Mediawarga.info - Pada laman majalah internet pagi ini saya lihat ada foto Prabowo dan Aburizal Bakri (ARB) berbincang santai sambil 'numpak' kuda. Di dalamnya ditulis, Prabowo menunggang kuda Lusitano dan ARB kuda bernama Victoria.
Saya senyum-senyum saja pemirsa, itu bukan karena sesuatu dipikiran, saya berkata; "Kenapa sih mereka menunggangi kuda perempuan?"
Tetapi ya memang pada akhirnya seperti kita pernah bahas di sidang status kita yang mulia ini paket-paket penawaran terbuka koalisi memang akan berakhir dalam bentuk politik dagang kuda yang istilah kerennya Horse Trade Politic.
Bahwa kedua orang yang dicapreskan media tadi berdialog di atas pelana sebenarnya bahasa semiotis yang kebetulan nyambung dengan prediksi kita tentang akan munculnya negosiasi politik dagang kuda. Maka sebelum saya dituduh sebagai pengamat politik yang cerdas karena selalu akurat, maka saya katakan bahwa kuda-kuda itu sehat wal afiat.
Horse trade politic ini memang konsekuensi dari gagalnya pihak-pihak memastikan kepada lawan atau calon mitra koalisi paket-paket tertutup, karena tidak dianggap menguntungkan semua pihak. Akibatnya opsi maksimum mustahil diambil oleh partai pengusung atau dominan.
Dimana, akhirnya terpaksa mereka berhadapan dengan banyak pihak dan kepentingan. Di sini pihak-pihak lain tadi akan memaksa partai pemenang seperti PDIP, Gerindra, Golkar menerima paket terbuka dengan lebih banyak item-item atau tawaran-tawaran dari pihak lain yang membuat opsi mereka menjadi minimum. Jika ini tidak diambil maka koalisi akan gagal.
Istilah dagang kuda sendiri di ambil untuk menilai bahwa satu negosiasi berlangsung alot dan membutuhkan banyak pertimbangan-pertimbangan sampai berakhirnya masa waktu atau emergency dead line. Bila pihak yang mengusulkan bersikeras dengan maunya dewek maka dipastikan akan terjadi grid locked atau semau pihak terkunci seperti sekarang. Sehingga, nanti negosiasi membutuhkan munculnya pemain tengah yang menjadi ice-breaker atau pemecah kebuntuan dialog politik. Di sini yang kita maksud adalah PAN dan Demokrat.
Berbeda dengan politik dagang sapi, dimana ada satu pihak dominan dan pihak yang minoritas mau tidak mau menerima saja paket-paket daging yang diberikan, maka politik dagang kuda lebih sulit, karena menyangkut bukan cuma daging, tetapi juga kinerja, kecepatan, silsilah keturunan, perawatan, dan lain lain, yang intinya bahwa koalisi nanti yang akan terbentuk itu "really-really costy", betul-betul mahal yang disimbolkan dengan dagang kuda. Tentu saja ini juga akan menghabiskan energi.
Sekarang mulai terlihat baik Jokowi dari PDIP, Prabowo Gerindra, harus menerima paket-paket yang tidak hanya ditawarkan oleh partai calon mitra koalisi tetapi juga pemain-pemain seperti serikat buruh, government watcher, koalisi anti korupsi, mahasiswa, ikatan alumni, dan lain lain, yang semakin menambah ongkos serta tenaga besar. Sementara apa yang didapat tidak terlalu jelas, karena toh partai buruh atau serikat anti kemapanan tidak akan memberikan suara sebagai syarat pencapresan.
Yang harus difahami dari horse trade politic ini sebenarnya setiap pemain ditekan oleh waktu, sehingga pelan-pelan pada akhirnya orang atau pihak-pihak berhitung secara lebih rasional, kira-kira pendapatan apa yang mereka peroleh dengan kemitraan koalisi ini. Sehingga di sini aneka blusukan politik tidak lagi penting, karena opsi hanya membahas apa yang ada di atas meja.
Bagi elit-elit partai calon pendukung mereka, tidak lagi berpikir siapa yang bakal menang sebagai presiden, sebab dengan politik yang mahal ini mereka hanya ingin bagaimana partainya mendapatkan aliran dana atau kekuasaan agar mereka dapat merawat partainya sampai lima tahun ke depan. Semua pihak berpikir pragmatis saja, dan ini tidak dapat diharapkan kepada perjanjian koalisi tanpa prasyarat.
Di sinilah kita dapat mengerti bahwa dialog di atas sadel Prabowo dan ARB adalah bahasa politik kepada calon mitra bahwa mereka punya kuda bagus yang siap dikendarai. Keduanya terlihat berbincang-bincang santai di dalam foto tadi sambil tentu saja menunggu kuda apa yang ditawarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Oleh: ANDI HAKIM
Pegiat Media Sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar