PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Secara etimologis,
psikologi berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa atau nafas hidup, dan
“logos” atau ilmu. Dilihat dari arti kata tersebut seolah-olah psikologi
merupakan ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Jika kita mengacu
pada salah satu syarat ilmu yakni adanya obyek yang dipelajari, maka tidaklah
tepat jika kita mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa atau ilmu yang
mempelajari tentang jiwa, karena jiwa merupakan sesuatu yang bersifat abstrak
dan tidak bisa diamati secara langsung.
Berkenaan dengan
obyek psikologi ini, maka yang paling mungkin untuk diamati dan dikaji adalah
manifestasi dari jiwa itu sendiri yakni dalam bentuk perilaku individu dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, psikologi kiranya dapat
diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu
dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Psikologi terbagi
ke dalam dua bagian yaitu psikologi umum (general phsychology) yang
mengkaji perilaku pada umumnya dan psikologi khusus yang mengkaji perilaku
individu dalam situasi khusus, diantaranya :
- Psikologi Perkembangan; mengkaji perilaku individu yang berada dalam proses perkembangan mulai dari masa konsepsi sampai dengan akhir hayat.
- Psikologi Kepribadian; mengkaji perilaku individu khusus dilihat dari aspek – aspek kepribadiannya.
- Psikologi Klinis; mengkaji perilaku individu untuk keperluan penyembuhan (klinis)
- Psikologi Abnormal; mengkaji perilaku individu yang tergolong abnormal.
- Psikologi Industri; mengkaji perilaku individu dalam kaitannya dengan dunia industri.
- Psikologi Pendidikan; mengkaji perilaku individu dalam situasi pendidikan
Disamping jenis –
jenis psikologi yang disebutkan di atas, masih terdapat berbagai jenis
psikologi lainnya, bahkan sangat mungkin ke depannya akan semakin terus
berkembang, sejalan dengan perkembangan kehidupan yang semakin dinamis dan
kompleks.
Psikologi pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu ilmu karena didalamnya telah memiliki kriteria persyaratan suatu ilmu, yakni :
Psikologi pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu ilmu karena didalamnya telah memiliki kriteria persyaratan suatu ilmu, yakni :
- Ontologis; obyek dari psikologi pendidikan adalah perilaku-perilaku individu yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan pendidikan, seperti peserta didik, pendidik, administrator, orang tua peserta didik dan masyarakat pendidikan.
- Epistemologis; teori-teori, konsep-konsep, prinsip-prinsip dan dalil – dalil psikologi pendidikan dihasilkan berdasarkan upaya sistematis melalui berbagai studi longitudinal maupun studi cross sectional, baik secara pendekatan kualitatif maupun pendekatan kuantitatif.
- Aksiologis; manfaat dari psikologi pendidikan terutama sekali berkenaan dengan pencapaian efisiensi dan efektivitas proses pendidikan.
Dengan demikian,
psikologi pendidikan dapat diartikan sebagai salah satu cabang psikologi yang
secara khusus mengkaji perilaku individu dalam konteks situasi pendidikan
dengan tujuan untuk menemukan berbagai fakta, generalisasi dan teori-teori
psikologi berkaitan dengan pendidikan, yang diperoleh melalui metode ilmiah
tertentu, dalam rangka pencapaian efektivitas proses pendidikan.
Pendidikan memang tidak bisa dilepaskan dari psikologi. Sumbangsih psikologi terhadap pendidikan sangatlah besar. Kegiatan pendidikan, khususnya pada pendidikan formal, seperti pengembangan kurikulum, Proses Belajar Mengajar, sistem evaluasi, dan layanan Bimbingan dan Konseling merupakan beberapa kegiatan utama dalam pendidikan yang di dalamnya tidak bisa dilepaskan dari psikologi.
Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang di dalamnya melibatkan banyak orang, diantaranya peserta didik, pendidik, adminsitrator, masyarakat dan orang tua peserta didik. Oleh karena itu, agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka setiap orang yang terlibat dalam pendidikan tersebut seyogyanya dapat memahami tentang perilaku individu sekaligus dapat menunjukkan perilakunya secara efektif.
Guru dalam menjalankan perannya sebagai pembimbing, pendidik dan pelatih bagi para peserta didiknya, tentunya dituntut memahami tentang berbagai aspek perilaku dirinya maupun perilaku orang-orang yang terkait dengan tugasnya,–terutama perilaku peserta didik dengan segala aspeknya–, sehingga dapat menjalankan tugas dan perannya secara efektif, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi nyata bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.
Di sinilah arti penting Psikologi Pendidikan bagi guru. Penguasaan guru tentang psikologi pendidikan merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai guru, yakni kompetensi pedagogik. Muhibbin Syah (2003) mengatakan bahwa “diantara pengetahuan-pengetahuan yang perlu dikuasai guru dan calon guru adalah pengetahuan psikologi terapan yang erat kaitannya dengan proses belajar mengajar peserta didik”
Pendidikan memang tidak bisa dilepaskan dari psikologi. Sumbangsih psikologi terhadap pendidikan sangatlah besar. Kegiatan pendidikan, khususnya pada pendidikan formal, seperti pengembangan kurikulum, Proses Belajar Mengajar, sistem evaluasi, dan layanan Bimbingan dan Konseling merupakan beberapa kegiatan utama dalam pendidikan yang di dalamnya tidak bisa dilepaskan dari psikologi.
Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang di dalamnya melibatkan banyak orang, diantaranya peserta didik, pendidik, adminsitrator, masyarakat dan orang tua peserta didik. Oleh karena itu, agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka setiap orang yang terlibat dalam pendidikan tersebut seyogyanya dapat memahami tentang perilaku individu sekaligus dapat menunjukkan perilakunya secara efektif.
Guru dalam menjalankan perannya sebagai pembimbing, pendidik dan pelatih bagi para peserta didiknya, tentunya dituntut memahami tentang berbagai aspek perilaku dirinya maupun perilaku orang-orang yang terkait dengan tugasnya,–terutama perilaku peserta didik dengan segala aspeknya–, sehingga dapat menjalankan tugas dan perannya secara efektif, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi nyata bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.
Di sinilah arti penting Psikologi Pendidikan bagi guru. Penguasaan guru tentang psikologi pendidikan merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai guru, yakni kompetensi pedagogik. Muhibbin Syah (2003) mengatakan bahwa “diantara pengetahuan-pengetahuan yang perlu dikuasai guru dan calon guru adalah pengetahuan psikologi terapan yang erat kaitannya dengan proses belajar mengajar peserta didik”
Dengan memahami
psikologi pendidikan, seorang guru melalui pertimbangan - pertimbangan
psikologisnya diharapkan dapat :
1. Merumuskan
tujuan pembelajaran secara tepat.
Dengan memahami
psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru akan dapat lebih tepat dalam
menentukan bentuk perubahan perilaku yang dikehendaki sebagai tujuan
pembelajaran. Misalnya, dengan berusaha mengaplikasikan pemikiran Bloom tentang
taksonomi perilaku individu dan mengaitkannya dengan teori-teori perkembangan
individu.
2. Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai.
Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru dapat menentukan strategi atau metode pembelajaran yang tepat dan sesuai, dan mampu mengaitkannya dengan karakteristik dan keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan tingkat perkembangan yang sedang dialami siswanya.
3. Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling.
2. Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai.
Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru dapat menentukan strategi atau metode pembelajaran yang tepat dan sesuai, dan mampu mengaitkannya dengan karakteristik dan keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan tingkat perkembangan yang sedang dialami siswanya.
3. Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling.
Tugas dan peran
guru, di samping melaksanakan pembelajaran, juga diharapkan dapat membimbing
para siswanya. Dengan memahami psikologi pendidikan, tentunya diharapkan guru
dapat memberikan bantuan psikologis secara tepat dan benar, melalui proses
hubungan interpersonal yang penuh kehangatan dan keakraban.
4. Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik.
Memfasilitasi
artinya berusaha untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki siswa,
seperti bakat, kecerdasan dan minat. Sedangkan memotivasi dapat diartikan
berupaya memberikan dorongan kepada siswa untuk melakukan perbuatan tertentu,
khususnya perbuatan belajar. Tanpa pemahaman psikologi pendidikan yang memadai,
tampaknya guru akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan dirinya sebagai
fasilitator maupun motivator belajar siswanya.
5. Menciptakan iklim belajar yang kondusif.
Efektivitas pembelajaran membutuhkan adanya iklim belajar yang kondusif.
Guru dengan pemahaman psikologi pendidikan yang memadai memungkinkan untuk
dapat menciptakan iklim sosio-emosional yang kondusif di dalam kelas, sehingga
siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan.
6, Berinteraksi secara tepat dengan siswanya.
Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan memungkinkan untuk terwujudnya
interaksi dengan siswa secara lebih bijak, penuh empati dan menjadi sosok yang
menyenangkan di hadapan siswanya.
7. Menilai hasil pembelajaran yang adil.
Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan dapat mambantu guru dalam
mengembangkan penilaian pembelajaran siswa yang lebih adil, baik dalam teknis
penilaian, pemenuhan prinsip-prinsip penilaian maupun menentukan hasil-hasil
penilaian.
PSIKOLOGI
PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Psikologi pendidikan adalah studi yang
sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan.
Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui
tindakan-tindakan belajar (Whiterington, 1982:10). Dari batasan di atas
terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara psikologi pendidikan dengan
tindakan belajar. Karena itu, tidak mengherankan apabila beberapa ahli
psikologi pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama studi psikologi
pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata lain, psikologi pendidikan
memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses dan
faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan belajar.
Karena konsentrasinya pada persoalan
belajar, yakni persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik,
maka konsumen utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik.
Mereka memang dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam
menjalankan fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya
dorong yang besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara
efektif.
B. Mendorong Tindakan Belajar
Pada umumnya orang beranggapan bahwa pendidik adalah sosok yang memiliki
sejumlah besar pengetahuan tertentu, dan berkewajiban menyebarluaskannya kepada
orang lain. Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan sebagai sosok yang
bertugas mengkonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan yang disampaikan
pendidik. Semakin banyak informasi pengetahuan yang mereka serap atau simpan
semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan
yag mereka dapatkan sebagai individu terdidik.
Anggapan-anggapan seperti ini, meskipun
sudah berusia cukup tua, tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi pendidik
menjejalkan informasi pengetahuan sebanyak-banyakya kepada subjek didik dan
fungsi subjek didik menyerap dan mengingat-ingat keseluruhan informasi
itu, semakin tidak relevan lagi mengingat bahwa pengetahuan itu sendiri adalah
sesuatu yang dinamis dan tidak terbatas. Dengan kata lain,
pengetahuan-pengetahuan (yang dalam perasaan dan pikiran manusia dapat
dihimpun) hanya bersifat sementara dan berubah-ubah, tidak mutlak (Goble, 1987
: 46). Gugus pengetahuan yang dikuasai dan disebarluaskan saat ini, secara
relatif, mungkin hanya berfungsi untuk saat ini, dan tidak untuk masa lima
hingga sepuluh tahun ke depan. Karena itu, tidak banyak artinya menjejalkan
informasi pengetahuan kepada subjek didik, apalagi bila hal itu terlepas dari
konteks pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun demikian bukan berarti fungsi
traidisional pendidik untuk menyebarkan informasi pengetahuan harus dipupuskan
sama sekali. Fungsi ini, dalam batas-batas tertentu, perlu dipertahankan,
tetapi harus dikombinasikan dengan fungsi-fungsi sosial yang lebih luas, yakni
membantu subjek didik untuk memadukan informasi-informasi yang terpecah-pecah
dan tersebar ke dalam satu falsafah yang utuh. Dengan kata lain dapat
diungkapkan bahwa menjadi seorang pendidik dewasa ini berarti juga menjadi
“penengah” di dalam perjumpaan antara subjek didik dengan himpunan informasi
faktual yang setiap hari mengepung kehidupan mereka.
Sebagai penengah, pendidik harus
mengetahui dimana letak sumber-sumber informasi pengetahuan tertentu dan
mengatur mekanisme perolehannya apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh subjek
didik.Dengan perolehan informasi pengetahuan tersebut, pendidik membantu subjek
didik untuk mengembangkan kemampuannya mereaksi dunia sekitarnya. Pada momentum
inilah tindakan belajar dalam pengertian yang sesungguhya terjadi, yakni ketika
subjek didik belajar mengkaji kemampuannya secara realistis dan menerapkannya untuk
mencapai kebutuhan-kebutuhannya.
Dari deskripsi di atas terlihat bahwa
indikator dari satu tindakan belajar yang berhasil adalah : bila subjek didik
telah mengembangkan kemampuannya sendiri. Lebih jauh lagi, bila subjek didik
berhasil menemukan dirinya sendiri ; menjadi dirinya sendiri. Faure (1972)
menyebutnya sebagai “learning to be”.
Adalah tugas pendidik untuk menciptakan
kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya tindakan belajar secara efektif.
Kondisi yang kondusif itu tentu lebih dari sekedar memberikan penjelasan
tentang hal-hal yang termuat di dalam buku teks, melainkan mendorong,
memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membantu subjek didik dalam
upaya mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan (Whiteherington, 1982:77).
Inilah fungsi motivator, inspirator dan fasilitator dari seorang pendidik.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar
Agar fungsi pendidik
sebagai motivator, inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan dengan baik,
maka pendidik perlu memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan
hasil belajar subjek didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas dua
bahagian, masing-masing faktor fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud,
1985 :11).
1. Faktor Fisiologis
Faktor-faktor fisiologis ini
mencakup faktor material pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental
dan faktor kondisi individual subjek didik.Material pembelajaran turut
menentukan bagaimana proses dan hasil belajar yang akan dicapai subjek didik.
Karena itu, penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan kesesuaian material
pembelajaran dengan tingkat kemampuan subjek didik ; juga melakukan gradasi
material pembelajaran dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat lebih
kompeks.
Faktor lingkungan, yang
meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian.
Belajar dalam kondisi alam yang segar selalu lebih efektif dari pada
sebaliknya. Demikian pula, belajar padapagi hari selalu memberikan hasil yang
lebih baik dari pada sore hari. Sementara itu, lingkungan sosial yang hiruk
pikuk, terlalu ramai, juga kurang kondisif bagi proses dan pencapaian hasil
belajar yang optimal.
Yang tak kalah pentingnya
untuk dipahami adalah faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong perangkat
keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat
keras seperti perlangkapan belajar, alat praktikum, buku teks dan sebagainya
sangat berperan sebagai sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya, pendidik
harus memahami dan mampu mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini
seoptimal mungkin demi efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar.
Faktor fisiologis lainnya yang berpengaruh
terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi individual subjek didik
sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah kesegaran jasmani dan kesehatan
indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi jasmani yang kurang segar tidak
akan memiliki kesiapan yang memadai untuk memulai tindakan belajar.
2. Faktor Psikologis
Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses dan hasil
belajar
jumlahnya banyak sekali, dan masing-masingnya tidak dapat dibahas secara
terpisah.
Perilaku individu, termasuk perilaku belajar,
merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang lahir sebagai hasil akhir
saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti perhatian, pengamatan, ingatan,
pikiran dan motif.
2.1. Perhatian
Tentulah dapat diterima
bahwa subjek didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar akan
memetik hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya
kesadaran yang menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek didik ini
dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui strategi pembelajaran tertentu,
seperti menyediakan material pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan subjek
didik, menyajikan material pembelajaran dengan teknik-teknik yang bervariasi
dan kreatif, seperti bermain peran (role playing), debat dan sebagainya.
Strategi pemebelajaran seperti ini juga dapat
memancing perhatian yang spontan dari subjek didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan
adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah, yang muncul dari
dorongan-dorongan instingtif untuk mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan
untuk mengetahui apa yang terjadi di sebalik keributan di samping rumah, dan
lain-lain. Beberapa hasil penelitian psikologi menunjukkan bahwa perhatian
spontan cendrung menghasilkan ingatan yang lebih lama dan intensif dari pada
perhatian yang disengaja.
2.2. Pengamatan
Pengamatan adalah cara
pengenalan dunia oleh subjek didik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan,
pembauan dan pengecapan. Pengamatan merupakan gerbang bai masuknya pengaruh
dari luar ke dalam individu subjek didik, dan karena itu pengamatan penting
artinya bagi pembelajaran.
Untuk kepentingan
pengaturan proses pembelajaran, para pendidik perlu memahami keseluruhan
modalitas pengamatan tersebut, dan menetapkan secara analitis manakah di antara
unsur-unsur modalitas pengamatan itu yang paling dominan peranannya dalam
proses belajar. Kalangan psikologi tampaknya menyepakati bahwa unsur lainnya
dalam proses belajar. Dengan kata lain, perolehan informasi pengetahuan oleh
subjek didik lebih banyak dilakukan melalui penglihatan dan pendengaran.
Jika demikian, para pendidik perlu
mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di dalam penyajian material
pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya penglihatan dan
pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan, umpamanya ; bagan,
chart, rekaman, slide dan sebagainya.
2.3. Ingatan
Secara teoritis, ada 3
aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima
kesan, (2) menyimpan kesan, dan (3) memproduksi kesan. Mungkin karena
fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan
untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan.
Kecakapan merima kesan
sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik
mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya.
Dalam konteks pembelajaran,
kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik
pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan
penampilan bagan, ikhtisar dan sebagainya kesannya akan lebih dalam pada subjek
didik. Di samping itu, pengembangan teknik pembelajaran yang mendayagunakan
“titian ingatan” juga lebih mengesankan bagi subjek didik, terutama untuk
material pembelajaran berupa rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu.
Contoh kasus yang menarik adalah mengingat nama-nama kunci nada g (gudeg), d
(dan), a (ayam), b (bebek) dan sebagainya.
Hal lain dari ingatan
adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama
kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi
pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan
belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya
berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan
akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang
relatif lama.
Untuk mencapai proporsi
yang memadai untuk diingat, menurut kalangan psikolog pendidikan, subjek didik
harus mengulang-ulang hal yang dipelajari dalam jangka waktu yang tidak terlalu
lama. Implikasi pandangan ini dalam proses pembelajaran sedemikian rupa
sehingga memungkinkan bagi subjek didik untuk mengulang atau mengingat kembali
material pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini, misalnya, dapat
dilakukan melalui pemberian tes setelah satu submaterial pembelajaran selesai.
Kemampuan resroduksi, yakni
pengaktifan atau prosesproduksi ulang hal-hal yang telah dipelajari, tidak
kalah menariknya untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal yang telah
dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan tertentu
subjek didik, misalnya kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian
; atau untuk merespons tantangan-tangan dunia sekitar.
Pendidik dapat mempertajam kemampuan subjek didik
dalam hal ini melalui pemberian tugas-tugas mengikhtisarkan material
pembelajaran yang telah diberikan.
2.4. Berfikir
Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan
konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang.
Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan
antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam didi seseorang yang
berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir
pada dasarnya adalah proses psikologis dengan tahapan-tahapan berikut : (1)
pembentukan pengertian, (2) penjalinan pengertian-pengertian, dan (3) penarikan
kesimpulan.
Kemampuan berfikir
pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan
dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang reletif berbeda.
Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah mengembangkan
kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya. Para
pendidik yang memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang
“selengkapnya” tentang satu material pembelajaran akan cendrung melemahkan
kemampuan subjek didik untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik yang lebih
memusatkan pembelajarannya pada pemberian pengertian-pengertian atau
konsep-konsep kunci yang fungsional akan mendorong subjek didiknya
mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Pembelajaran seperti ni akan
menghadirkan tentangan psikologi bagi subjek didik untuk merumuskan
kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri.
2.5. Motif
Motif adalah keadaan dalam diri subjek didik yang mendorongnya untuk
melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Motif boleh jadi timbul dari rangsangan
luar, seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat menyelesaikan satu tugas
dengan baik. Motif semacam ini sering disebut motif ekstrensik. Tetapi tidak
jarang pula motif tumbuh di dalam diri subjek didik sendiri yang disebut motif
intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar membaca karena dia memang ingin
mengetahui lebih dalam tentang sesuatu.
Dalam konteks belajar, motif intrinsik tentu selalu lebih baik, dan
biasanya berjangka panjang. Tetapi dalam keadaan motif intrinsik tidak cukup
potensial pada subjek didik, pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif
ekstrinsik. Motif ini, umpamanya, bisa dihadirkan melalui penciptaan suasana
kompetitif di antara individu maupun kelompok subjek didik. Suasana ini akan
mendorong subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi yang lain.Namun
demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat agar tidak mengarah
kepada hal-hal yang negatif.
Motif ekstrinsik bisa juga dihadirkan melalui siasat “self
competition”, yakni menghadirkan grafik prestasi individual subjek
didik.Melalui grafik ini, setiap subjek didik dapat melihat
kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus membandingkannya dengan kemajuan
yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat grafik ini, subjek didik akan
terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya tidak berada di bawah prestasi
orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar