Catatan kecil perkaderan di Indonesia timur (sebuah otokritik)
Konsentrasi perkaderan ke depan haruslah di arahkan di Indonesia timur, kenapa harus Indonesia timur? Pertanyaan ini sekaligus harus kita jawab bersama, namun disini penulis mencoba membuat analisis sederhana dengan berbagai macam realitas yang saya ketahui dari training-training yang saya kelola, baik di Sulawesi, nusa tenggara, Maluku dan papua.
Seiring dengan berkembangnya HMI di Indonesia timur, dengan terbentuknya badko-badko dan cabang-cabang baru di Indonesia timur, seharusnya diiringi dengan peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya kader disana, namun hingga tahun 2013 ini ternyata masih sangat minim, sehingga regenerasi kader disana sangat lambat secara kualitas, hal ini terbukti dengan masih banyaknya senior (alumni) yang harus mau mengelola training, dari LK III, LK II bahkan hingga LK I. ini adalah sebuah kegagalan perkaderan. Normalnya adalah para instruktur itu bukan lagi alumni, namun kader HMI aktif (dilihat dari masa keanggotaannya).
Minimnya pengadaan Training Instruktur (SC) menjadikan pengurus cabang – badko tidak memiliki stok instruktur yang akan diterjunkan dalam setiap training-training dan follow up pasca training. Sehingga perkaderan berjalan dengan asal-asalan, asal apa kata senior yang kemudian mereka bahasakan dengan kultur/budaya perkaderan local/se-tempat. Kedepan seharusnya suadah bisa terpenuhi stok instruktur yang akan diterjunkan dalam setiap training-training disana, sehingga aka nada wajah baru, generasi baru HMI disana, dan dalam jangka panjang akan memngurangi ekses dari kepentingan senior terhadap kader-kader HMI baik secara langsung maupun tidak langsung.
Apalagi cabang HMI di Indonesia timur rata-rata tidak memiliki BPL cabang, sehingga perkaderan tidak ada standar yang jelas, hanya 1-5 cabang saja yang memiliki BPL, namun itupun belum efektif menjalankan tugasnya. Sudah saatnya ada regenerasi instruktur disana,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar