan seluruh kemampuan HMI (intelektual, moral, serta modal sosial yang lainnya), HMI diharapkan melibatkan diri terjun di tengah-tengah masyarakat. HMI tidak boleh lagi hanya berkutat di kampus, kos-kosan atau kontrakan, rumah alumni, secretariat partai politik, atau di kantor-kantor para alumni. HMI wajib melebur dan merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat bawah. Mendengar apa yang didengar oleh masyarakat, melihat apa yang dirasakan oleh masyarakat, merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat. HMI harus lebih banyak belajar dari rakyat, bersama rakyat, dan bergerak bersama rakyat untuk kepentingan rakyat.
            Dalam hal ini, jika HMI telah mampu melebur dan menubuh dengan rakyat, maka HMI diharapkan memberikan suplemen-suplemen sosial kepada rakyat. Memberikan pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung (kecuali, hari ini lebih pintar rakyat petani dan buruh dari pada kader HMI) kepada rakyat melalui lembaga-lembaga yang didirikan oleh kepengurusan-kepengurusan HMI, memperkuat kekuatan sosial rakyat, serta mendampingi dan melakukan pembelaan saat rakyat berada pada posisi terancam dan tertindas.
            Saya berfikir, munkgin itulah yang sesungguhnya difikirkan oleh Almarhum Prof. Lafran Pane dan kawan-kawan sehingga mereka mendirikan HMI. Jika benar demikian, maka Almarhum Prof. Lafran Pane telah benar-benar mendapatkan ilham. Dan benar bahwa HMI adalah “Ratu Adil” yang dinantikan oleh umat Islam Indonesia dan bangsa Indonesia itu sendiri sebagai bangsa. Kecuali jika generasi penerus HMI telah menjadikan HMI sebagai sarang penyamun! Maka sebaiknya HMI dibubarkan.

Penutup
Tulisan ini, selain bersifat subjektif, banyak “salah ketik”, tanpa daftar pustaka, juga sangat lemah dan memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, sebagai bentuk pertanggungjawaban, saya akan sangat berterimakasih jika terdapat dialog setelah ini. Dengan segala kekurangan dan kelemahan yang dikandung dalam tulisan ini, minimal inilah salah satu ikhtiar saya dalam turut membangun HMI.
Sebagai penutup, saya tidak akan memberi kesimpulan. Saya hanya akan mengutip beberapa kalimat dari dua tokoh yang saya kira kontribusinya untuk Islam dan Idonesia tidak perlu diragukan lagi, H. Isa Anshari dan Nurcholis Madjid.
“Hanya api yang yang bisa menyalakan kayu, hanya kayu yang menyala yang bisa menyalakan kayu-kayu yang lain. Hanya yang Haq yang bisa meyakinkan hati, hanya hati yang yakin yang bisa meyakinkan hati-hati yang lain”
“Dengan demikian tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu beriman, berilmu dan beramal”.Wassalam.




Kotagede, 14 Maret 2013

Wahyu Minarno



[1] Diantaranya adalah system dalam bentuk AD/ART, yang pada berbagai tafsir dan penjabarannya meliputi system yang berhubungan dengan persoalan konstitusi dan desain perkaderan. Sejauh pengamatan saya, Kongres yang seharusnya serius dalam merumuskan itu, ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik dan serius. Dari masa ke masa, Kongres HMI semakin kehilangan kualitasnya. Kongres HMI tidak lain hanya merupakan arena politik praktis yang bersifat destruktif.

[2] Mengenai rekayasa ini, seharusnya forum Kongres membicarakan dan mendiskusikannya secara serius dan matang sebelum disahkan. Karena inilah yang akan menjadi acuan pokok bagi proses perkaderan HMI di seluruh Nusantara. Mengenai detilnya, sebenarnya saya memiliki gambaran sebagai masukan, namun sebaiknya dibicarakan di Kongres dengan berbagai alas an dan pertimbangan tertentu.

[3] Saya memberikan contoh misalnya, bagaimana HMI mendudukkan kapitalisme neoliberal sebagai musuh bersama. Dengan begitu, hal itu akan menuntut HMI untuk menafsirkan kembali bagaimana pandangan Islam tentang kapitalisme, apa itu kapitalisme, bagaimana kapitalisme bekerja, melalui apa kapitalisme bekerja, apa bentuk-bentuk nyata dari kapialisme mulai dari level global hingga lokal, apa strategi-strategi yang harus dirancang untuk menghadang kapitalisme, dan lain sebagainya. Pada tingkat nasional misalnya, saya bersama kawan-kawan yang selama ini focus pada persoalan ekonomi politik agrarian, mendudukan MP3EI sebagai musuh paradigmatik. MP3EI sebagai wujud nyata dari kapitalisme neoliberal yang akan bekerja melalui produksi ekonomi ruang di seluruh penjuru tanah air dengan menjual seluruh sumber-sumber kehidupan rakyat Indonesia. Setelah memahami itu, tentu kita akan tahu langkah apa yang akan dilakukan. Apa yang harus difikirkan dan apa yang harus dikerjakan.

[4] Meskipun seorang Ketua Umum misalnya, ia tidak dapat seenaknya saja mengambil keputusan tanpa meminta pertimbangan dari pengurus yang lain (minimal jajaran presidium), namun dalam keadaan-keadaan tertentu yang bersifat penting dan mendesak, seorang pemimpin harus berani mengambil keputusan dengan segala resiko yang akan dia hadapi. Ini akan menjadi cermin apakah seorang pemimpin itu pemimpin sejati atau hanya sebagai boneka atau ekor. Hal yang tidak kalah penting, dan ini pokok, adalah ia harus adil dan amanah serta mau mendengarkan semua pihak tanpa terkecuali (memilih-milih). Di sinilah keberadaan pemimpin menjadi penting.

[5] Beberapa instrument ini memang terkesan sederhana namun sangat berarti dan membantu dalam proses transformasi (timbal balik) pengetahuan.  Beberapa instrumen tersebut, sebagai contoh diantaranya adalah bahan-bahan bacaan sebagai objek analisa (bahan bacaan ini dapat berupa dokumentasi berita, buku-buku hasil penelitian tentang HMI atau yang lainnya yang berhubungan dengan fungsi dan peran HMI, peristiwa-peristiwa sosial-politik yang terjadi di sekitar lokasi pelaksanaan kegiatan perkaderan (untuk dikaji bersama di sela-sela waktu istirahat), alat-alat peraga/fasilitas material khusus untuk pendukung kegiatan belajar, dan instrumen-instrumen yang lain. Oleh karena itu, penentuan lokasi kegiatan perkaderan sesungguhnya sangat penting untuk dipertimbangkan. Sebab lokasi juga menjadi salah satu variabel penentu keberhasilan proses perkaderan. Contoh, jika pelaksanaan kegiatan perkaderan dilakukan dengan seluruh variabel yang sama, kecuali lokasinya, tentu akan sangat berbeda hasilnya. Akan sangat berbeda hasilnya antara kegiatan LK 1 yang dilaksanakan di lokasi biasa-biasa saja dengan kegiatan LK 1 yang dilaksanakan di daerah pesisir Kulon Progo dimana sedang terjadi persoalan pertambangan pasir besi antara pihak Pemerintah Daerah (yang didukung oleh pemodal skala besar dan rezim expert) dengan masyarakat pesisir sebagai penghuni atau penduduk asli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar