Diakui atau tidak, keterangan pers yang disampaikan SBY kemarin menunjukkan kepanikan yang luar biasa. Curhatnya sudah lebih buruk dari mantan yang ditinggal selingkuh karena kalah ukuran titik-titik. Perih.
Ada satu pernyataan SBY yang begitu menggebu dan sangat jelas dapat disimpulkan bahwa dirinya sedang galau kuadrat.
“Saya baca statement Menko Polhukam Pak Wiranto di media massa, tak ada instruksi Presiden (Joko Widodo) usut SBY terkait TPF Munir. Dua hari setelah itu, saya menerima pesan dari jajaran Kejaksaan Agung bahwa pihaknya ingin ketemu saya,” kata SBY.
“Ini enggak salah negara kalau saya justru dijadikan tersangka pembunuhan Munir? Ngga kebalik dunia ini jika SBY dianggap terlibat dalam konspirasi politik pembunuhan Munir. Come on, ayo gunakan akal sehat,” tambah SBY.
Kemudian untuk membenarkannya, SBY mengatakan bahwa rakyat sudah punya akal sehat. Ini lucu. Sebab di saat bersamaan, soal demo 4 November, SBY tak membawa nama rakyat dan mengajaknya menggunakan akal sehat. SBY ingin menyerahkan dan memasrahkan kasus ini pada aparat penegak hukum.
“(Kasus Ahok), bola ada di penegak hukum. Bukan di jalan-jalan raya, bukan di tangan Pak Jokowi, bukan di tangan pemimpin organisasi massa Islam. Bukan di Partai Demokrat, partai manapun,” kata SBY.
Lalu kenapa saat bicara dokumen TPF pembunuhan Munir yang dihilangkan oleh SBY malah mengajak rakyat berpikir menggunakan akal sehat? Kenapa tidak diserahkan saja pada aparat penegak hukum?
Memangnya kenapa kalau Kejaksaan Agung mau bertemu SBY? tidak boleh? Mentang-mentang mantan presiden lantas merasa kebal hukum, gitu?! Kalau memang tidak bersalah ya terima saja, toh Kejaksaan Agung hanya menjalankan tugas sesuai undang-undang. Mereka hanya ingin menegakkan hukum. Kenapa harus curhat dan mau menyerahkan pada akal sehat rakyat? Kenapa tak berani bilang serahkan pada aparat penegak hukum? Bukankah begitu aturannya, begitu etikanya. Bukan malah curcol ala anak alay.
Selain itu, penting untuk ditegaskan bahwa pemerintah tidak dalam posisi ingin menjadikan SBY sebagai tersangka pembunuhan Munir. Kalaupun saya berpikir SBY layak menjadi tersangka, ada kasus yang lebih terang benderang dibanding kasus Munir. Yang ingin dilakukan pemerintah adalah penelusuran kasus Munir melalui dokumen TPF. Jadi SBY jangan gagal paham, apa perlu otak eksternal supaya nyambung?
Dokumen TPF Munir dan Supersemar
Surat Perintah Sebelas Maret alias Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Isinya berupa instruksi Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan pada saat itu.
Namun dokumen penting tersebut hilang entah ke mana, kemudian muncul supersemar dengan 3 versi berbeda.
naskah asli Supersemar diserahkan oleh Basoeki Rachmat, M Jusuf, dan dirinya kepada Soeharto yang saat itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat.
Namun kemudian Pak Harto menyerahkan surat itu pada Soedharmono untuk keperluan pembubaran PKI. Setelah itu surat tersebut “menghilang.” Apakah dikembalikan pada Soeharto karena Soedharmono mengaku tidak menyimpannya, atau disimpan orang lain?
Menurut Amirmachmud naskah asli Supersemar terdiri dari dua lembaran. Itu sebabnya buku “30 Tahun Indonesia Merdeka” ditarik dari peredaran karena di dalamnya memuat naskah Supersemar yang palsu, hanya satu lembar.
“Tim sudah dibentuk melalui Menteri Sekretaris Negara untuk penyiapan arsip nasional selama 10 tahun terakhir,” kata Presiden Yudhoyono saat membuka rapat terbatas di Istana Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, Jumat (8/8/2014).
SBY mengingatkan jangan sampai terjadi ada dokumen historis atau dokumen yang memiliki nilai sejarah tinggi tidak diketahui di mana yang orisinal atau aslinya seperti yang pernah terjadi terkait dengan dokumen Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Hingga kini tak diketahui di mana naskah asli dokumen yang membidani peralihan kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru tersebut.
“Marilah kita letakkan tradisi administrasi negara modern sehingga insyaAllah administrasi kita juga menjadi lengkap,” kata SBY.
Namun ternyata, SBY yang menggagas dan menginstruksikan penyiapan arsip nasional, berharap tak ada dokumen negara yang kembali hilang, malah dirinya sendiri yang menghilangkan dokuken TPF Munir.
Tidak ada orang yang mau mentersangkakan SBY terkait pembunuhan Munir. Kita dan pemerintah hanya inginkan dokumen asli, bukan copy. Kalau SBY kemudian marah-marah karena takut dijadikan tersangka, kemungkinannya hanya dua: halusinasi atau ketakutan.
Bahwa kemudian dokumen TPF Munir sudah dilegalisir oleh ketua TPF, itupun tetap tidak bisa dijadikan bukti hukum yang kuat, jika ingin ditindak lanjuti. Sebab orang yang nantinya menjadi tersangka atau dinyatakan bersalah berdasarkan dokumen copy, mereka bisa balik menuntut Presiden Jokowi. Dan sudah terbayang bagaimana ributnya negeri ini andai itu terjadi, pasti lebih ribut dari kasus Ahok. Apa SBY sengaja mau menjebak Presiden Jokowi dengan memberikan dokumen copy?
Lagipula dokumen TPF Munir itu kapan dilegalisirnya? Jangan-jangan baru kemarin dilegalisir. Lalu untuk keperluan apa kok dilegalisir? Kenapa yang diserahkan ke SBY bukan versi legalisirnya? Toh isinya sama saja.
Dengan nada penyampaian SBY yang sangat nampak panik, saya jadi tidak bisa berpikir atau dipaksa percaya bahwa dokumen TPF pembunuhan Munir hilang begitu saja. Tidak mungkin. Dokumen tersebut sangatlah penting, jauh lebih penting dari ijazah SD nya SBY. Lalu kenapa bisa hilang? 99% jawabannya karena memang dihilangkan, bukan karena hilang.
Pasal 86 UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan menegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memusnahkan arsip di luar prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat 2 dipidana maksimal 10 tahun penjara.
Dengan ini, seharusnya SBY sudah diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka. Sementara SBY sebaiknya juga tidak curcol alay, biarlah proses hukum berjalan.
Bahwa kemudian ada kecurigaan dokumen TPF Munir sengaja dihilangkan, itu harus dijawab SBY di pengadilan. Bukan di keterangan pers. Sebab ingat! Bolanya ada di penegak hukum, bukan di tangan SBY. Yang ada di tangan SBY itu dokumen TPF Munir yang sekarang hilang. Ituh!
Lagipula, SBY seharusnya sadar diri bahwa rakyat satu Indonesia sudah muak dengan curcol prihatinnya. Cukuplah 10 tahun rakyat disubsidi keprihatinan muter-muter. Sekarang kita bicara straight saja. Dokumen TPF Munir mana? Sulit sekali bagi saya untuk tidak curiga bahwa dokumen tersebut sengaja dihilangkan, mengingat pernah SBY membenahi arsip nasional dan mewanti-wanti agar jangan ada dokumen hilang lagi seperti Supersemar. Kalau kemudian dokumen TPF Munir hilang, ini tandanya apa?
SBY juga sebaiknya belajar dari Ahok. Sebelum dipanggilpun sudah datang ke Bareskrim minta diperiksa. Bukan malah curcol ketakutan dan bertanya dengan nada tuduhan “nggak kebalik dunia ini?” Sehingga membuat opini publik Kejaksaan Agung bersalah.
SBY harus mengakui kesalahannya, mintalah maaf, sebab setelah 2 tahun lengser dokumen belum juga diserahkan. Itupun baru ingat setelah pemerintah meminta. Bukan atas kesadaran sendiri. Lalu sekarang malah curcol memposisikan diri sebagai orang yang terdzolimi, suuuuuuuu……!
Terakhir, sebaiknya SBY kembali membayar konsultan agar pernyataan politiknya lebih konsisten. Jangan awalnya kedelai tapi ujungan tempe. Apalagi menyinggung dan melecehkan kuda, itu sangat tidak berprikehewanan.
Begitulah kura-kura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar