FORMASI KONTRADIKSI JAKARTA
by Zeng Wei Jian
Jakarta kota bisnis utama. Dipimpin seorang rasis diktator wannabe. Namanya AHOK. Dalam dua tahun, dia lebih banyak menggusur warga daripada lima tahun pemerintahan Sutiyoso.
Dalam surat kepada Edward Carrington (Januari 1787), Thomas Jefferson menulis, "Man is the only animal which devours his own kind."
Pasca Ahok berkuasa, sifat manusia seperti yang ditulis Jefferson tampak jelas ke permukaan: Manusia adalah hewan pemangsa sesamanya.
Kepada kalangan the haves dan haute capitalist ini Ahok bekerja. Mereka dorong Ahok rampungkan proyek bikin Jakarta sebagai "business-run society".
Padahal, tidak semua orang di Jakarta adalah pebisnis. Seperti kota lain, komposisi penduduk Jakarta: beragam.
Namun, di antara semua kelas sosial, pebisnis adalah kelompok paling berbahaya. Jefferson membagi dua terminologi terkait kontradiksi kelas: wolves vs sheep. Kaum pebisnis itu masuk kategori "srigala" bagi manusia lain.
Penggusuran, berkedok "relokasi", adalah aksi si kaya memangsa si miskin (the sheep). Proyek penggusuran Ahok itu hanya memuaskan mata kaum borjuis, strata sosial yang telah bebas dari "masalah perut".
Menyengsarakan ribuan orang via penggusuran itu mereka sebut prestasi Ahok. Prestasi memuaskan dahaga mata mereka. Sedangkan faktor kesejahteraan warga tidak banyak bergeser. Rakyat tetap sulit dapet kerja.
Bekerja untuk memuaskan mata kaum pebisnis itu jadi sebab utama Rezim Ahok rentan konflik.
Seperti kata Noam Chomsky, "The business classes are very class-conscious. They're constantly fighting a bitter class war to improve their power and diminish opposition."
Dalam rangka "perang" mempertahankan posisi Ahok, mereka gunakan berbagai metode keji seperti ngebully, sebar hoax, pelintir berita, framing dan mengkapitalisasi rasisme (etnik dan agama).
Siapa pun yang menentang Ahok dituding sebagai rasis. Ini senjata ampuh pra renaissance. Rasisme merupakan distraksi perjuangan menumbangkan penguasa zolim.
Selain wolves vs sheep, saya menambahkan satu kelompok benalu sosial yaitu the jackels.
Dalam konflik seputar Ahok, the jackels adalah ahokers. Mereka terdiri dari petite bourgouise, cina rasis, kristen fundamentalis, preman, makelar tanah dan aliran sesat.
Teori kontradiksi kelas ala Marxis tidak berlaku di sini. Manakala banyak cina kere, kristen miskin dan fakir miskin dari aliran sesat masuk ke dalam Ahok's champ. Di antara mereka digaji jadi buzzer.
Konsepsi strata sosial Max Weber lebih relevan. Weber tidak yakin bahwa "communities are formed by economic standing, but by similar social prestige."
Rasisme, sekali lagi, berperan sebagai booster mendongkrak prestige. Orang-orang cina dan kristen (sekali pun kere) diagitasi supaya bangga memiliki gubernur seperti Ahok. Karena itu, framing dan hoax soal prestasi perlu ditebar.
Demi tujuan itu, sejumlah "komandan jackels" disewa. Figur seperti Nusron, Gunawan Muhamad dan Guntur Romli masuk kategori "demang komprador" di era kolonial Belanda.
Nusron diketahui dekat dengan Sinarmas (backing utama Ahok). Sedangkan Guntur dan Gunawan tercatat anggota Komunitas Salihara di daerah Utan Kayu. Dengan Pergub, Ahok menggelontorkan dana APBD sebesar 1,5 Milyar setahun untuk Salihara.
Tidak heran, bila mereka pasang badan bela Ahok.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar