Mencari Faktor Konflik Myanmar
Ada beberapa faktor yang dapat kita dekati untuk memahami akar konflik di Myanmar.
Beberapa pendapat mengatakan jika hampir semua transisi sistem dari rejime represif militer ke demokrasi tidak berjalan mulus. Demikian pula dengan apa yang terjadi di Myanmar setelah 50 tahun di bawah junta militer dan kini mengadopsi model demokrasi. Persoalan dari model pemerintahan, model negara antara negara-bangsa, atau bangsa-negara, pembagian kekuasaan, partai politik, sampai entis dan agama yang berhak dalam perwakilan golongan dalam dewan dan pemerintah masih menjadi persoalan besar di Myanmar
Beberapa faktor kita klasifikasikan kepada lokus-lokus, yaitu lokus politik relasi sipil-militer, relasi sipil-sipil, dan relasi politik-ekonomi.
0/1
Adalah hasil kajian tuan Marco Buente, mengenai model transisi militer ke demokrasi yang mengubah relasi sipil-militer menjadi beberapa jenis di Myanmar. Bahwa mirip dengan yang terjadi di Indonesia pasca reformasi, yaitu pihak militer yang dipersalahkan sebagai tulang punggung rejim represif Soeharto menarik diri dari pentas politik.
Meski mengorbankan hak previlege mereka di fraksi ABRI/Polri di MPR, menarik tentara ke barak-barak, dan memperkenalkan kampanye "Damai Itu Indah", namun banyak pihak setuju jika tentara tidak sepenuhnya meninggalkan pentas politik. Mereka secara tertutup maupun menggunakan mesin partai berusaha untuk tetap mengambil tempat dalam transisi demokrasi.
Hal yang sama dilakukan pula junta militer di Myanmar dengan menerapkan tiga pendekatan transisional:
0/1/1
Pertama, militer membangun kontruksi baru doktrin yang disesuaikan dengan semangat demokrasi yang dituntut masyarakat sipil. Meski ini lebih kepada bentuk kompromi bagi militer untuk mengurangi tekanan-tekanan terutama dari pihak luar negeri, namun arah dari doktrin akan tetap sama yaitu bagaimana hilangnya pengaruh militer atas kontrol terhadap sipil dan hukum adalah sebuah kemunduran dari doktrin.
0/1/2
Kedua, kontruksi dari terbentuknya relasi sipil dan militer yang baru, yang memungkinkan militer berperan sebagai penopang kekuatan politik sipil. Meski mereka dilepaskan dari politik namun konflik, persaingan politik membuat mereka menjadi faktor backing yang cukup diperhitungkan. Mereka cenderung menawarkan transisi politik ke arah demokrasi dengan beragam istilah demokrasi. Mulai dari guided democracy (demokrasi terpimpin), gradual democracy (seperti Wiranto dulu pernah menawarkan mahasiswa pengunjuk rasa rejim Soeharto), serta di Myanmar dikenal dengan disciplined democracry (demokrasi yang berdisiplin) (Stephen McCharty:2012)
0/1/3
Ketiga, sebagai salah satu rejim militer terkuat di kawasan ASEAN, pihak militer memainkan isu instabilitas dan ketidakpastian transisi dalam demokrasi sebagai pre-text bagi mereka untuk terus mengontrol kekuatan-kekuatan sipil. Yang tidak jarang mereka menggunakan persaingan politik dalam demokrasi sebagai alat tawar.
Setelah berkali-kali tarik ulur dengan masyarakat sipil, militer memang pada akhirnya menggarisbawahi bahwa mereka tidak akan melakukan intervensi sejauh konsep demokrasi yang berdisiplin dijalankan oleh presiden pemenang pemilu. Pengertian atau batasan demokrasi berdisiplin ini menjadi demikian pejalnya (pasal karet) karena bisa saja sewaktu-waktu rejim militer kembali mengambil alih kekuasaan.
0/2
Faktor kedua, adalah gagalnya kelompok masyarakat sipil melakukan perpindahan kekuasaan dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Jatuhnya kekuasaan rejim militer oleh tekanan internasional dan perlawanan pro demorkasi tidak pernah diduga sebelumnya, Seperti halnya di Indonesia pasca reformasi, maka yang kita perhatikan adalah pertikaian kelompok-kelompok sipil. Yang masing-masing terbelah menjadi politik-politik aliran berbasiskan kepada agama, etnis, dan golongan-golongan. Pembentukan partai-partai dan lembaga-lembaga boneka militer seperti BSSP (Partai sosialisme Burma), SOLR (Konsil penegakan aturan dan hukum Nagari) serta SPDC (Dewan Keamanan dan Pembangunan Nagari) sebenarnya cukup menyatukan kelompok oposisi dalam gerakan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Sayangnya ketika transisi diberikan secara "penuh" kepada Thien Shein untuk memulai pemilihan langsung yang lebih terbuka maka oposisi dari kelompok sipil terpecah dalam kelompok-kelompok politik. Beberapa diantaranya menggunakan politik aliran yang berbasis kepada entis, suku, agama, dan golongan. Yang mana dalam praktiknya mereka mulai kembali menarik-narik militer untuk terlihat atau berpihak di sisi mereka.
0/3
Faktor kedua adalah persoalan ekonomi politik. Setelah dianggap sukses melakukan transisi demokrasi via demokrasi yang berdisiplin maka Myanmar adalah salah satu negara ASEAN yang paling banyak diminati investasi asing. Cina, India, Korsel, Jepang, Thailand, dan kini Singapura. Selain kekuatan modal tradisional seperti Inggris, AS dan Rusia maka negara-negara baru tadi menginvestasikan dana besar di sektor infrastruktur dan perdagangan.
Posisi geogstratejik Myanmar sungguh luar biasa. Mereka adalah satu-satunya negara yang menjadi hub dari tiga kanal Asia. Asia Selatan, Asia Timur, dan ASEAN. Berada di teluk Bengal/Bangladesh. Posisi pantai yang lebar dan curam terutama di wilayah Rakhine/Arakan yang banyak dihuni etnis Rohingya adalah kombinasi yang baik bagi pelabuhan basah (sea-port) dan pelabuhan kering (dry-port) yang sejak lama menarik minat negara-negara besar seperti Rusia, Cina, dan AS.
Hanya dengan melewati reformasi politik dan transisi ke arah demokrasi maka Myanmar baru dapat memenuhi prasyarat dari diangkat embargo dan sanksi ekonomi oleh barat. Wajah militer yang lebih terbuka dan didorongnya Aung San Su Kyi yang dikenal dekat dengan lobbyst AS inilah yang kemudian dimajukan untuk mendapatkan simpati dunia.
Bahwa kini Myanmar adalah negara demokrasi baru, yang siap menerima investasi dalam jumlah besar.
Kenyataannya Myanmar memang menarik bagi investasi asing, terutama bahwa di negara tersebut masih dibutuhkan pembangunan infrastruktur besar-besaran, industri listrik, dan pengolahan mineral alam yang kaya serta pelabuhan penghubung bagi Asia Tengah, Asia Timur, Selatan dan Tenggara.
Semenjak Inggris pada tahun 1974 mengklaim sebagai penemu mineral bauksit dan mangan di bantalan laut teluk
Bangladesh yang pesisirny dihuni oleh mayoritas suku Rohyngya yang muslim keturunan Bangladesh, maka konflik perebutan lahan di sana sampai hari ini belum dapat diselesaikan. Inggris dengan janji investasi besar telah menggunakan Bangladesh untuk mengklaim bantalan tersebut masuk ke dalam wilayah negaranya. Yaitu dengan banyaknya suku Rohyngya yang masih keturunan Bangladesh. Sementara Burma/Myanmar yang didukung Cina menolak jika wilayah tersebut masuk ke perbatasan laut Bangladesh.
Ini dapat dimengerti jika mengapa Bangladesh menolak menampung orang Rohyngya yang masih satu garis keturunan dan beragama Islam. Selain mereka akan menjadi beban ekonomi pengungsi maka Bangladesh memiliki kepentingan mengklaim bantalan laut mereka dengan keberadaan orang Rohyngya. Di sisi lain junta Myanmar yang didukung aktivis radikal Budha memiliki alasan lain untuk mengusir mereka yang sepertinya alasan ekonomi dan historis lebih kuat.
Seperti banyak ditulis literatur Bauksit dan Mangaan adalah mineral jarang yang sangat penting yang dibutuhkan oleh industri modern dan persenjataan mutakhir. Sehingga konflik yang mengorbankan etnis Rohyngya di Myanmar sulit untuk dilepaskan dari persoalan transisi pollitik militer, sipil-sipil, dan kepentingan investasi asing untuk menguasai wilayah laut milik etnis Rohyngya yang menjanjikan investasi besar.
*Foto-foto
1. Delegasi dari beberapa etnis di Myamar datang ke Indonesia untuk mempelajari transisi demokrasi pada tahun 2010.
2. Sidang lanjutan sesi pandangan di UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) di Hamburg pada Agustus 2012 antara Bangladesh dengan Myanmar/Burma memperebutkan batas landas teluk Bangladesh. Benda di tangan saiya adalah sampel Mangaan yang diambil dari ekspedisi Inggris pada 1974 di teluk bangal pesisir yang banyak dihuni suku Rohyngya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar