Tak Ada yang Bisa Dibela
Oleh: Yudi Latif
(Kompas, Selasa, 8 November 2016)
Unjuk rasa 4 November itu begitu fantastis baik dari segi kuantitas mapun kualitas. Jumlah massa yang terlibat sebanding dengan penggelaran kekuatan rakyat padaperistiwa 1998. Demonstrasi ini juga memperlihatkan sisi-sisi keadaban publik yang membanggakan: tertib, bersih, terkendali.
Memang ada sedikit kerusuhan di waktu tambahan. Namun, insiden seperti itu, kendati tak bisa dibenarkan, kerap terjadi dalam aksi demonstrasi. Sekiranya aparat keamanan bisa terus menempuh cara-cara persuasif ketimbang instrumen pengusiran secara paksa, mungkin ceritanya bisa berbeda. Sekiranya para pemimpin aksi secara biadab menyerukan massa untuk bereaksi lewat jalan amuk, ceritanya juga bisa berbeda. Nyatanya, situasi bica cepat diatasi; massa pulang dengan tenang. Pidato Presiden yang menuding kerusuhan itu ditunggangi aktor politik, kalaupun benar adanya, tidaklah bijaksana. Ketidakmatangan komunikasi politik seperti itu bukannya meredakan, malah bisa memanas-manasi api resistensi terhadap pemerintah.
Tinggal masalahnya, dengan pengerahan massa sebanyak itu, anak panah demonstrasi ini mau diarahkan ke mana dan untuk apa? Apakah pengerahan daya-upaya raksasa ini sekadar untuk “menghukum” seorang Basuki Tjahaja Purnama(Ahok) dengan tuduhan penistaan agama, sehingga terpental dari bursa pemilihan calon gubernur Jakarta? Ada banyak hal yang tidak terkatakan lewat ekspresi demonstrasi ini.
Pertama, munculnya isu penistaan agama itu membersitkan kecenderungan yang disebut Julian Benda “pengkhianatan intelektual” di ruang publik kita. Banyak orang cerdik-pandai yang terseret dalam arus kepentingan pragmatis dan semangat partisan yang membuta, sehingga tidak punya kelapangan dan kepekaan nurani dalam mengambil tindakan yang mempertaruhkan keselamatan bangsa. Sekiranya seorang ilmuwan patuh pada kaidah-kaidah ilmiah dan punya tanggung jawab intelektual, masalah ini bolehjadi tidak akan pernah ada.
Tentang isu penistaan agama sendiri, sesungguhnya merupakan tuduhan yang masih bisa diperdebatkan. Sekiranya ucapan Ahok menyangkut Surat Al-Maidah ayat 51 itu dilihat dalam konteks pernyataannya secara utuh, kita tidak bisa menarik kesimpulan yang tunggal bahwa Ahok telah melakukan penistaan. Dengan kata lain, jika pengadilan tidak tunduk pada opini mahkamah jalanan, Ahok belum tentu dinyatakan bersalah. Kita harus secara jujur mengakui bahwa tuduhan penistaan agama ini hanyalah deskripsi tipis dari penjelasan lebih tebal tentang gemulung kecemasan yang berkecamuk di kegelapan jiwa bangsa.
Dalam kaitan ini, Ahok tidaklah berdiri sendiri, melainkan mewakili komunitas yang dibayangkan kaum “Pribumi”-Muslim, sebagai ancaman dari “yang lain” (the significant other). Bahwa Tionghoa itu secara stereotip diidentifikasikan dengan pengusaha besar, angkuh, dan eksklusif. Gaya bicara ahok yang terkesan over-confident, bertutur kasar, disertai ketegaan menggusur rakyat miskin dan relasinya dengan pengembang, secara sempurna mewakili bayangan kecemasan tersebut.
Di sisi lain, belasan tahun orde demokrasi reformasi, kebebasan sebagai negative rights (bebas “dari” segala represi dan pembatasan) mengalami surplus. Bersamaan dengan arus globalisasi, masuk berbagai paham baru yang di tanam di atas tanah-tanah yang telah diolah oleh gerakan-gerakan kegamaan sebelumnya. Ketika ormas-ormas keagamaan mapan gagal menjadi gembala dan pembela rakyat miskin yang terlempar dari pasar, aktivis-aktivis keagamaan militan mengambil alih kepemimpinan atas mereka. Dengan memanfaatkan momentum keterbukaan ruang publik, kaum miskin kota ini diledakkan dalam gairah “kejahatan kebencian” (hate crime).
Dalam pada itu, kebebasan sebagai positive rights (bebas “untuk” meraih kehidupan yang lebih baik) gagal dijalankan oleh komunitas politik. Dunia politik mengalami surplus politikus, defisit negarawan. Negarawan adalah aktor politik yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada negara. Sedangkan politikus adalah aktor politik yang menempatkan negara dalam pelayanan pada dirinya. Sedemikian rupa gairah menjadi politikus itu bahkan tak bersedia naik menjadi pandita setelah turun dari tahta keprabuan. Di tangan para politikus oportunis ini, rakyat bisa diadu domba, keselamatan negara dan bangsa bisa dikorbankan, demi kepentingan sesaat.
Banyak politikus dan pemimpin politik naik panggung dengan retorika populisme, namun dalam kenyataannya tetap berkhidmat pada neo-liberalisme, sebagai cara mempertahankan kekuasaan. Dengan mengedepankan kepentingan jangka pendek, setiap pemimpin yang tampil tidak punya komitmen untuk melakukan penataan mendasar sistem ketatanegaraan kita, sebagai cara memperkuat konsepsi negara kekeluargaan dan negara keadilan. Demokrasi berjalan menurut logika pasar, yang menempatkan negara sebagai pelayan modal. Akibatnya, kesenjangan sosial makin lebar, yang kian melambungkan kecemburuan sosial.
Tampak jelas, dalam kasus Ahok ini semua pihak bersalah. Tak satu pun pihak yang bisa dibela. Yang bisa menuntun kita keluar dari lorong gelap ini adalah berpihak pada kebenaran. Jika kita mau jujur, Ahok hanyalah “korban” kecemasan karena ketidakmampuan kita menegakkan prinsip-prinsip kehidupan publik yang sehat.
Adalah salah menjegal hak politik setiap warga hanya karena sentimen etnis-keagamaan. Namun, perlu diingat bahwa setiap warga negara, bahkan jika dipandang sebagai subjek hukum, bukanlah individu-individu abstrak yang tercerabut dari akar-akar sosialnya. Dalam asosianya dengan akar sosial ini, stigma superioritas dan eksklusivitas golongan tertentu harus dijawab dengan usaha-usaha inklusivitas sosial yang lebih baik. Tugas kenegarawanan harus mampu berdiri di
atas dan untuk semua golongan, dengan mengupayakan persatuan dan keadilan lewat penataan ulang sistem ketatanegaraan dan demokrasi kita.
(Yudi Latif, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar