Filsafat Pendidikan
Suatu usaha
untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan tanpa menggunakan kearifan
(wisdom) dan kekuatan filsafat ibarat sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk
gagal. Persoalan pendidikan adalah persoalan filsafat. Pendidikan dan filsafat
tidak terpisahkan karena akhir dari pendidikan adalah akhir dari filsafat,
yaitu kearifan (wisdom). Dan alat dari filsafat adalah alat dari pendidikan,
yaitu pencarian (inquiry), yang akan mengantar seseorang pada kearifan.
Filsafat
pendidikan memang suatu disiplin yang bisa dibedakan tetapi tidak terpisah baik
dari filsafat maupun juga pendidikan, ia beroleh asupan pemeliharaan dari
filsafat. Ia mengambil persoalannya dari pendidikan, sedangkan metodenya dari
filsafat. Berfilsafat tentang pendidikan menuntut suatu pemahaman yang tidak
hanya tentang pendidikan dan persoalan-persoalannya, tetapi juga tentang
filsafat itu sendiri. Filsafat pendidikan tidak lebih dan tidak kurang dari
suatu disiplin unik sebagaimana halnya filsafat sains atau sains yang disebut
mikrobiologi.
Filsafat secara
ringkas berkenaan dengan pertanyaan seputar analisis konsep dan dasar-dasar
pengetahuan, kepercayaan, tindakan, dan kegiatan. Jadi dalam filsafat
terkandung pengertian dua hal, yaitu (1) analisis konsep, dan (2) pendalaman
makna atau dasar dari pengetahuan dan sejenisnya. Dengan menganalisis suatu
konsep, hakikat makna suatu kata dieksplorasi baik secara tekstual dengan
padanannya maupun juga secara kontekstual dalam penggunaannya. Sehingga akan
terkuak dimensi-dimensi moral yang khas dalam pemakaiannya, yang membedakannya
dari kata yang lainnya. Jadi, memasukkan makna suatu kata sebagai konsep yang
khas dalam kesadaran sehingga memiliki asumÃs-asumsi moral guna membantunya
lebih cermat dalam fungsionalisasinya.
Analisis
konseptual akan mengantar kita pada setidaknya 2 hal penting: (1) memungkinkan
kita melihat secara lebih jernih bagaimana suatu konsep terkait tidak saja
dengan konsep-konsep lainnya tetapi juga dengan bentuk-bentuk kehidupan sosial
yang berada pada jaringan asumsi-asumsi yang saling bertautan seperti tanggung
jawab manusia, hak-hak yang terkait dengan kewenangan, dan peran penderitaan
dalam kehidupan kita. Hal tersebut akan mengantar kita pada pemahaman yang
lebih baik tentang kehidupan sosial kita. (2) dengan memahami struktur
konseptual tertentu, akan memungkinkan kita untuk bisa mencermati asumsi-asumsi
moral terkait isu yang ada. Diskusi tentang ini akan mengantar kita lebih jauh
pada filsafat moral.
Terdapat tiga persoalan umum
yang disebut filsafat.
Metafisika (Metaphysics)
Istilah lebih
generik adalah “ontology” yang
berkenaan dengan hakikat realitas (what is), sedangkan metafisika berkenaan
dengan hakikat eksistensi (what it means “to be”). Pada konteks ini keduanya
dipakai saling menggantikan (interchangeably).
Metafisika bisa
diartikan sebagai the theory of reality. Suatu upaya filosofis untuk memahami
karakteristik mendasar atau esensial dari alam semesta dalam suatu simpul yang
sederhana namun serba mencakup.
Secara sederhana,
metafisikawan berusaha menjelaskan rangkuman dan intisari dari apa (of what is),
apa yang ada (of what exists), dan apa yang sejati ada (of what is ultimately
real). Intisari atau substansi
realitas ini secara kualitatif maupun kuantitatif bisa jadi satu atau banyak.
Mereka yang beraliran kuantitatif (yakni hakikat sebagai rangkuman realitas
atau as the sum of reality) terbagi kedalam tiga posisi pandang: (1) monisme,
(2) dualisme, dan (3) pluralisme. Sedangkan yang beraliran kualitatif (yakni
hakikat sebagai intisari dari realitas atau as the substance of reality)
terbagi kedalam 4 posisi pandang: (1) idealisme, bahwa hakikat realitas
bersifat mental atau spiritual; (2) realisme, bahwa hakikat realitas bersifat
material atau fisis. Dua aliran tersebut termasuk kategori monisme. (3)
Thomisme yang mengkombinasikan dua corak aliran monisme sebelumnya. (4)
Pragmatisme, yang menolak untuk mengkuantifikasi atau mengkualifikasikan
realitas. Mereka lebih suka mengatakan bahwa realitas senantiasa berada pada
keadaan berubah dan mencipta secara konstan sekalipun secara literal bisa
dinyatakan ada ketidakterbatasan filosofis baik jenis maupun jumlahnya.
Aksiologi (Axiology)
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai
adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos
(teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa
disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang
menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right
and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang
konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is
good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk
berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam
“seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri
dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam
rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1)
objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama:
apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia
(dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan
etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya
beraliran subyektivis.
Pertama, teori
nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa
sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat
nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai
yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai
ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis
sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas
dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia.
Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif,
ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras
dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai
rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada
nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut
ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural.
Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan
nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang
lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi
dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif,
absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori
nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan
kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk
biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan
masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan
naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak
absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai
secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi
(kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori
nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya
menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang
bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya
merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih
dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian
(valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama
kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.
Epistemologi (Epistemology)
Disebut the theory
of knowledge atau teori pengetahuan. Ia berusaha mengidentifikasi dasar dan hakikat kebenaran dan pengetahuan,
dan mungkin inilah bagian paling penting dari filsafat untuk para pendidik.
Pertanyaan khas epistemologi adalah bagaimana kamu mengetahui (how do you
know?). Pertanyaan ini tidak hanya menanyakan tentang apa (what) yang kita tahu
(the products) tetapi juga tentang bagaimana (how) kita sampai mengetahuinya
(the process). Para epistemolog adalah para pencari yang sangat ulet. Mereka
ingin mengetahui apa yang diketahui (what is known), kapan itu diketahui (when
is it known), siapa yang tahu atau dapat mengetahuinya (who knows or can know),
dan yang terpenting, bagaimana kita tahu (how we know). Mereka adalah para
pengawas dari keluasan ranah kognitif manusia.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut didahului dengan
pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we know?). Di sini terdapat tiga
posisi epistemologis:
Pertama, dogmatism. Aliran ini menjawab: ya, tentu
saja kita dapat dan benar-benar mengetahui (we can and do know) – selanjutnya
bahkan kita yakin (we are certain). Untuk mengetahui sesuatu kita harus lebih
dahulu memiliki beberapa pengetahuan yang memenuhi dua kriteria: certain
(pasti) dan uninferred (tidak tergantung pada klaim pengetahuan sebelumnya). Contoh
untuk itu: a = a dan keseluruhan > bagian.
Kedua, skepticism.
Aliran ini menjawab: tidak, kita
tidak benar-benar tahu dan tidak juga dapat mengetahui. Mereka setuju dengan
dogmatisme bahwa untuk berpengetahuan seseorang terlebih dahulu harus mempunyai
beberapa premis-premis yang pasti dan bukannya inferensi. Tapi mereka menolak
klaim eksistensi premis-premis yang self-evident (terbukti dengan sendirinya).
Respon aliran ini seolah menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian
dan opini.
Ketiga, fallibilism. Aliran ini menjawab bahwa kita
dapat mengetahui sesuatu, tetapi kita tidak akan pernah mempunyai pengetahuan
pasti sebagaimana pandangan kaum dogmatis. Mereka ini hanya mengatakan mungkin
(possible), bukan pasti (certain). Manusia hanya akan puas dengan pengetahuan
yang reliable, tidak pernah 100% yakin. Tidak ada yang dapat diverifikasi
melampaui posibilitas-posibilitas dari keraguan yang mencakup suatu pernyataan
tertentu. Inilah yang dikenal dengan istilah “doubting Thomas” yang yakin bahwa
kita selalu berhubungan dengan posibilitas-posibilitas dan
probabilitas-probabilitas (pengetahuan) dan tidak pernah dengan
kepastian-kepastian. Filosofi fallibilistik ini memandang sains senantiasa
berada dalam gerak (posture) dan tidak diam. Belajar pengetahuan selalu
bersifat terbuka untuk berubah dan bukannya final, bersifat relatif dan
bukannya absolut, bersifat mungkin daripada pasti. Moda kerja aliran ini
mengkaji pergeseran-pergeseran, melakukan cek dan re-cek, sekalipun hasil yang
dicapai selalu saja akan bersifat tentatif.
Para filsuf kontemporer dengan pengecualian
beberapa eksistensialis, percaya bahwa kita (manusia) memang dapat mengetahui,
tetapi bagaimana?
Idealisme menjawab bahwa pengetahuan itu terdiri
dari ide. Ide adalah produk akal (the mind) atau hasil dari proses-proses
mental dari intuisi dan penalaran. Intuisi –jika bukan nalar—dapat meraih
pengetahuan yang pasti. Analogi yang dipakainya adalah analogi garputala.
Realis klasik menjawab bahwa daya rasional dari
akal mengurai kode pengalaman dan merajut darinya kebenaran. Pengetahuan kita
tentang dunia eksternal hadir melalui penalaran terhadap laporan-laporan
observasi. Sekalipun laporan tersebut dari waktu ke waktu sering menipu ktia,
kita dapat selalu bersandar pada nalar kita dan percayalah bahwa pengetahuan
pasti itu ada, kebenaran absolut itu ada, dan kita bisa menemukannya.
Kaum Thomis menjawab agar kita meletakkan
kepercayaan pada wahyu sebagaimana pada nalar. Bagi mereka ada kebenaran yang
ditemukan (truth finding) dan kebenaran yang diberikan (truth living). Adapun
orang yang bijak adalah orang yang mampu mengambil manfaat dari keduanya.
Aliran ini secara epistemologis bersifat dogmatis.
Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis
logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan adalah
bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif sesuai
dengan kondisinya.
Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas
filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan
kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini kita tahu” atau
“ini adalah kebenaran” merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna
bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan
pendidikan yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran.
Beberapa pandangan tentang konsep pendidikan:
Pendidikan sebagai manifestasi (education
as manifestation).
Dengan analogi
pertumbuhan bunga atau benih, dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses
untuk menjadikan manifes (tampak aktual) apa-apa yang bersifat laten
(tersembunyi) pada diri setiap anak.
Pendidikan sebagai akuisisi (education as
acquisition)
Dengan analogi
spon, pendidikan digambarkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan
seseorang dalam memperoleh (menyerap) informasi dari lingkungannya.
Pendidikan sebagai transaksi (education as
transaction)
Dengan analogi
orang Eskimo di Baffin Bay yang “berinteraksi” (work together) dengan bebatuan
yang ada di lingkungannya untuk membuat rumah batu (stone sculpture) yang
secara organic sesuai dengan materialnya dan selaras dengan kemampuan
pembuatnya. Pendidikan adalah proses memberi dan menerima (give and take)
antara manusia dengan lingkungannya. Di sana
seseorang mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk
memodifikasi atau meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana
pula di sana
dibentuk perilaku dan sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya rekonstruksi
manusia dan lingkungannya.
Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan
tangan, saling memberi dan menerima. Mereka masing-masing adalah alat sekaligus
akhir bagi yang lainnya. Mereka adalah proses dan juga produk.
Filsafat sebagi proses (philosophy as
process)
Filsafat sebagai
aktivitas berfilsafat (the activity of philosophizing). Tercakup di dalamnya
adalah aspek-aspek: (a) analisis (the analytic), yakni berkaitan dengan
aktivitas identifikasi dan pengujian asumsi-asumsi dan criteria-kriteria yang
memandu perilaku. (b) evaluasi (the
evaluative), berkaitan dengan aktivitas kritik dan penilaian tindakan. (c)
spekulasi (the speculative), berhubungan dengan pelahiran nalar baru dari nalar
yang ada sebelumnya. (d) integrasi (the integrative), yakni konstruksi untuk
meletakkan bersama atau mempertautkan kriteria-kriteria atau pengetahuan atau
tindakan yang sebelumnya terpisah menjadi utuh.
Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika
dalam perkembangan intelektual.
Filsafat sebagai produk (philosophy as
product)
Produk dari
aktivitas berfilsafat adalah pemahaman (understanding), yakni klarifikasi kata,
ide, konsep, dan pengalaman yang semula membingungkan atau kabur sehingga bisa
menjadi jernih dan dapat dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih lanjut.
Filsafat dengan “P” capital adalah suatu bangun pemikiran yang secara internal
bersifat konsisten dan tersusun dari respon-respon yang dibuat terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses berfilsat. Pertama-tama,
Filsafat memang tampak sebagai suatu jawaban, posisi sikap, konklusi, ringkasan
akhir, dan juga rencana final.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar