Mengenal Perang Asimetris: Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernya
Penulis : M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik
dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Kepopuleran serta kefavoritan perang konvensional yang
mengerahkan militer secara terbuka, pasca berakhirnya Perang Dunia II
(1939-1945) akhirnya meredup, terutama semenjak Perang Dingin (Cold War) usai
ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet selaku “mbah”-nya Komunisme. Muncul
beberapa model perang baru sebagai reaksi atas dinamika politik tersebut,
seperti proxy war (perang boneka, atau perang perwalian) misalnya, atau hybrid
war (perang kombinasi), asymmetric warfare (perang asimetris), currency wars
(perang mata uang), dan lain-lain.
Catatan sederhana ini hendak membahas asymmetric warfare
secara agak detail, sedangkan proxy war maupun hybrid war, dll nantinya hanya
sekilas dibahas sekedar menyambungkan topik diskusi. Sesuai judul artikel ini,
fokus materi memang lebih kepada asymmetric warfare dimana arti bahasa
Indonesianya ialah peperangan asimetris, atau juga disebut perang non militer,
atau smart power, ataupun kerapkali dinamai perang nirmiliter. Selanjutnya,
pada artikel ini, pemakaian beberapa istilah dimaksud akan digunakan secara
bergantian karena maknanya memang sama. Sebelum melangkah jauh, selayaknya
dipahami dahulu pengertian perang asimetris dari beberapa referensi meski dalam
hal definisi tersebut ---- dijumpai ketidakkonsistenan, ataupun kesimpangsiuran
baik arti, maksud dan makna daripada terminologi itu sendiri.
Definisi Beberapa Sumber
Dewan Riset Nasional (DRN), 2008, Suatu Pemikiran tentang
Perang Asimetris (Asymmetric Warfare), Jakarta, menerbitkan definisi bahwa:
Perang asimetris adalah suatu model peperangan yang
dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan
yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek
astagatra dimana merupakan paduan antara trigatra (geografi, demografi, dan
sumber daya alam/SDA) dan pancagatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan
budaya). Bahwa perang asimetri selalu melibatkan antara dua aktor atau lebih,
dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.
Sedangkan US Army War College menyatakan:
“Peperangan asimetris dapat dideskripsikan sebagai sebuah
konflik dimana dari dua pihak yang bertikai berbeda sumber daya inti dan
perjuangannya, cara berinteraksi dan upaya untuk saling mengeksploitasi
karakteristik kelemahan-kelemahan lawannya. Perjuangan tersebut sering
berhubungan dengan strategi dan taktik perang unconvensional. Pejuang yang
lebih lemah berupaya untuk menggunakan strategi dalam rangka mengimbangi
kekurangan yang dimiliki dalam hal kualitas atau kuantitas.” (Tomes, Robert,
Spring 2004, Relearning Counterin surgency Warfare, Parameter, US Army War
College).
Berikutnya definisi versi Australia’s Department of Defence
adalah:
“Konflik selalu melibatkan satu pihak yang mencari celah
keuntungan asimetris atas pihak lainnya dengan cara memperbesar pendadakan,
penggunaan teknologi atau metode operasi baru secara kreatif. Sisi asimetri
dicari dengan menggunakan pasukan konvensional, khusus dan tidak biasa dalam
rangka menghindari kekuatan-kekuatan musuh dan memaksimalkan keunggulan yang
dimilikinya. Semua perang kontemporer didasarkan pada pencarian keunggulan
asimetris. Asimetri muncul pada saat diketahui adanya perbedaan perbandingan
antara dua hal. Asimetri militer dapat diartikan dengan perbedaan tujuan, komposisi
pasukan, kultur, teknologi dan jumlah.” (Land Warfare Doctrine 1, 2008, The
Fundamentals of Land Warfare, Australia’s Department of Defence).
Pointers Diskusi
Dari beberapa definisi yang bersumber tiga rujukan berbeda
di atas, ada pointers yang layak dicermati pada sub diskusi ini, antara lain:
Dewan Riset Nasional (DRN) misalnya, lebih memaknai perang
asimetris sebagai perang konvensional yang dikembangkan, tetapi dengan cara
berpikir tidak lazim, mengapa? DRN melihatnya sebagai peperangan yang memiliki
spektrum sangat luas karena mencakup astagatra (tujuh aspek kehidupan) yang
meliputi trigatra dan pancagatra. Trigatra terdiri atas aspek geografi,
demografi, dan sumber daya alam (SDA), sedang pancagatra meliputi aspek
ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dll. Sedang pada taktis
peperangan, DRN menekankan keterlibatan antara dua aktor atau lebih, dan
menyoroti ketidakseimbangan keadaan (bagi dan antaraktor) yang terlibat
peperangan.
Sementara definisi perang nirmiliter versi US Army War
College, menekankan perbedaan sumberdaya dua pihak yang berkonflik, cara
berinteraksi, dan upaya mengeksploitasi masing-masing kelemahan lawan. Ia juga
masih mengaitkan dengan strategi dan taktik perang non konvensional (?).
Artinya pihak yang lemah berupaya memakai strategi guna mengimbangi
kekurangannya baik dalam hal jumlah maupun kualitas.
Selanjutnya, perang non militer versi Australia’s Department
of Defence, lebih kepada pencarian keuntungan secara nirmiliter atas pihak
lainnya, kendati pencarian sisi asimetris tersebut dilakukan secara militer,
sedangkan asimetris secara militer ia persepsikan sebagai perbedaan tujuan,
komposisi pasukan, kultur, teknologi dan jumlah.
Rangkuman Perang Asimetris
Dari definisi ketiga sumber di atas memang masih terdapat
perbedaan arti, maksud dan makna daripada peperangan non militer. Belum ditemui
definisi yang cocok, pas dan baku. Australia’s Departement of Defence misalnya,
masih saja mengaitkan perang nirmiliter dengan perang militer (konvensional),
namun ia menekankan kepada hasil peperangan berupa non militer (mungkin
maksudnya adalah kontrol ekonomi negara lawan, dan penguasaan SDA, dsb).
Demikian juga dengan US Army War College masih membandingkan atau mengukur
kekuatan antarpihak yang saling bertikai sebagaimana terjadi dalam perang
militer secara terbuka.
Menurut hemat penulis, definisi perang asimetris versi DRN
lebih realitis daripada definisi lainnya karena sejalan dengan model dan
praktik-praktik selama ini. Perang nirmiliter dinilai sebagai model perang
tidak lazim ---non militer--- bahkan dalam praktik operasionalnya cenderung non
kekerasan. Spektrum sasarannya lebih luas daripada perang konvensional sebab
mencakup segenap aspek kehidupan. Meski penulis sedikit menyayangkan, karena
pada definisi versi DRN masih mencantumkan “ketidakseimbangan keadaan (bagi dan
antaraktor) terlibat peperangan,” kenapa? Oleh karena pada praktik kolonialisme
justru perang non militer sekarang dinilai sebagai metode favorit para adidaya
dalam rangka menancapkan kuku pengaruh (dan kolonialisme)-nya di negara-negara
yang menjadi target kolonialisme. Pertanyaannya, “Bukankah dari sisi sumberdaya
perang, justru para adidaya lebih canggih dan lebih kuat daripada negara-negara
target, kenapa dalam perang nirmiliter masih mempersoalkan ketidakseimbangan
pihak yang terlibat peperangan?”
Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryaccudu memaknai asymmetric
warfare sebagai perang non militer atau dalam bahasa populernya dinamai smart power,
atau perang murah meriah, tetapi memiliki daya hancur lebih dahsyat daripada
bom atom.
“Asymmetric warfare merupakan perang murah meriah tapi
kehancurannya lebih dahsyat dari bom atom. Jika Jakarta di bom atom,
daerah-daerah lain tidak terkena tetapi bila dihancurkan menggunakan asymmetric
warfare maka seperti penghancuran sistem di negara ini, hancur berpuluh-puluh
tahun dan menyeluruh,” ujar Ryamizard (29/1/2015).
Merujuk diskusi dan rangkuman di atas, diskusi terbatas di
Global Future Institute (GFI) Jakarta, pimpinan Hendrajit (24/3/2015)
merumuskan definisi asymmetric warfare sebagai berikut:
“Perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru
secara nirmiliter (non militer) namun daya hancurnya tidak kalah bahkan
dampaknya lebih dahsyat daripada perang militer. Ia memiliki medan atau
lapangan tempur luas meliputi segala aspek kehidupan (astagatra). Sasaran
perang non militer tak hanya satu aspek tetapi juga beragam aspek, dapat
dilakukan bersamaan, atau secara simultan dengan intensitas berbeda. Sasaran
perang asimetris ini ada tiga: (1) membelokkan sistem sebuah negara sesuai arah
kepentingan kolonialisme, (2) melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir
rakyatnya, dan (3) menghancurkan food security [ketahanan pangan] dan energy
security [jaminan pasokan dan ketahanan energi] sebuah bangsa, selanjutnya
menciptakan ketergantungan negara target terhadap negara lain dlam hal food and
energy security.
Sedangkan muara ketiga sasaran ---tujuan--- senantiasa
berujung pada kontrol ekonomi dan penguasaan SDA sebuah negara, sebagaimana
doktrin yang ditebar oleh Henry Kissinger di panggung politik global: “Control
oil and you control nations, control food and you control the people.” (Kontrol
minyak maka anda mengendalikan negara, kendalikan pangan maka anda menguasai
rakyat).
Betapa efek perang ini sungguh dahsyat karena berdampak
selain kelumpuhan menyeluruh bagi negara bangsa, juga membutuhkan biaya tinggi
dan perlu waktu yang relatif lama untuk proses recovery (pemulihan kembali)-nya
kelak.
Sifat dan Bentuk Perang Nirmiliter
Sifat perang ini adalah antikekerasan (non violence). Namun
kredo ini bukanlah harga mati, sebab bisa saja terjadi kekerasan dalam
prosesnya sebagaimana pernah dilakukan pengunjuk rasa di awal-awal konflik
Syria dulu, dimana massa sudah menggunakan senjata bahkan telah berani
menyerang instalasi militer. Kendati konflik Syria kini berubah menjadi hybrid
war bukan lagi asymmetric warfare, perlu dipahami dibersama, bahwa kredo awal
antikekerasan dalam perang nirmiliter ini bermakna tanpa bunyi peluru, atau
tidak ada asap mesiu dalam pergerakannya. Ia lebih mengandalkan taktik dan
strategi (smart power) dalam hal ini adalah pengerahan massa, “dukungan
publik,” terutama penciptaan (rekayasa) opini melalui media-media baik media
cetak, eletronik, online maupun media sosial, dan lain-lain.
Ada dua bentuk atau model dalam peperangan asimetris.
Pertama, melalui aksi massa di jalanan dalam rangka menekan target sasaran;
kedua, melalui meja para elit politik dan pengambil kebijakan negara agar
setiap kebijakan yang diterbitkan selaras, sejalan, dan senantiasa pro asing
guna meraih tiga hal sesuai definisi perang asimetris versi GFI, Jakarta,
yaitu:
(1) belokkan sistem sebuah negara sesuai kepentingan
kolonialisme, (2) lemahkan ideologi serta ubah pola pikir rakyatnya, dan (3)
hancurkan ketahanan pangan dan energy security [jaminan pasokan energinya],
selanjutnya ciptakan ketergantungan negara target atas kedua hal tersebut [food
and energy security].
Arab Spring misalnya, adalah contoh riil perang asimetris
yang digelar oleh Barat (Amerika dan sekutu) bermodel ‘gerakan massa’ guna
menurunkan rezim dan elit penguasa di Jalur Sutera, dan targetnya? Ben Ali di
Tunisia pun jatuh, Ali Abdullah Saleh di Yaman terbirit-birit, Hosni Mubarak
tumbang di Mesir, dan lain-lain. Kendati aksi massa tersebut adalah langkah
kedua, setelah ---langkah pertama--- ditabur terlebih dulu stigma tentang
kemiskinan, korupsi, pemimpin tirani, dsb sebagai isue gerakan. Selanjutnya
untuk tahapan Arab Spring nanti diulas lebih dalam pada sub bahasan tersendiri.
Termasuk dalam hal ini adalah “Gerakan Mei 1998” merupakan ujud peperangan nirmiliter di
Indonesia via aksi massa. Ia bukanlah murni gerakan moral mahasiswa turun di
jalanan, kenapa? Betapa aksi tersebut sudah ditumpangi oleh berbagai
kepentingan baik internal dan eksternal, terutama kepentingan (kolonialisme)
asing guna menjatuhkan rezim Orde Baru. Bahkan Karen Brooks, penulis Amerika
mengisyaratkan, sesungguhnya Arab Spring itu meniru aksi massa pada Mei 1998 di
Jakarta yang bertajuk gerakan reformasi. Itulah jenis dan contoh pertama
peperangan asimetris bermodus: “Aksi Massa Jalanan”.
Adapun bentuk kedua perang nirmiliter adalah: “Melalui
Kebijakan Negara”. Tak boleh dielak siapapun, bahwa di sebuah negara koloni
niscaya ditaruh pion-pion kolonialisme (asing) di tempat dan/atau
jabatan-jabatan strategis dalam negara/pemerintah, atau dibentuk Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) tertentu (atas inisiasi asing), lalu di-‘pahlawan’-kan
ke publik sebagai LSM kredibel, sosok yang mewakili aspirasi rakyat, dsb.
Pemakaian istilah “LSM tertentu” pada catatan ini, sebenarnya ingin berpesan
kepada pembaca bahwa tidak semua LSM pasti terlibat dalam asymmetric warfare
yang di gelar oleh asing. Tak sedikit LSM dan tokohnya yang pro rakyat dan
bernafaskan nasionalisme.
Beredar sinyalir di lingkungan global review dan para
penggiat geopolitik, bahwa terdapat kementerian, atau institusi negara tertentu
dianggap sebagai “peternakan asing.” Artinya, bahwa sosok yang duduk (dan
menjabat) disana merupakan ‘titipan kolonialisme’ agar setiap terbit kebijakan
strategis supaya selalu dan selalu pro asing. Dalam sub bahasan ini, memang
tidak perlu ditunjuk kementrian mana dan institusi apa, atau siapa orangnya,
namun hal ini sudah dapat dicermati serta dimaklumi bersama melalui berbagai
program, statement, bahkan kebijakan-kebijakannya, kenapa? Karena perilaku
(kebijakan) apapun merupakan cermin dari motivasi (tujuan tersembunyi)-nya!
Pola Perang Asimetris
Bahwa antara perang konvensional yang mengerahkan kekuatan
militer secara terbuka dengan peperangan asimetris yang cenderung non militer
(dan non kekerasan) --- sejatinya mereka itu serupa tetapi tidak sama. Serupa
pada “pola”-nya, tak sama atau berbeda dalam hal “sifat dan aksi-aksi”-nya.
Pola perang konvensional mungkin telah baku di dunia
militer. Tahap pertama: “Bombardir,” entah bombardir melalui pesawat tempur,
atau pasukan arteleri (udara) jarak jauh, dsb; tahap kedua: “Masuknya pasukan
kavaleri” berupa tank-tank, atau kendaraan lapis baja lain; dan tahap ketiga:
“Pendudukan oleh infanteri.” Inilah pola lazim dan garis besar perang militer
secara terbuka. Adapun taktis dan maksud tahapan di atas tak akan diurai
detail, bukan apa --- tidak ada niatan menggurui siapapun terutama para ahli
dan pihak-pihak berkompeten dalam bidangnya melainkan sharing pemahaman terkait
“pola perang” yang nanti dibahas lebih lanjut karena pola tersebut ternyata memiliki
“ruh” yang sama, walau ujud atau aksi berbeda.
Bombardir di awal perang konvensional contohnya, pada
peperangan asimetris ternyata juga diawali dengan “bombardir,” namun ujudnya
berupa isue-isue yang ditebarkan oleh pihak-pihak terkait dan kelompok yang
terlibat (LSM dan/atau sosok tertentu). Dalam “Aksi Mei 1998” misalnya, isue
yang disebar ke tengah-tengah publik dalam rangka menggiring opini adalah
maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tampaknya demikian pula dengan
Arab Spring di Jalur Sutera, isuenya hampir tidak jauh berbeda dengan peristiwa
di Jakarta karena berkisar tentang kemiskinan, korupsi, demokrasi, pemimpin
tirani, dan lain-lain. Itulah ISUE selaku bahan baku dan/atau taburan awal
sebuah asymmetric warfare melalui aksi-aksi massa.
Sedang “Masuknya Kavaleri” sebagaimana tahapan perang
militer di muka, dalam perang asimetris disebut TEMA atau AGENDA. Sekali lagi,
Arab Spring contohnya, “tema”-nya adalah gerakan massa guna menurunkan rezim
penguasa setelah sebelumnya dibombardir via isue-isue. Demikian juga dengan
tema atau agenda aksi massa di Jakarta pada Mei 1998 dulu, kendati kejatuhan
elit penguasa sesungguhnya hanya pintu pembuka dalam rangka melebarkan kolonialisme secara lebih luas,
masif dan sistematis. Itulah sekilas tentang TEMA dalam perang non militer.
Tahap akhir dalam pola perang militer adalah “Masuknya
Infanteri” guna menduduki wilayah target. Maka analog pola ini dalam perang
nirmiliter adalah “mengendalikan sistem ekonomi dan kontrol SDA di negara
target.” Itulah SKEMA penjajahan di muka bumi sebagaimana doktrin kolonialisme
yang dihembuskan Henry Kissinger di muka.
Dengan demikian, pola-polanya terlihat sama baik pada perang
konvensional maupun perang nirmiliter, hanya aksi-aksinya berbeda. Apabila
peperangan militer tahapannya: “Bombardir” --- “Masuknya Kavaleri” ---
“Pendudukan oleh Infanteri,” sedangkan pola peperangan nirmiliter tahapannya
ialah: “Isue” --- “Tema” --- “Skema.” Sekali lagi, keduanya sebenarnya serupa
tetapi tak sama, berbeda-beda tetaplah (tujuan) sama.
Pola lain yang layak dicermti dalam asymmetric warfare
adalah modus proxy (boneka, atau perwalian/pengganti). Dengan kata lain, pada
penyebaran “isue” misalnya, ia memiliki person, LSM. atau lembaga tersendiri,
dll yang “digaji” karena perannya sebagai pengganti atau ‘boneka’. Demikian
pula dalam upaya penggebyaran “tema” --- kaum peremot perang juga memiliki
orang-orang, atau LSM, punya media massa, media sosial, situs-situs khusus, dan
lainnya. Dan uniknya, bahwa antara komprador di tahapan isue dan boneka di
tahapan tema, kerapkali tidak saling mengenal.
Sedangkan untuk memuluskan “skema” sebagai tahapan akhir
dari pola perang nirmiliter, lazimnya dipasang orang, atau kelompok yang
bermain pada tataran kebijakan negara cq rezim berkuasa. Artinya, ia, mereka
atau kaum pengkhianat bangsa tersebut bisa selaku staf ahli, atau bahkan justru
sebagai pejabatnya sendiri, dan lain-lain. Inilah yang disebut oleh Bung Karno
sebagai kaum komprador, yaitu orang atau kelompok yang justru akan menghancurkan
bangsa dan negaranya sendiri dengan berbagai alasan dan pembenaran.
Sumber Peperangan Asimetris
Di atas telah diurai walau sekilas tentang sifat, model atau
bentuk, dan pola pada peperangan asimetris mulai dari isue, tema dan skema
(ITS), maka ujung catatan sederhana ini membahas “sumber” dari peperangan
nirmiliter yang kini menjadi metode favorit kolonialisme.
Konflik, atau perang model apapun --- baik intrastate maupun
interstate, dan entah perang konvensional, hybrid war, proxy war, bahkan perang
asimetris itu sendiri, hanyalah TEMA. Sekali lagi, perang dan konflik dalam
skala besar cuma sebuah tema belaka, kenapa begitu? Karena skema (tujuan)
kolonialisme yang sesungguhnya dan bersifat lestari ialah kontrol ekonomi dan
pencaplokan SDA di wilayah koloni. Menurut Dirgo D Purbo, ahli geopolitik
Indonesia, “Conflict is the protection oi fow and blocade somebody else oil
flow”.
Dengan demikian, melacak sumber sebuah tema ---perang
asimetris contohnya--- harus ditelusuri dulu baik asal-usul kolonialisme,
ideologi dasar, maupun watak pergerakan.
Tak boleh dipungkiri, bahwa perilaku geopolitik para adidaya
di era imperialisme, tak lain karena dipicu oleh Revolusi Industri (1750-1850)
sebagai motifnya. Bila membahas motivasi, memang ia dianggap sebagai rujukan
pokok sebuah ‘perilaku’ apapun, kapanpun dan dimanapun. Revolusi Industri
melanda belahan dunia Barat diawali dari Inggris, kemudian menyebar ke Eropa
Barat, Amerika Utara, Jepang, dan akhirnya merambah hampir ke seluruh dunia.
Dan sebagai konsekuensi logis industrialisasi tadi, akhirnya
menjadi faktor utama dari negara - negara Barat meluaskan “kepentingan
nasional” (motivasi) yang mutlak harus dipenuhi agar sektor-sektor industrinya
terus berjalan. Inilah titik mula imperialisme dan/atau kolonialisme di muka
bumi, kenapa demikian? Betapa industrialisasi ---ketika itu, bahkan hingga
kini--- telah dianggap semacam ‘peradaban baru’ menggantikan peradaban (cocok
tanam) sebelumnya. Sementara imperialisme itu sendiri dapat diartikan sebagai
kebijakan perluasan kekuasaan atau otoritas suatu imperium terhadap
bangsa-bangsa atau negara-negara lain dalam rangka meraih wilayah koloni demi
memenuhi kepentingan nasional. Dan tak boleh dielak, bahwa imperialisme adalah
benih serta varian awal daripada mekanisme kolonialisme di dunia.
Demikian juga dengan kapitalisme sebagai ideologi, maka
menyingkat sub bahasan ini dapat dijelaskan, bahwa ekonomi neoliberalisme
(neolib) adalah varian terbaru kapitalisme dimana watak dasar kapitalisme
adalah: (1) mencari bahan baku semurah-murahnya; dan (2) mengurai/menciptakan
pasar seluas-luasnya. Maka pantas saja bila penjajahan dianggap metode bakunya!
Dari hal di atas maka singkatnya, secara tersirat bahwa
model ekonomi neolib merupakan bibit atau benih-benih asymmetric warfare.
Inilah model kedua (“Melalui Kebijakan Negara”) daripada perang asimetris
sebagaimana diulas di atas, selain ‘Gerakan Massa” sebagai model pertamanya.
Selanjutnya, menurut Giersch (1961), neolib adalah sebuah
sistem perekonomian yang dibangun atas tiga prinsip, antar lain adalah: (1)
tujuan utama ekonomi liberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk
bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap
faktor-faktor produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu
yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara
melalui penertiban undang-undang.
Merujuk tiga prinsip Giersch di atas, bahwa peran negara
dalam neolib dibatasi hanya pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar.
Akan tetapi dalam perkembangannya ---sesuai paket Konsensus Washington--- maka
peran negara ditekankan kepada empat hal, antara lain: (1) pelaksanaan
kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor
keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN
(Stiglitz, 2002).
Tak boleh dielak, bahwa muara dari prinsip-prinsip ekonomi
neolib dan Konsensus Washington sesuai penjelasan Giersch dan Stiglitz di atas,
tak lain dan tak bukan adalah Structural Adjusment Progammes (SAPs)-nya
International Moneter Fund (IMF) dimana butiran-butirannya sebagai berikut: (1)
perluas kran impor dan adanya aliran uang yang bebas; (2) devaluasi; (3)
kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembebasan tarif kredit, peningkatan
suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga
kebutuhan publik.
Dari diskusi singkat di atas, bahwa varian terbaru ekonomi
neolib kini ada (being), nyata (reality), dan berada (existence) dalam SAPs-nya
IMF. Dan sudah barang tentu, ia merupakan instrumen sakti bagi IMF untuk
mengendalikan negara-negara kreditur. Inilah SUMBER dari segala sumber
asymmetric warfare melalui pintu “Kebijakan Negara.” Itulah bentuk atau model
kedua perang asimetris ---selain model pertama ialah gerakan massa---
sebagaimana diulas di muka.
Contoh kasus. “Marak”-nya flu burung misalnya, pada perang
nirmiliter hanyalah sekedar ISUE permulaan, karena TEMA yang akan diangkat
kemudian ialah daging langka/mahal, sedang SKEMA-nya adalah memperluas impor
daging sebagaimana butiran SAPs-nya IMF. Atau, isue beras langka, atau beras
mahal pun demikian --- itu cuma tebaran isue karena niscaya akan disusul dengan
agenda/tema untuk memperluas impor. Dalam konteks ini, perluasan impor boleh
jadi cuma sekedar tema, namun bisa merupakan skema gerakan. Tergantung keadaan.
Artinya, jika perspektif asimetris memandang perluasan impor hanya sekedar
tema, maka skema yang akan dijalankan atau ditancapkan ialah ekspansi
korporasi-korporasi pangan milik asing guna menguasai kantong-kantong logistik
di sebuah negara (baca: Siaran Pers Global Future Instiute (GFI) Daulat Pangan dalam
Bahaya).
Demikian adanya, terimakasih
Mengenal Perang Asimetris: Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernya
(2)
Penulis : M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik
dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Sifat dan Bentuk Perang Nirmiliter
Sifat perang ini adalah antikekerasan (non violence). Namun
kredo ini bukanlah harga mati, sebab bisa saja terjadi kekerasan dalam
prosesnya sebagaimana pernah dilakukan pengunjuk rasa di awal-awal konflik
Syria dulu, dimana massa sudah menggunakan senjata bahkan telah berani
menyerang instalasi militer. Kendati akhirnya konflik Syria berubah menjadi
hybrid war bukan lagi asymmetric warfare, perlu dipahami dibersama, bahwa kredo
awal antikekerasan dalam perang nirmiliter maksudnya tanpa ada bunyi peluru,
atau tidak ada asap mesiu pada proses pergerakannya. Ia lebih mengandalkan
taktik dan strategi (smart power) dalam hal ini adalah pengerahan massa,
“dukungan publik,” terutama penciptaan (rekayasa) opini melalui media-media
baik media cetak, eletronik, online maupun media sosial, dan lain-lain.
Ada dua bentuk atau model dalam peperangan asimetris.
Pertama, melalui aksi massa di jalanan dalam rangka menekan target sasaran;
kedua, melalui meja para elit politik dan pengambil kebijakan negara agar
setiap kebijakan yang diterbitkan sejalan, selaras, dan senantiasa pro asing
guna meraih tiga hal sesuai definisi perang asimetris versi GFI, Jakarta,
yaitu:
(1) belokkan sistem sebuah negara sesuai kepentingan
kolonialisme, (2) lemahkan ideologi serta ubah pola pikir rakyatnya, dan (3)
hancurkan ketahanan pangan dan energy security [jaminan pasokan energinya],
selanjutnya ciptakan ketergantungan negara target atas kedua hal tersebut [food
and energy security].
Arab Spring misalnya, adalah contoh riil perang asimetris
yang digelar oleh Barat (Amerika dan sekutu) bermodel ‘gerakan massa’ dalam
rangka menurunkan rezim dan elit penguasa di Jalur Sutera. Hasilnya? Ben Ali di
Tunisia pun jatuh, Ali Abdullah Saleh di Yaman terbirit-birit, Hosni Mubarak di
Mesir tumbang, dan lain-lain. Kendati aksi massa dimaksud merupakan langkah
kedua, setelah ---langkah pertama--- ditabur terlebih dulu stigma tentang
kemiskinan, korupsi, pemimpin tirani, dsb sebagai isue gerakan. Selanjutnya
untuk tahapan Arab Spring nanti diulas lebih dalam pada sub bahasan tersendiri.
Termasuk dalam hal ini adalah “Gerakan Mei 1998” merupakan ujud peperangan nirmiliter di
Indonesia via aksi massa. Ia bukanlah murni gerakan moral mahasiswa turun di
jalanan, kenapa? Betapa aksi tersebut sudah ditumpangi oleh berbagai
kepentingan baik internal dan eksternal, terutama kepentingan (kolonialisme)
asing guna menjatuhkan rezim Orde Baru. Bahkan Karen Brooks, penulis Amerika
mengisyaratkan, sesungguhnya Arab Spring itu meniru aksi massa pada Mei 1998 di
Jakarta yang bertajuk gerakan reformasi. Itulah jenis dan contoh pertama
peperangan asimetris bermodus: “Aksi Massa Jalanan”.
Adapun bentuk kedua perang nirmiliter adalah: “Melalui
Kebijakan Negara”. Tak boleh dielak siapapun, bahwa di sebuah negara koloni
niscaya ditaruh pion-pion kolonialisme (asing) di tempat dan/atau
jabatan-jabatan strategis dalam negara/pemerintah, ataupun dibentuk Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) tertentu (atas inisiasi asing), lalu di-‘pahlawan’-kan
ke publik sebagai LSM kredibel mewakili aspirasi rakyat. Pemakaian istilah “LSM
tertentu” dalam catatan ini, sebenarnya ingin berpesan kepada pembaca bahwa tidak
semua LSM terlibat dalam asymmetric warfare yang di gelar oleh asing. Masih
banyak LSM yang benar-benar pro rakyat dan bernafaskan nasionalisme.
Beredar sinyalir di kalangan global review dan para penggiat
geopolitik, bahwa terdapat kementerian, atau institusi negara tertentu dinilai
sebagai “peternakan asing.” Artinya, bahwa sosok yang duduk (dan menjabat)
disana merupakan ‘titipan kolonialisme’ untuk setiap terbit kebijakan strategis
agar selalu serta senantiasa pro asing. Dalam sub bahasan ini, memang tidak
perlu ditunjuk kementrian mana dan institusi apa, atau siapa orangnya, namun
hal ini sudah dapat dicermati serta dimaklumi bersama melalui berbagai program,
statement, bahkan kebijakan-kebijakannya, kenapa? Perilaku (kebijakan) jelas
merupakan cermin dari motivasi (tujuan tersembunyi)-nya!
Pola Perang Asimetris
Bahwa antara perang konvesional yang mengerahkan kekuatan
militer secara terbuka dengan peperangan asimetris yang cenderung non militer
(dan non kekerasan) --- sejatinya mereka itu serupa tetapi tidak sama. Serupa
pada “pola”-nya, tak sama atau berbeda dalam hal “sifat dan aksi-aksi”-nya.
Pola perang konvensional mungkin telah baku di dunia
militer. Tahap pertama: “Bombardir,” entah bombardir melalui pesawat tempur,
atau pasukan arteleri (udara) jarak jauh, dsb; Tahap kedua: “Masuknya pasukan
kavaleri” berupa tank-tank, atau kendaraan lapis baja lain; dan tahap ketiga:
“Pendudukan oleh infanteri.” Inilah pola lazim dan garis besar pada perang
militer secara terbuka. Adapun taktis dan maksud tahapan di atas tak akan
diurai detail, bukan apa --- tidak ada niatan menggurui siapapun terutama para
ahli dan pihak-pihak berkompeten dalam bidangnya melainkan sharing pemahaman
terkait “pola perang” yang nanti dibahas lebih lanjut karena pola tersebut
ternyata memiliki “ruh” yang sama, walau ujud atau aksinya berbeda.
Bombardir di awal perang konvensional contohnya, pada
peperangan asimetris ternyata juga diawali dengan “bombardir,” namun berupa
isue-isue yang ditebarkan oleh pihak-pihak terkait dan terlibat (LSM dan/atau
sosok tertentu). Dalam “Aksi Mei 1998” misalnya, isue yang disebar ke
tengah-tengah masyarakat dalam rangka menggiring opini publik adalah korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Tampaknya demikian pula dengan Arab Spring di Jalur
Sutera, isuenya hampir tidak berbeda dengan kejadian di Jakarta karena berkisar
tentang kemiskinan, korupsi, demokrasi, pemimpin tirani, dan lain-lain. Itulah
ISUE selaku bahan baku dan/atau taburan awal sebuah asymmetric warfare melalui
aksi massa.
Sedang “Masuknya Kavaleri” sebagaimana tahapan perang
militer di muka, dalam perang asimetris disebut TEMA atau AGENDA. Sekali lagi,
Arab Spring contohnya, “tema”-nya ialah gerakan massa guna menurunkan rezim
penguasa setelah sebelumnya dibombardir oleh isue-isue. Demikian juga dengan
tema atau agenda aksi massa di Jakarta pada Mei 1998 dahulu, kendati kejatuhan
elit penguasa sesungguhnya hanya pintu pembuka untuk kolonialisme yang lebih
luas, masif dan sistematis. Itulah sekilas tentang TEMA dalam perang non militer.
Tahap akhir dalam pola perang militer adalah “Masuknya
Infanteri” guna menduduki wilayah target. Maka analog pola ini dalam perang
nirmiliter adalah kendali sistem ekonomi dan kontrol SDA di negara target.
Itulah SKEMA penjajahan di muka bumi sebagaimana doktrin kolonialisme yang
dihembuskan oleh Henry Kissinger di muka.
Dengan demikian, pola-pola yang sama baik pada perang
konvensional maupun perang nirmiliter namun aksi-aksinya berbeda. Bila
peperangan militer tahapannya: “Bombardir” --- “Masuknya Kavaleri” ---
“Pendudukan oleh Infanteri,” sedang pola peperangan non militer tahapannya
ialah: “Isue” --- “Tema” --- “Skema.” Sekali lagi, keduanya sebenarnya serupa
tetapi tak sama, berbeda-beda tetaplah (tujuan) sama.
Pola lain yang layak dicermti pada asymmetric warfare adalah
modus proxy (boneka, atau perwalian/pengganti). Dengan kata lain, pada
penyebaran “isue” misalnya, ia memiliki person, LSM. atau lembaga tersendiri,
dst yang “digaji” karena perannya sebagai pengganti atau ‘boneka’. Demikian pula
dalam upaya penggebyaran “tema” --- kaum peremot perang semacam ini juga
memiliki orang-orang, atau LSM, punya media massa, media sosial, situs-situs
khusus, dan lainnya. Dan uniknya, antara komprador di tahapan isue dan boneka
di tahapan tema kerapkali tidak saling mengenal antara satu dengan
lainnya.
Sedangkan untuk memuluskan “skema” sebagai tahapan akhir
dari pola perang nirmiliter, lazimnya dipasang orang, atau kelompok yang
bermain pada tataran kebijakan negara cq rezim kala itu. Artinya ia atau mereka
bisa jadi selaku staf ahli, bahkan sebagai pejabatnya sendiri, dan lain-lain.
Inilah yang disebut oleh Bung Karno sebagai kaum komprador, yaitu orang atau
kelompok yang justru akan menghancurkan bangsa dan negaranya sendiri dengan
berbagai alasan dan pembenaran.
Mengenal Perang Asimetris: Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernya
(3/Habis)
Penulis : M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik
dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Sumber Peperangan Asimetris
Di atas telah diurai walau sekilas tentang sifat, model atau
bentuk, dan pola pada peperangan asimetris mulai dari isue, tema dan skema
(ITS), maka ujung catatan sederhana ini membahas “sumber” dari peperangan
nirmiliter yang kini menjadi metode favorit kolonialisme.
Konflik, atau perang model apapun --- baik intrastate
(konflik internal, atau konflik vertikal, horizontal, dsb) maupun interstate
(perang antarnegara), dan entah ia perang konvensional, atau hybrid war, proxy
war, dsb bahkan perang asimetris itu sendiri, hanyalah TEMA. Sekali lagi,
perang dan konflik dalam skala besar cuma sebuah tema belaka, kenapa begitu? Karena
skema (tujuan) kolonialisme yang sesungguhnya dan bersifat lestari ialah
kontrol ekonomi dan pencaplokan SDA di wilayah koloni. Menurut Dirgo D Purbo,
ahli geopolitik Indonesia, “Conflict is the protection oi flow and blockade
somebody else oil flow”.
Dengan demikian, melacak sumber dari sebuah tema ---perang
asimetris contohnya--- harus ditelusuri dulu baik asal-usul kolonialisme,
ideologi dasar, maupun watak pergerakan. Tak boleh dipungkiri, bahwa perilaku
geopolitik para adidaya di era imperialisme, tak lain karena dipicu oleh
Revolusi Industri (1750-1850) sebagai motifnya. Bila membahas motivasi, memang
ia dianggap sebagai rujukan pokok sebuah ‘perilaku’ apapun, kapanpun dan dimana
pun berada. Revolusi Industri melanda belahan Dunia Barat diawali dari Inggris,
kemudian menyebar ke Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, dan akhirnya merambah
hampir ke seluruh dunia.
Dan sebagai konsekuensi logis industrialisasi tadi, akhirnya
menjadi faktor utama dari negara - negara Barat meluaskan “kepentingan nasional”
(motivasi) yang mutlak harus dipenuhi agar sektor-sektor industrinya terus
berjalan. Inilah titik mula imperialisme dan/atau kolonialisme di muka bumi,
mengapa demikian? Betapa industrialisasi ---ketika itu, bahkan hingga
kini---telah dianggap semacam ‘peradaban baru’ --- menggantikan peradaban
(cocok tanam) sebelumnya. Sementara imperialisme itu sendiri dapat diartikan
sebagai kebijakan perluasan kekuasaan atau otoritas suatu imperium terhadap
bangsa-bangsa atau negara-negara lain dalam rangka meraih wilayah koloni demi
memenuhi kepentingan nasional. Dan tak boleh dielak, bahwa imperialisme adalah
benih serta varian awal daripada mekanisme kolonialisme di dunia.
Demikian juga dengan kapitalisme sebagai ideologi, maka
menyingkat sub bahasan ini dapat dijelaskan, bahwa ekonomi neoliberalisme
(neolib) adalah varian terbaru kapitalisme dimana watak dasar kapitalisme
adalah: (1) mencari bahan baku semurah-murahnya; dan (2) mengurai/menciptakan
pasar seluas-luasnya. Maka pantas saja bila penjajahan merupakan metode
bakunya!
Dari hal di atas maka singkatnya, secara tersirat bahwa
model ekonomi neolib merupakan bibit atau benih-benih daripada asymmetric
warfare. Inilah model kedua dari perang asimetris sebagaimana diulas di atas,
selain ‘Gerakan Massa” sebagai model pertamanya.
Selanjutnya, menurut Giersch (1961), neolib adalah sebuah
sistem perekonomian yang dibangun atas tiga prinsip, antar lain adalah: (1)
tujuan utama ekonomi liberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk
bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap
faktor-faktor produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu
yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara
melalui penertiban undang-undang.
Merujuk tiga prinsip Giersch di atas, bahwa peran negara
dalam neolib dibatasi hanya pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar.
Akan tetapi dalam perkembangannya ---sesuai paket Konsensus Washington--- maka
peran negara ditekankan kepada empat hal, antara lain: (1) pelaksanaan
kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor
keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN
(Stiglitz, 2002).
Tak boleh dipungkiri, bahwa muara dari prinsip-prinsip
ekonomi neolib dan Konsensus Washington sesuai penjelasan Giersch dan Stiglitz
di atas, tidak lain dan tak bukan adalah Structural Adjusment Progammes
(SAPs)-nya International Moneter Fund (IMF) dimana butiran-butirannya sebagai
berikut: (1) perluas kran impor dan adanya aliran uang yang bebas; (2)
devaluasi; (3) kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembebasan tarif
kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak,
kenaikan harga kebutuhan publik.
Dari diskusi singkat di atas, tak boleh dipungkiri, bahwa
varian terbaru ekonomi neolib kini ada, riil, dan berada (existence) pada
SAPs-nya IMF, dan ia merupakan instrumen bagi IMF untuk mengendalikan negara
kreditur, serta tak boleh dielak inilah SUMBER dari asymmetric warfare melalui
pintu “Kebijakan Negara.” Itulah bentuk atau model kedua perang asimetris
---selain model pertamanya ialah gerakan massa--- sebagaimana diulas di muka.
Contoh kasus. “Marak”-nya flu burung misalnya, pada perang
nirmiliter hanyalah sekedar ISUE permulaan, karena TEMA yang akan diangkat
kemudian ialah daging langka/mahal, sedang SKEMA-nya adalah memperluas impor
daging sebagaimana butiran SAPs-nya IMF. Atau, isue beras langka, atau beras
mahal pun demikian --- itu cuma tebaran isue karena niscaya akan disusul dengan
agenda/tema untuk memperluas impor. Dalam konteks ini, perluasan impor bisa
jadi cuma sekedar tema, namun boleh jadi merupakan skema gerakan. Tergantung
keadaan. Artinya, jika perspektif asimetris memandang perluasan impor hanya
sekedar tema, maka skema yang akan dijalankan atau ditancapkan ialah ekspansi
korporasi-korporasi pangan milik asing guna menguasai kantong-kantong logistik
di sebuah negara (baca: Siaran Pers Global Future Instiute (GFI) Daulat Pangan
dalam Bahaya).
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar