Senin, 10 Maret 2014

THE WORLD IS FLAT

THE WORLD IS FLAT

10 Maret 2014 pukul 17:44
THE WORLD IS FLAT

Dunia menjadi semakin datar. Itulah pesan kuat yang disampaikan Thomas L. Friedman dalam buku ini. Banjir terjadi bukan semata limpahan air yang meluap ke mana-mana, tapi juga kita rasakan di bidang informasi. Bayangkan, berapa banyak informasi yang kita peroleh mulai dari media konvensional seperti koran, majalah, televisi, dan radio, hingga perangkat modern seperti handphone, Blackberry, internet, dan kini...iPad? Informasi tersebut kita peroleh hanya dengan mengklik tombol komputer – bahkan telepon genggam – yang dapat kita lakukan di mana saja, kapan saja.

Dua puluh tahun lalu, kita baru mengetahui suatu kejadian di tempat lain paling cepat sehari setelah peristiwa itu terjadi. Itu pun beritanya masih sepotong-sepotong. Kini, informasi menghampiri ruang hidup kita setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik bila kita menginginkannya. Berita-berita itu bukan hanya berasal dari media mainstream, sering kali justru datang dari pelakunya sendiri, atau orang yang berada di dekat tempat kejadian. Makin maraknya kegiatan menulis di blog, media sosial (Facebook, Twitter, Kaskus) atau website milik sendiri menunjukkan bahwa citizen journalist punya tempat di hati pembacanya.

Dunia memang sedang berubah. Friedman mengatakan, ”Kita telah membuat dunia ini menjadi datar!” Ungkapan ini bertolak belakang dengan penemuan Christopher Columbus yang mengelilingi dunia hanya untuk membuktikan bahwa Bumi ini bulat. Pengalaman Friedman saat berkunjung ke Bangalore, India, telah membukakan matanya bahwa Bumi tempatnya berpijak telah berubah menjadi datar. Bagaimana bisa?

”Lima ratus tahun lebih setelah Columbus berlayar menembus cakrawala dan kembali dengan selamat kala itu hanya menggunakan teknologi sederhana untuk membuktikan bahwa dunia ini memang bulat. Di Bangalore ini salah seorang insinyur paling cerdas di India, lulusan sekolah teknik terbaik di negerinya, didukung teknologi paling modern, mengatakan kepadaku bahwa dunia ini datar, sedatar layar tempat ia memandu rapat seluruh mata rantai pemasok dunia yang dipimpinnya.”

Apa artinya? Kita makin tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Teknologi informasi telah memudahkan kita menembus berbagai tempat yang dulu tak dapat kita jelajahi. ”Ketika kita berpikir bahwa dunia ini datar, atau setidaknya dalam proses menjadi datar, banyak hal menjadi lebih mudah dipahami daripada sebelumnya,” tulis Friedman. Ia memandang, mendatarnya dunia berarti semua pusat pengetahuan di planet ini terajut menjadi jaringan tunggal, yang bila tidak dirusak oleh politik dan terorisme mampu mengantar kita pada masa kesejahteraan, pembaharuan, dan kerja sama antar perusahaan, masyarakat, maupun pribadi, yang mengagumkan.

Di sisi lain, dunia menjadi datar juga menimbulkan kecemasan. Karena, bukan hanya orang-orang baik yang akan menyatu untuk berbagi pengetahuan dan bekerja sama untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Di belahan lain, para teroris dan penjahat kerah putih pun tak ketinggalan memanfaatkan datarnya dunia untuk meracuni pikiran orang dan mengembangkan aksi-aksinya.

Kita tentu tahu bahwa globalisasi sedang berlangsung. Tetapi, mungkin, kita belum sepenuhnya menyadari kekuatan di baliknya. Menurut kaca mata Friedman, globalisasi telah mencapai tingkat yang sama sekali baru. Sekitar tahun 2000 kita memasuki masa baru: Globalisasi 3.0. Sebelum membahas Globalisasi 3.0, saya ingin memberitahukan pandangan Friedman mengenai Globalisasi 1.0 dan 2.0.

Menurutnya, Globalisasi 1.0 berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan antara dunia lama dan dunia baru hingga sekitar tahun 1800. Proses ini menyusutkan dunia dari ukuran besar menjadi sedang. Globalisasi 1.0 terkait dengan negara dan otot. Dalam Globalisasi 1.0 pelaku utama perubahan atau kekuatan yang mendorong proses penyatuan global, adalah seberapa gigih, seberapa besar otot, tenaga kuda, tenaga angin, dan tenaga uap yang dimiliki suatu negara serta kreativitas untuk memanfaatkannya.

Masa Globalisasi 2.0 berlangsung dari sekitar 1800 hingga 2000 dengan diselingi oleh masa Depresi Besar serta Perang Dunia I dan II. Masa ini menyusutkan dunia dari ukuran sedang ke ukuran kecil. Dalam Globalisasi 2.0, pelaku utama perubahan atau kekuatan yang mendorong proses penyatuan global, adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan ini mendunia demi pasar dan tenaga kerja, dengan dipelopori oleh Revolusi Industri serta ekspansi perusahaan-perusahaan yang bermodal gabungan dari Belanda dan Inggris. Kekuatan di balik globalisasi masa ini adalah terobosan di bidang perangkat keras, berawal dari kapal uap dan kereta api, hingga telepon dan komputer induk.

Sekitar tahun 2000 kita memasuki masa baru: Globalisasi 3.0. Globalisasi ini menyusutkan dunia dari ukuran kecil menjadi sangat kecil, sekaligus mendatarkan lapangan permainan. Kalau motor penggerak Globalisasi 1.0 adalah mengglobalnya negara; dan motor penggerak Globalisasi 2.0 adalah mengglobalnya perusahaan, uniknya, motor penggerak Globalisasi 3.0 adalah kekuatan baru yang – menurut Friedman – ditemukan untuk bekerja sama dan bersaing secara individual dalam kancah global. Friedman memberi sebutan Globalisasi 3.0 sebagai ”Tatanan Dunia Datar” yang mampu menyatukan komputer pribadi di seluruh dunia tanpa menghiraukan jarak antarmereka.

Apa perbedaan ketiga mazhab globalisasi ini? Perbedaan nyata antara Globalisasi 3.0 dengan kedua masa sebelumnya tidak hanya soal menyusutkan dan mendatarkan dunia, serta bagaimana memberdayakan individu. Globalisasi 3.0 berbeda dari dua masa sebelumnya karena digerakkan oleh individu dan dunia usaha Amerika maupun Eropa. Globalisasi 3.0 memungkinkan begitu banyak orang masuk dan turut bermain. Tak heran jika kita melihat manusia dari berbagai warna kulit ikut ambil bagian dalam permainan ini.

Kendati The World Is Flat bukan buku baru, ia tetap menarik untuk dibaca. Mengingat buku ini ditulis oleh seorang jurnalis, maka kekaguman saya pun bertambah. Pengalaman Friedman mengelilingi berbagai negara yang ia datangi dan jam terbangnya yang tinggi sebagai jurnalis, mampu menggerakkan tangan dan pikirannya untuk menulis buku sebagus ini.

Namun demikian, tak ada yang kekal di dunia ini. Demikian pula dengan perubahan yang sedang berlangsung. Jika Friedman menyebut era saat ini dengan sebutan Globalisasi 3.0, mungkinkah suatu saat akan muncul istilah Globalisasi 4.0?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar