NICOLLO MACHIAVELLI (1469-1527):
SEBUAH GAMBARAN PEMIKIRAN
Oleh Nurjaman*
ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang pemikiran Nicollo Machiavelli. Seorang pria kelahiran Florence[1] yang hasil pemikirannya dipercaya sering dipakai oleh para politikus masa kini. Dia meyakini bahwa rezim-rezim masuk ke dalam dua tipe, yaitu kepangeranan dan republik. Dalam buku The Prince -karyanya yang paling monumental- dia menasihatkan bagaimana kekuasaan itu diraih dan bagaimana kekuasaan itu di pertahankan. Dikutuk banyak orang selaku intelektual tak bermoral, dipuja oleh lainnya selaku realis tulen yang berani memaparkan keadaan dunia apa adanya, Machiavelli salah satu dari sedikit penulis yang hasil karyanya begitu dekat dengan studi baik dalam filsafat maupun politik.
Siapakah Machiavelli Itu?
Nicollo Machiavelli lahir pada 3 Mei 1469. Dia anak kedua dari Bernardo di Nicolo Machiavelli, seorang pengacara yang mempunyai reputasi tinggi. Bernardo menginginkan anaknya kelak menjadi orang yang terkemuka. Dalam mewujudkan cita-citanya itu, Bernardo mendidik anaknya agar mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan. Pada usia 6 tahun Machiavelli telah mempelajari bahasa Latin dan pada usia 12 tahun telah mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dari Paulo Ronsiglione dengan menggunakan bahasa Latin berhubungan dengan pemikiran Humanisme[2]
Selama masa hidup Machiavelli –pada saat puncak-puncaknya Renaissance Italia– Italia terbagi-bagi dalam negara-negara kecil, berbeda dengan negeri yang bersatu seperti Perancis, Spanyol atau Inggris.[3] Karena itu tidaklah mengherankan bahwa dalam masanya Italia lemah secara militer padahal brilian di segi kultur. Hal ini didukung oleh Sartono Kartodirdjo (1990), dia menyatakan bahwa nampaknya pada abad ke 15-16 Italia sedang dilanda oleh gerakanRenaissance. Hasil-hasil pemikiran dan peradaban Yunani-Romawi kuno digali kembali dan dikembangkan sebagai alternatif dalam menghadapi dominasi pemikiran Gereja yang ortodoks, dogmatis, dan otoriter. Florence, kota di Italia tempat Machiavelli dilahirkan, pun merupakan salah satu pusat dari gerakanRenaissance pada waktu itu.[4]
Di kala Machiavelli muda, Florence diperintah oleh keluarga Medici (ketika itu Lorenzo yang menjadi raja) dengan corak pemerintahan yang dijalankan dengan tangan besi dan tak ada yang berani menentangnya, namun demikian italia berada pada sebuah Negara yang kuat dengan peradaban yang urban dan sekuler.[5] Tetapi Lorenzo meninggal dunia tahun 1492, dan beberapa tahun kemudian penguasa Medici diusir dari Florence; Florence menjadi Republik (Republik Florentine) dan tahun 1498, Machiavelli yang berumur dua puluh sembilan tahun peroleh kedudukan tinggi di pemerintahan sipil Florence. Selama empat belas tahun sesudah itu dia mengabdi kepada Republik Florentine dan terlibat dalam pelbagai misi diplomatik atas namanya, melakukan perjalanan ke Perancis, Jerman, dan di dalam negeri Italia[6].
Pada masa itu, italia setidaknya terbagi atas lima Negara yang lebih besar, kerajaan Napels di sebelah selatan, kepangeranan Milan di barat laut, republik keningratan Venice di timur laut, republic Florence dan Negara Paus di tengah-tengah. Diantara kelima Negara kota itu terjadi saling rebut pengaruh, adanya konflik, dan memanasnya persaingan. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan politik dalam negeri maupun antar Negara-negara tersebut. Mereka saling bersaing dan berperang untuk mendapatkan hegemoni politik dan wilayah geografis yang relatif makmur itu. Keadaan semakin parah karena dalam peperangan, mereka sering kali menggunakan tentara bayaran yang pada gilirannya turut mengundang campur tangan asing dalam kebijakan pemerintahan.[7] Ini juga yang menjadi kritik Machiavelli tentang kesalahan yang dilakukan penguasa dalam memperlakukan tentara bayaran itu.
Tahun 1512, Republik Florentine digulingkan dan penguasa Medici kembali memegang tampuk kekuasaan, Machiavelli dipecat dari posisinya, dan di tahun berikutnya dia ditahan atas tuduhan terlibat dalam komplotan melawan penguasa Medici. Dia disiksa tetapi tetap bertahan menyatakan tidak bersalah dan akhirnya dibebaskan pada tahun itu juga. Sesudah itu dia pensiun dan berdiam di sebuah perkebunan kecil di San Casciano tidak jauh dari Florence.
Selama empat belas tahun sesudah itu, dia menulis beberapa buku, satu diantaranya yang paling masyhur adalah The Prince, (Sang Pangeran) ditulis tahun 1513. Dia meninggal dunia tahun 1527 pada umur lima puluh delapan.
Karya-karya Mavhiavelli
Seperti yang telah dipaparkan di atas, Machiavelli mulai aktif menulis sebagai seorang pemikir ketika jabatan politiknya berakhir. Dia mengekspresaikan apa yang dia lihat, rasakan dan renungkan. Selama 14 tahun, waktu yang cukup lama, dia berhasil menyusun beberapa karya, yakni: sang pangeran (1513), Discorsi (1519), seni perang (1920), sejarah Florence (1525), dan beberapa karya lainnya.
Hanya dengan mengkaji secara hari-hati ketiga buku yang ditulis di awal, orang dapat memahami bagaimana relevansi gagasan-gagasan politik Machiavelli dengan pemikiran militernya, sebuah relevansi yang jarang dipahami oleh kalangan intelektual.[8]
The prince, salah satu karya terpenting Machiavelli terbagi ke dalam dua puluh enam bab. Buku ini berisi tentang persoalan Negara kerajaan dan bagaimana cara menegakkannya, sebab-sebab kerajaan, perebutan wilayah baru dengan senjata, kewajiban raja terhadap angkatan perang, kekuasaaan konstitusional, Negara gereja, bagaiman mengukur kekuaasaan, saran-saran untuk membebaskan italia dan lainnya.
Dalam prawacana buku Machiavelli yang berjudul The art of War, The Prince ini secara kasar terbagi menjadi dua bagian: bagian pertama (bab 1-11), membahas tentang fase konspiratorial. Konspirasi dalam perspektif militer merupakan sebuah hubungan kawan-lawan yang mengambil bentuk militer yang khas dalam perang sipil. Para pemikir politik klasik sendiri tak banya membicarakan tentang konspirasi ini. Bahkan mereka justru mengecam dipraktikannya konspirasi, walaupun Herodotus menggambarkan banyak tentang konspirasi, namun hanya ahli teori kemiliteran sajalah yang berusaha menyistematisasi seni berkonspirasi ini.[9]
Bagian yang kedua (bab 12-26), menekankan pada aspek konter-konspiratorial.[10] Artinya memfokuskan pada pembicaraan mengenai masalah bagaimana memelihara kekuasaan dengan cara mencegah terjadinya konspirasi.
Karya Machiavelli yang lain adalah Discorsi. Karya ini terbagi menjadi tiga buku; Buku Kesatu berisi tentang analisis urusan-urusan dalam negeri bangsa Romawi; Buku Kedua berbicara tentang urusan-urusan militer dan luar negeri; Buku Ketiga menjelaskan tentang sumbangan bagi kebesaran Romawi yang diberikan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan oleh sejumlah warga negaranya yang terkemuka.
Lalu, The Art Of War, karya Machiavelli yang lain lagi menjelaskan bagaimana hubungan antara seni berpolitik dengan seni militer. Karya ini dibagi ke dalam tujuh buku yang kesemuanya berisi tentang tehnik berperang, menghimpun militer yang cakap dan bagaimana membuat pertahanan yang baik. Dari karya ini, Machiavelli mendapatkan reputasi baik khususnya sebagai ahli teori kemiliteran.
Filosofi
Menurut Firdaus Syam (2007) pandangan Filosofi politik Machavelli adalah:
“..nilai-nilai yang tinggi atau yang dianggap tinggi dan penting berhubungan dengan dunia, khususnya menyangkut kemasyhuran, kemegahan serta kekuasaan belaka, karenanya sangan menolak adanya hukum alam yang berlaku secara universal bagi seluruh manusia dan jagat ini..”[11]
Pernyataan di atas mengindikasikan bahwa Machiavelli menolak pandangan tentang hukum umum yang harus sesuai dengan kemegahan, kekusaan dan kemasyhuran sebagai nilai tertinggi. Karena menurutnya kesuksesan seseorang jika harus diraih dengan penipuan, maka hal itu diwajarkan bahkan dibenarkan.
Begitu pula mengenai kedudukan agama, agama diperlukan hanya sebagai alat legitimasi atau alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai ajaran yang ada di dalamnya. Seorang Pangeran harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Oleh karena itu, maka agama diperlukan untuk memperkokoh kekuasaan sang Pangeran.
Bisa kita lihat, agama Romawi kuno. Agama ini mampu mempersatukan Negara, membina loyalitas, kepatuhan dan ketundukan pada otoritas kerajaan Romawi. Dalam konteks sejarah Romawi, agama telah mampu membantu mengendalikan tentara, menumbuhkan semangat rakyat, menghasilkan orang-orang baik dan mempermalukan orang-orang jahat. Inilah salah satu alasan mengapa ritus ibadah semacam ini harus tetap diadakan, karena menurutnya dengan cara ini republik akan terbebas dari kebobrokan.
Dalam hal membuat janji, Machiavelli berpandangan bahwa janji hanya sebatas alat, bukan esensi atau sikap. Perlihatkan kau berpegang teguh pada janjimu itu, meskipun batinmu menolak. Seseorang harus dapat bersikap sebagai seekor Singa, dan di waktu yang lain harus juga dapat bersikap sebagai seekor Kancil. Singa yang begitu gagah dan buas, memilki beberapa kelemahan, yaitu pada penciuman. Hanya kancil yang memilki penciuman yang tajam, dengan kemampuan itu Kancil dapat menghindari perangkap. Nah, di saat seperti itu bertindaklah seperti Kancil. Sebaliknya Kancil tidak memiliki kekuatan atau tenaga yang cukup dalam menghadapi mangsa yang buas seperti Serigala. Dalam keadaan seperti ini maka bertindaklah seperti Singa.[12]
Pandangan di atas memiliki makna filosofis yang dalam dan luas. Terlihat begitu pragmatis, hampir tak punya satu pegangan pun, hanya kepentinganlah yang jadi ukuran dan diutamakan. Nilai-nilai itu sangat relatif bagi sang penguasa, atau dengan kata lain tidak mengikat diri termasuk dalam berjanji.
Politik
Ajaran politik Machiavelli begitu jelas, sederhana, namun begitu dalam. Menurutnya, mereka yang menjadi penguasa dengan cara-cara keji tidak disebut memperoleh kekuasaan atas nasib baik. Penguasa tidak akan dipuja dan dihormati sebagai pahlawan apalagi setelah berkuasa ia menjadikan kekerasan sebagai bagian dari kehidupan politik sehari-hari. Machiavelli berkesimpulan bahwa dengan cara seperti ini akan menjadikan sang penguasa berkuasa, akan tetapi tak menjadikannya terhormat. Ia menyarankan, jika ingin menjalankan kekuasaan seperti binatang, maka lakukanlah sesekali, atau dengan kata lain tidak terus menerus. Tindakan seperti itu harus diimbangi dengan mencari simpati rakyat.[13]
Mengenai hubungan seorang penguasa dan tentara, Machiavelli menjelaskan dengan sangat menarik. Menurutnya seorang penguasa yang baik dan kuat ialah mereka yang mempunyai tentara yang kuat dan uang yang banyak. Seorang penguasa harus mampu membuat system pertahanan yang kuat dan benteng yang kokoh yang kesemuanya itu terdapat dalam koridor dukungan rakyat. Artinya dengan penjelasan singkat ini, akan menuju pada suatu kesimpulan bahwa menurut Machiavelli, penguasa yang kuat adalah yang memiliki tentara yang kuat dan pada saat yang bersamaan juga tetap dicintai oleh rakyatnya.
Machiavelli juga menjelaskan -berdasarkan pengalaman dan pengamatannya pada zamannya- tentang betapa bahayanya apabila seorang penguasa menggunakan jasa tentara bayaran dan atau tentara asing dari negeri lain. Bagi Machiavelli tentara bayaran adalah tentara yang tidak berdisiplin, sulit diatur, ambisius, dan tidak setia. Kesetiaannya tentu sangat bergantung pada basar-kecilnya bayaran yang mereka terima. Oleh karena itu Machiavelli menganjurkan agar sang penguasa tidak menggunakan dan mengandalkan tentara bayaran dalam menjalankan kekuasaannya.[14]
Lebih baik menggunakan militer sendiri dari rakyat sendiri daripada menggunakan tentara bayaran dan atau tentara asing yang kuat namun kesetiaannya tentu masih dipertanyakan. Hal ini jelas ketika ditawari dengan harga yang lebih tinggi oleh musuh, maka tentara ini akan berbalik membahayakan negeri yang dipimpin oleh sang penguasa yang terlanjur menggunakan jasanya.
Kesimpulan
Mavchiavelli lahir seiring dengan kondisi negaranya yang kacau. Italia yang saat itu sedang berkecamuk menjadi pelajaran bagi Machiavelli. Beberpa kali dia menyaksikan setiap episode yang berbeda, antara Negara republic dan Negara absolute. Kehidupan sosio-politiknyalah yang membentuk pemikirannya itu. Seorang pecinta tanah air yang kuat, politikus, dan democrat yang yakin serta penelidik tanpa perasaan dan sinis. Dalam filosofi, ia terlalu praktis untuk menjadi seorang peneliti. Namun, dalam politik ia memilki pengetahuan dan pemahaman yang sangat luas mengenai arah-arah umum perkembangan Eropa saat itu. Yang jelas ia hanya menulis dan berfikir tentang politik, seni memerintah, dan cara-cara berperang terhadap masalah masyarakat secara mendalam.
Referensi
Firdaus Syam, (2007). Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideology dan Pengaruhnya terhadap Dunia Ke-3. Jakarta: Bumi Aksara.
Michael H Hurt, (1982). Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah: Nicollo Machiavelli. Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Didapatkan dari http://www.mediaisnet.org
Andi Suwrta, (2001). Sejarah Intelektual:Sebuah Antologi tentang Pecikan Pemikiran di Dunia Barat dan Islam. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (Diterbitkan untuk keperluan terbatas)
Machiavelli, (2002). The Art Of War. Yogyakarta: Bentang Budaya.
[1] Sekarang Italia.
[2] Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideology dan Pengaruhnya terhadap Dunia Ke-3, Jakarta, Bumi Aksara, 2007, hlm. 106.
[3] Michael H Hurt, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah: Nicollo Machiavelli, 1978, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, Dunia Pustaka Jaya, 1982, Jakarta, didapatkan dari http://www.mediaisnet.org
[4] Andi Suwrta, Sejarah Intelektual:Sebuah Antologi tentang Pecikan Pemikiran di Dunia Barat dan Islam, Bandung, Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia, 2001, hlm. 17 (Diterbitkan untuk keperluan terbatas)
[5] Plamentatz dalam firdaus Syam, hlm 105
[6] ibid
[7] Andi suwirta, hlm. 17-18
[8] Machiavelli, the art of war, Yogyakarta, Bentang Budaya, 2002, prawacana hal. i
[9] Ibid, hlm. Lxxii-lxxiii
[10] ibid
[11] Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat..ibid
[12] Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat..ibid hlm. 108
[13] Ibid hlm. 112-113
[14] Andi suwirta, hlm. 23-25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar