SELAYANG PANDANG PERKADERAN HMI; SEBUAH JALAN PANJANG MEMBANGUN KARAKTER ORGANISASI
oleh Ahlan El-faz
Selayang Pandang Perkaderan
HMI yang sudah memproklamirkan fungsinya sebagai organisasi kader, mau tidak mau menjadikan perkaderan sebagai jantung kehidupan organisasinya. Namun sebetulnya aspek perkaderan di HMI mulai dibenahi secara serius pada akhir tahun 50-an dimana HMI sudah bertahun-tahun menjalankan peranannya, jadi perkaderan di HMI tidak lahir berbarengan dengan kelahiran HMI itu sendiri, melainkan lahir seiring proses waktu dan perubahan zaman.
Awalnya hal itu baru mulai terpikirkan oleh para kader HMI (PB HMI) ketika masa kepengurusan Ismail Hasan Metareum (periode 1957-1960), dan masih berupa wacana-wacana yang digulirkan oleh PB HMI sendiri. Ismail Hasan yang merupakan penggagas utama ide perkaderan formal di HMI menginginkan agar HMI tidak menjadi tempat berkumpul orang yang punya kesamaan hoby atau aktivitas saja, tapi menjadi second campus bagi para anggotanya. Selain itu, yang menjadi faktor penting pendorong gagasan diadakannya perkaderan formal di HMI adalah karena waktu itu Ismail Hasan melihat adanya perbedaan aliran pemikiran dalam dinamika pergerakan aktivitas HMI, dimana ada anggotanya yang punya background lingkungan pesantren dan ada juga yang cenderung sekuler (abangan)[1]. Selain itu, dia juga melihat adanya perbedaan para anggotanya dilihat dari sisi lingkungan ormas yang membesarkannya semisal dari kalangan NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya. Oleh karenanya, Ismail Hasan Metareum punya obsesi untuk bisa mengambil persamaan serta mengembangkannya dari para anggota HMI agar mampu menciptakan suatu sinergitas pemikiran dan gerakan hingga menjadi satu kesatuan dalam tubuh HMI yang diharapkan menjadi ciri khas dan karakteristik para kadernya.
Untuk mensinergikan itu, maka difasilitasilah berbagai forum pendidikan dan pelatihan untuk para kader HMI agar bisa mempersatukan visi dan mensinergiskan pemikiran kader HMI. Selain itu, diharapkan agar dengan forum seperti itu bisa menciptakan komunikasi antar kader yang berujung pada terwujudnya ukhuwah islamiyah sesama kader HMI. Dalam suatu kesempatan dia pernah menjelaskan secara detail maksud tujuan dan teknis pelaksanaan dari sistem perkaderan itu, dimana dia mengemukakan perlunya suatu sistem yang bertingkat dalam pelatihan sesuai dengan taraf kemampuan kader, dengan titik tekan (aksentuasinya) materinya pada masalah keorganisasian dan keislaman. Hal inilah yang menjadi dasar dan landasan awal dari sistem perkaderan HMI, karena sejak saat itu perkaderan menjadi trademark dikalangan kader HMI meskipun format yang idealnya belum terwujud.
Untuk lebih meningkatkan taraf kualitas perkaderan serta membuat suatu format perkaderan ideal yang cocok bagi HMI, maka PB HMI mengutus beberapa anggotanya untuk melakukan pengkajian dan studi banding mengenai masalah tersebut ke beberapa organisasi di luar negeri. Duta-duta HMI itu diantaranya Aisyah Amini, Mahbub Junaedi, Mahmud Yunus, dan Munir Kimin yang berangkat ke Aloka, India. Sedangkan Noersal dan Ibrahim Madilao ke Amerika sekaligus memanfaatkan Undangan Pemerintah AS. Selain ke luar negeri, PB HMI juga melakukan studi banding dan pengkajian secara teoitik dan empirik di dalam negeri. Hasil dari kunjungan dan kajian itu dicurahkan dalam suatu forum lokakarya yang diadakan PB HMI di Baros Sukabumi tahun 1959, khusus membicarakan format perkaderan HMI. Sejak peristiwa itulah HMI sudah mulai mempunyai suatu format baku dalam perkaderan meskipun belum sempurna. Penyempurnaan hasil lokakarya pertama ini dilakukan pada masa kepengurusan Oman Komaruddin (periode 1960-1963) dengan mengadakan forum seminar dan lokakarya perkaderan kedua di Pekalongan tahun 1962. Hasil-hasil forum tersebut kemudian disempurnakan lagi dan disahkan menjadi format perkaderan baku yang mempunyai sistem perkaderan berjenjang pada kongres HMI ke VII tahun 1963 di Jakarta. Sejak saat itulah HMI menjadi organisasi pertama di Indonesia yang mempunyai sistem perkaderan formal yang baku, lengkap dan berjenjang.
Penyempurnaan terhadap format perkaderan terus dilakukan HMI sebagai bentuk konsistensi HMI akan fungsinya, dengan harapan semakin baik format perkaderannya maka output-nya pun semakin berkualitas. Pada masa Sulastomo (periode 1963-1966) dan Nurcholis Madjid (periode 1966-1971)[2] sistem perkaderan ini tidak hanya sebagai bentuk formal penyaringan anggota dan peningkatan kualitas kader saja melainkan diperluas lagi sebagai salah satu prasyarat yang harus dipenuhi para calon pengurus HMI dari PB sampai Komisariat[3]. Sehingga tidak sembarang kader yang bisa jadi pengurus, tetapi harus melewati jenjang tertentu dalam perkaderan formal. Sejak zaman Cak Nur (1967) sampai tahun 1999 tercatat sudah beberapa kali sistem perkaderan mengalami pembaharuan diantaranya :
1. Tahun 1970 (zaman Cak Nur) di Pekalongan, sebagai upaya penyempurnaan dan rekomendasi kongres HMI ke IX di Malang, dimana keputusan pentingnya bahwa setiap yang namanya training di HMI harus mengacu pada buku format perkaderan yang sudah dibuat.
2. Tahun 1975 (zaman Ridwan Saidi) di Kaliurang Yogyakarta. Sistem perkaderan saat itu banyak dipengaruhi oleh munculnya gerakan pembaharuan keagamaan di Indonesia yang dipelopori Cak Nur, selain itu sedang hangatnya gerakan–gerakan Islam internasional terutama di kawasan Timur Tengah.
3. Tahun 1983 (zaman Harry Azhar Azis) di Surabaya. Pada masa ini banyak dipengaruhi oleh kondisi ketegangan antara umat Islam dengan pemerintah Orba, selain itu wacana developmentalisme yang dikembangkan Orba juga sedikit banyaknya mempengaruhi sisitem perkaderan HMI. Revolusi Islam Iran sedikit banyaknya mempengaruhi semangat dan antusiasme berislam dikalangan generasi muda Indonesia termasuk para kader HMI.
4. Tahun 1988 (zaman Saleh Khalid) di Cianjur dan Jakarta. Akibat terjadinya perubahan internal yang mendasar dalam tubuh HMI, salah satunya perubahan azas, maka dipandang perlu untuk merevisi sistem perkaderan HMI yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan zamannya. Selain itu gerakan depolitisasi mahasiswa di kampus oleh Orba dan berkembangnya logika modernisasi turut andil dalam mempengaruhi sistem perkaderan saat itu.
5. Tahun 1992 (zaman Ferry Mursidan). Sistem perkaderan hanya mengalami sedikit perubahan dan saat itu dipengaruhi oleh membaiknya kondisi politik antara umat Islam dan Orba yang ditandai dengan munculnya ICMI. Namun itu hanya pada konteks Islam ibadah belum ke Islam politik. Selain itu jargon pembangunan di segala bidang menjadi isu sentral masa itu sehingga sedikitnya mempengaruhi sistem perkaderan HMI.
6. Tahun 1997 (zaman Taufik Hidayat) di Jakarta. Saat itu dipengaruhi oleh iklim politik Indonesia yang sudah mulai goyah akibat adanya akumulasi kekecewaan terhadap pemerintah Orba.
7. Tahun 2000 (zaman Fakhrudin) di Jakarta. Sejak HMI menggunakan kembali Islam sebagai azasnya (kongres XXII di Jambi) maka sudah pasti ada banyak perubahan yang terjadi di HMI. Pedoman perkaderan sebagai salah satu hal yang dijadikan landasan bagi aktifitas HMI, sudah barang tentu mengalami perubahan yang diakibatkan oleh perubahan azasnya. Pendorong utama lokakarya pada masa ini adalah mengantisipasi perubahan azas di HMI, sekaligus membuat rancangan strategis bagi HMI pasca perubahan azas dan dalam menghadapi perubahan zaman.
Perkaderan HMI Pasca Penerimaan Pancasila
Perkaderan adalah salah satu kegiatan primer HMI, yang mana kegiatan itu meliputi segenap usaha kearah pembinaan manusia-manusia muslim (mahasiswa) Indonesia yang bertanggungjawab dan mampu berbuat sebanyak-banyaknya bagi kebaikan rakyat dan kemanusian. Perkaderan dilakukan dengan menggunakan metode-metode tertentu agar tercapai efisiensi dan efektifitas semaksimal mungkin. Karena perkaderan merupakan elan vitalnya organisasi, maka perkaderan menempati posisi yang sangat penting dalam setiap aktivitas HMI. Sebagai organisasi yang menghimpun anggota secara sukarela, posisi sistem perkaderan sangat menentukan. Melalui sistem perkaderan paling tidak diharapkan terbentuk; pertama, identifikasi anggota terhadap organisasi; kedua, berlangsung proses peningkatan kualitas anggota sebagaimana tuntutan idealitas organisasi.
Dalam sistem perkaderan hasil lokakarya tahun 1983 di Surabaya, materi-materi perkaderan lebih banyak didominasi oleh materi keislaman yang secara khusus sebagai bahan kajian meliputi enampuluh persen dari keseluruhan materi latihan. Kecenderungan proses Islamisasi dalam proses perkaderan era 80-an ini dikarenakan mulai tumbuhnya semangat atau antusiasme dari para kader HMI dalam mengkaji, menelaah, serta menerapkan Islam secara kaffah dalam setiap aktivitas dan gerak organisasi. Kesadaran untuk lebih mengentalkan identitas keislaman dalam setiap gerak langkah organisasi, terutama dalam sistem perkaderan, mulai berkembang sejak terjadinya revolusi umat Islam di Iran. Revolusi Islam Iran yang notabene gerakannya dimotori oleh kaum terpelajar, yang dilandasi kesadaran dan keyakinan utuh bahwa Islam bisa menjadi solusi atas kemandegan dan krisis multi dimensi yang terjadi di Iran saat itu. Oleh karenanya generasi muda Islam Indonesia termasuk para kader HMI terstimulir untuk bisa lebih mengentalkan identitas keislaman dalam setiap aktivitas kesehariannya. Hal itu pulalah yang menjadi faktor pendorong kenapa sistem perkaderan HMI hasil lokakarya tahun 1983 didominasi oleh materi keislaman hingga mencapai enampuluh persen serta semangat aktualisasi nilai Islam dalam setiap gerak langkah HMI sangat kental.
Ada beberapa aspek dari proses perkaderan yang tampaknya cukup berpengaruh terhadap kecenderungan Islamisasi di HMI. Pertama, penajaman rumusan misi organisasi, dalam hal ini misi perkaderan yang diintegrasikan dengan semangat sistem pendidikan Islam. Dalam pedoman perkaderan tahun 1983 disebutkan bahwa sebagai organisasi mahasiswa yang berdasarkan Islam, HMI meletakan nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Assunah pada tempat utama dan berwibawa bagi sistem pendidikan kadernya. Secara erat ia terpadu dalam sistem pendidikan Islam yang menempatkan tujuh elemen dasar konsep-konsep, yaitu; konsep agama; konsep manusia; konsep masyarakat; konsep alam; konsep keadilan; konsep akhlak; dan konsep sekolah. Keseluruhan konsep itu merupakan kesatuan bangunan dasar dari sistem pendidikan Islam dimana sistem pendidikan kader HMI dibentuk dan dikembangkan.
Kedua, materi perkaderan, yaitu pokok-pokok kajian yang diberikan selama anggota HMI mengikuti latihan-latihan kepemimpinan. Selain dominasi materi keislaman yang bersifat kajian khusus, juga materi yang sifatnya umum banyak diwarnai dengan penekanan pada nilai-nilai keislaman. HMI menjabarkan materi perkaderannya kedalam: materi Keislaman; ideologi; ke-HMI-an; keorganisasian; kekaryaan; kesekretariatan; kepemimpinan; sejarah Islam; filsafat ilmu; perguruan tinggi dan kemahasiswaan; stadium general; dan strategi taktik. Pada semua jenjang training diwajibkan adanya materi seperti: keislaman; ideologi; ke-HMI-an; perguruan tinggi dan kemahasiswaan; keorganisasian; dan sejarah Islam.
Sistem perkaderan di HMI mengalami beberapa perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Hal itu merupakan bentuk adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik diinternal organisasi maupun kondisi sosial kultural diluar HMI. Berkaitan dengan perubahan azas HMI pada kongres ke-16 di Padang, maka sebagai antisipasi atas hal itu PB HMI mengadakan seminar dan lokakarya (saloka) perkaderan di Surabaya pada tanggal 9 – 14 April 1988. Hasil saloka ini diharapkan bisa menjadi pedoman sistem perkaderan bagi seluruh kader HMI pasca perubahan. Perbedaan yang paling pokok dalam pedoman sistem perkaderan 1988 dengan pedoman perkaderan yang lainnya adalah bahwa pedoman kali ini telah mempertimbangkan perubahan-perubahan internal HMI pada kongres ke-16 di Padang, dan juga telah berusaha mempertimbagkan iklim perguruan tinggi yang dalam satu dasawarsa ini mengalami perubahan. (PB HMI: 1992)
a. Landasan Perkaderan
Seluruh proses perkaderan yang dilaksanakan oleh HMI diarahkan untuk bisa mewujudkan tujuan HMI. Dalam menentukan arah perkaderannya, HMI bertitik tolak pada beberapa landasan atau pijakan pokok sebagai acuan dasar dalam keseluruhan proses perkaderan. Dalam pedoman perkaderan ’83 terdapat enam hal yang dijadikan pijakan pokok / landasan bagi arah perkaderan HMI, yaitu; landasan idiil; konstitusional; strategis; kultural; dan landasan operasional.
Landasan idiil HMI adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mengingat HMI merupakan organisasi yang berdasarkan pada Islam, maka landasan ideal HMI dalam melakukan seluruh aktivitasnya, tak terkecuali dalam sistem perkaderannya, harus berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. AD/ART[4] HMI merupakan landasan konstitusional perkaderan HMI, karena didalamnya terdapat aturan-aturan konstitusi yang mengatur tentang keharusan adanya perkaderan dan arah perkaderan (pasal 5 AD), peserta perkaderan (Pasal 8 AD), pengelolaan perkaderan (Pasal 3 AD) kualifikasi anggota (Pasal 1 s.d. 4 ART), prosedur menjadi anggota (Pasal 5 ART), hak dan kewajiban anggota (Pasal 6 dan 7 ART).
Dalam landasan strategis dijelaskan bahwa perkaderan HMI berpijak pada tujuan perkaderan itu sendiri, dimana ada dua dimensi didalam mewujudkannya. Dimensi perkaderan sebagai upaya menciptakan insan HMI, dan dimensi perjuangan sebagai tekad juang pendayagunaan potensi kekaderan dalam rangka mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Landasan kultural perkaderan didasarkan pada kenyataan masarakat Indonesia yang heterogen. HMI memandang bahwa kebhinekaan dalam budaya, nilai, suku, adat-istiadat, dan agama adalah merupakan kesatuan utuh dari budaya bangsa itu sendiri. Maka HMI dalam perkaderannya melandaskan pijakannya pada landasan budaya bangsa dan kbhinekaan budaya anggotanya, karena disadari bahwa para kader HMI berangkat dari latarbelakang budaya yang berbeda sehingga pedoman perkaderan harus mampu adaptif terhadap kenyataan yang ada. Sedangkan yang dijadikan landasan oprasional perkaderan adalah program kerja nasional (PKN) serta pedoman perkaderan HMI.
Berbeda dengan pedoman perkaderan ’83, dalam pedoman perkaderan ’88 hasil perubahan dalam saloka, maka yang dijadikan landasan / pijakan pokok dari arah perkaderan HMI terbagi dalam empat landasan, yaitu; landasan Nilai; historis; konstitusi; dan landasan tuntutan perjuangan bangsa. Pertama landasan nilai. Pada dasarnya landasan nilai sama dengan landasan idiil dalam pedoman perkaderan ’83, hanya perubahan istilah saja, sebab meskipun telah terjadi perubahan azas HMI dari Islam menjadi Pancasila namun HMI tetap menjadikan Islam sebagai landasan juangnya. Hal itu diperkuat dalam konstitusi dimana disebutkan bahwa HMI menghimpun mahasiswa yang beridentitaskan Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah (pasal 3 AD)
Kedua landasan historis, dalam rangka mewujudkan cita-cita historis perjuangan HMI ke masa depan, HMI kemudian mempertegas posisinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi melaksanakan tanggungjawabnya bersama seluruh rakyat Indonesia mewujudkan tercapainya cita-cita nasional. Melihat komitmen HMI pada wawasan sosiologis dan historis berdirinya pada tahun 1947, yang juga telah dibuktikan dalam sejarah perkembangannya, maka pada hakikatnya segala bentuk pembinaan kader HMI harus pula tetap diarahkan dalam rangka pembentukan pribadi kader yang sadar akan keberadaannya sebagai pribadi muslim, khalifah fil ardhi, dan pada saat yang sama kader tersebut harus menyadari pula keberadaannya sebagai kader bangsa Indonesia yang memikul tanggungjawab mewujudkan cita-cita bangsa ke masa depan.
Ketiga landasan konstitusi, dalam AD/ART[5] ditegaskan bahwa HMI memiliki fungsi sebagai organisasi kader (pasal 9 AD) serta berperan sebagai sumber insani pembangunan (pasal 10 AD), statusnya sebagai organisasi kemahasiswaan (pasal 8 AD) yang bersifat independen (pasal 7 AD). Dalam seluruh proses perkaderan HMI senantiasa berlandaskan pada identitas (pasal 3 AD) dan azas (pasal 4 AD), hal ini mencerminkn bahwa dalam dinamikanya senantiasa mengemban tugas, tanggungjawab dan semangat yang integralistik antara keislaman dan keIndonesiaan.
Keempat landasan tuntutan perjuangan bangsa. HMI sebagai organisasi mahasiswa yang merupakan bagian integral bangsa Indonesia yang berperanan sebagai sumber insani Pembangunan, dituntut membentuk kader-kader nasional yang memiliki integritas pribadi muslim, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kualitas intelektual serta mampu melakukan kerja-kerja profesional ut merealisir cita-cita pergerakan kemerdekaan kebangsaan Indonesia.
Perubahan terhadap sistem perkaderan terjadi lagi pada tahun 1997 dimana perubahan ini didasarkan atas hasil lokakarya perkaderan pada bulan Mei tahun 1997 di Jakarta dan disahkan pada kongres HMI ke XXI di Yogyakarta pada Agustus 1997. Dalam pedoman perkaderan ‘97, tidak banyak mengalami perubahan dalam hal landasan yang digunakan dalam sistem perkaderannya. Perbedaan yang ada hanya dalam beberapa hal, diantaranya munculnya satu landasan baru yang dijadikan acuan yaitu landasan sosio kultural bangsa Indonesia. Pedoman perkaderan HMI 97 memperlihatkan satu kecenderungan dimana HMI memperlihatkan sikapnya terhadap diskursus perjuangan Islam Indonesia yang sedang mengemuka pada saat itu, yaitu tentang pola gerakan apa yang harus dilakukan umat Islam dalam mengangkat derajat umat serta memperjuangkan Islam di Indonesia. Diskursus yang cukup menarik pada era itu adalah apakah umat Islam harus mengambil jalan Islam struktural atau Islam kultural, untuk memperjuangkan Islam di Indonresia.
HMI mengambil sikap yang cukup bertolak belakang dengan gerakannya selama ini yang sering dianggap sebagai organisasi yang berjuang dijalur struktural. Hal ini bisa dilihat dalam landasan sosio-kultural yang dijadikan landasan dalam pedoman perkaderannya. Dalam landasan ini dikemukakan bahwa sejarah perkembangan Islam di Indonesia membuktikan bahwa Islam kultural merupakan cara yang paling efektif dalam memperjuangkan Islam sejak Islam datang ke Indonesia. Maka HMI cenderung bersikap bahwa Islam kultural tetap harus dilakukan, meskipun gerakan Islam struktural pun tidak boleh ditinggalkan. Oleh karena itu dalam landasan sosio-kulturalnya secara tegas dikemukakan bahwa Islam kultural masih cukup efektif dalam memperjuangkan Islam, terutama dalam era globalisasi dimana arus informasi serta pengaruh budaya luar semakin deras masuk ke Indonesia.
Membandingkan tiga sistem / pedoman perkaderan HMI yang pernah dijalankan HMI sejak awal tahun 80-an sampai akhir 90-an, khususnya dalam hal landasan / acuan yang dipakai dalam menjalankan sistem perkaderannya, bisa dilihat adanya sikap yang berusaha adaptif dengan perkembangan kondisi sosial politik serta kultur bangsa Indonesia. Pedoman perkaderan ‘83 yang digunakan HMI sebelum perubahan azas, memperlihatkan satu sikap yang tegas dalam memandang
Islam sebagai way of life, baik secara individu kadernya maupun aktivitas organisasi. Bahkan secara tekstual dicantumkan dalam landasan idiil perkaderannya ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang dijadikan landasan gerak perkaderan. Berbeda dengan pedoman perkaderan ‘88, dimana HMI sudah berubah azasnya menjadi pancasila memperlihatkan satu sikap untuk bisa lebih kooperatif dengan penguasa. Hal ini bisa dilihat dari munculnya landasan tuntutan perjuangan bangsa sebagai satu bentuk pembenaran akan pilihan yang telah diambil HMI dalam kongresnya. Disini HMI memaparkan bahwa perjuangan Islam oleh HMI senantiasa harus sinergis dengan perjuangan bangsa Indonesia sebab pada dasarnya kelahiran HMI sebagai suatu gerakan yang berusaha ikut serta dalam perjuangan Indonesia.
Sedangkan pada pedoman perkaderan ‘97 memperlihatkan bagaimana HMI berusaha merespon perkembangan sosial kultural dan politik di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dalam landasan tuntutan perjuangan bangsa yang memaparkan tentang sikap HMI dalam merespon proses pembangunan di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah waktu itu. HMI berupaya agar para kadernya mampu terlibat secara aktif dalam proses pembangunan yang digalakkan pemerintah dengan mencoba mendekatkan realitas sosial masyarakat Indonesia dalam setiap aktivitas perkaderannya. Selain itu HMI berharap agar kadernya bisa menjadi problem solver ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang sedang mengalami masa transisi akibat proses pembangunan dan globalisasi. Selain itu, gerakan kultural Islam Indonesia dijadikan satu acuan bagi gerakan HMI dalam menjawab tantangan globalisasi dan modernisasi yang terjadi di Indonesia.
b. Pola Dasar Perkaderan
Semua bentuk aktifitas perkaderan di HMI menggunakan pendekatan sistematik yang disusun dengan semangat integralistik guna tercapainya tujuan organisasi. Pola dasar perkaderan HMI dibuat secara nasional, dimana aspek konsepsional dan praktis diterapkan secara menyeluruh oleh setiap cabang HMI di seluruh Indonesia dalam menjalankan aktifitas perkaderannya. Seluruh aktifitas perkaderan dari sejak rekruitmen sampai follow up pasca perkaderan telah dibakukan secara nasional, sehingga seluruh cabang mempunyai pegangan dan acuan yang sama dalam melakukan aktifitas perkaderan. Meskipun begitu, setiap cabang diberikan keleluasaan untuk melakukan inovasi dari pedoman perkaderan nasional dalam menerapkannya di cabangnya masing-masing. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa setiap cabang mempunyai karakteristik serta problematikannya sendiri dalam menjalankan aktifitas perkaderan.
Pola dasar perkaderan secara umum dapat dibuat dalam dua kategori, aspek konsepsional dan aspek praktis. Aspek konsepsional berkaitan dengan tujuan pembentukan kader yang diharapkan HMI, pemahaman bentuk perkaderan HMI, kriteria kualitas calon kader HMI, dan metode perkaderan yang diterapkan HMI. Sedangkan aspek praktis berkenaan dengan kurikulum yang diterapkan dalam setiap perkaderan. Dari aspek konsepsional, secara garis besar tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan, baik ketika HMI masih menggunakan Islam sebagai azasnya maupun setelah berubah. Maka dalam pembahasan pada sub bab ini akan lebih dititikberatkan pada aspek praktis yaitu kurikilum yang dibuat dan diterapkan HMI, karena mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Pada pedoman perkaderan tahun 1975 dan 1983, kurikulum yang dibuat berisikan beberapa materi yang lebih menitik beratkan pada aspek keagamaan. Materi-materi keagamaan mendapat porsi yang cukup banyak sekitar 60% dari seluruh materi dalam kurikulum nasional. Materi ini berupa; materi keislaman, materi ideologi, dan sejarah Islam. Materi keIslaman dibuat dalam beberapa sub materi seperti masalah akidah, akhlak dan fiqh kontemporer. Sedangkan dalam materi ideologi menitikberatkan pada komparasi ideologi yang berlandaskan pada agama dan ideologi sekuler. Materi sejarah Islam dibuat dalam dua sub materi, yaitu sejarah perkembangan Islam di dunia dan sejarah Islam Indonesia. Materi selain keagamaan yang porsinya sekitar 40% lebih menitikberatkan pada pengetahuan ke-HMI-an, keorganisasian dan wacana umum. Materinya antara lain; ke-HMI-an, keorganisasian, kesekretariatan, kepemimpinan, kekaryaan, filasaft ilmu, perguruan tinggi dan kemahasiswaan, serta stadium general. Seluruh materi dalam kurikulum nasinal ini diterapkan dalam semua jenjang perkaderan HMI.
Perubahan signifikan dalam pedoman perkaderan sejak HMI merubah azasnya bisa dilihat pada pedoman perkaderan tahun 1988, yaitu munculnya beberapa materi yang disesuaikan dengan kondisi yang ada baik diinternal maupun eksternal HMI. Secara internal, dinamika dalam tubuh HMI yang sedang mengarah pada keretakan akibat adanya penolakan terhadap keputusan hasil kongres, membuat HMI harus bisa mengakomodir serta menjawab permasalahan yang sedang dihadapinya. Sedang secara eksternal dimana kondisi sosial politik yang kurang menguntungkan bagi HMI akibat hegemoni penguasa membuat HMI harus bisa kooperatif serta adaptif dengan situasi tersebut. untuk mengatasi masalah yang dihadapinya tersebut maka muncullah materi baru yang antara lain adalah materi Nilai Identitas Kader (NIK) dan materi keutuhan Islam, Pancasila dan UUD ’45.
Pertama Materi NIK, sebetulnya secara inhern telah ada pada pedoman perkaderan sebelumnya, dimana materi ini masuk sebagai sub materi keislaman. NIK sebelum perubahan azas bernama Nilai Dasar Perjuangan (NDP), namun seiring perubahan azas maka namanya pun berubah tapi isinya tidak berubah. Materi NIK muncul sebagai sebuah materi utuh dikarenakan adanya keinginan agar nilai-nilai keIslaman bisa lebih dipahami secara inklusif oleh para kader HMI.
Kedua materi Keutuhan Islam, Pancasila dan UUD ’45. Materi ini muncul pasca HMI meubah azasnya menjadi Pancasila. Menurut Anas Urbaningrum[6], dibuatnya materi ini oleh HMI pada waktu itu merupakan sebuah bentuk sifat akomodatif HMI terhadap perkembangan yang ada. Diskursus tentang Islam dan Pancasila begitu ramai dibicarakan dimana-mana, oleh karenanya HMI mencoba memposisikan diakursus itu dalam sebuah bingkai akademis. Hal ini dimaksudkan agar daya analitis kritis para kader dalam menghadapi kondisi di internal dan eksternal HMI pasca lahirnya UU keormasan dapat dijawab secara rasional bukannya emosional. Sedangkan menurut Undang Hidayat[7], materi ini muncul dalam pedoman perkaderan telah membuktikan bahwa tekanan eksternal yang begitu kuat terhadap eksistensi HMI menyebabkan HMI berupaya membuktikan bahwa HMI tidak anti Pancasila, namun HMI justru mencoba mengintegralistikan tiga komponen yang ada, yaitu Islam, Pancasila dan UUD ’45, dalam setiap aktifitasnya. Keinginan untuk membuktikan itulah yang menyeret HMI memuculkan materi tersebut, meskipun HMI mencoba membedahnya secara analitis kritis.
Pada pedoman perkaderan HMI tahun 1997, kembali mengalami beberapa perubahan dalam pola dasar perkaderannya. Perubahan ini terjadi sebagai suatu upaya HMI untuk bisa merespon serta menjawab situasi dan kondisi perkembangan zaman. Materi tentang keutuhan Islam, Pancasila, dan UUD ’45 dihilangkan dalam kurikulum nasional dan diganti dengan materi Islam dan pluralitas bangsa. Juga munculnya beberapa materi baru diantaranya; wawasan IPTEK dan pembangunan nasional, HMI-wati dan dinamika gerakan perempuan, pengantar ideologi, politik dan strategi taktik.
Munculnya materi Islam dan pluralitas bangsa menurut Agus Salimsitompul[8], sebagai jawaban atas perubahan arah kebijakan pemerintah orba yang sudah lebih akomodatif dengan kelompok Islam. Selain itu, masalah pluralitas bangsa diyakini HMI sebagai kenyataan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia, namun hal itu justru harus dijadikan sebagai modal bagi proses pembangunan masyarakat Indonesia. Untuk itu HMI mencoba secara lebih akademis membahasnya dalam sebuah materi perkaderan agar para kader HMI tidak terjebak pada primordialisme yang bertentangan dengan sifat independensi HMI.
Pendapat lain mengenai perubahan materi ini dikemukakan oleh Anas Urbaningrum, bahwa hal ini bukan suatu spontanitas dari HMI menyikapi kondisi pada saat, melainkan suatu proses yang cukup panjang dimana eksistensi HMI sejak awal tahun 90-an dalam pola gerakannya sudah jauh berbeda dengan era ‘80-an. Perubahan arah kebijakan pemerintah orba memang sedikit berpengaruh pada masalah ini, namun materi ini muncul justru karena HMI sudah lama memandang bahwa pada era ‘80 pemerintah orba seolah-olah menafikan adanya pluralitas ditengah masyarakat dengan berbagai upaya pengintegralan berbagai hal sebagai cara untuk persatuan kesatuan masyarakat Indonesia. Oleh karenanya HMI ingin memberikan perspektif baru –terutama bagi para kadernya– bahwa pluralitas itu sebagai kenyataan yang mesti ada dan dijadikan modal.
Sedangkan munculnya materi wawasan IPTEK dan pembangunan nasional, merupakan bentuk respon HMI dengan perkembangan kekinian yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Peran HMI seperti yang dinyatakan dalam anggaran dasarnya sebagai sumber insani pembangunan (pasal 10 AD)[9] dituntut secara moral untuk ikut serta secara aktif dalam setiap proses pembangunan yang telah dicanangkan pemerintah. HMI memandang bahwa partisipasi dalam pembangunan harus tetap dilandasi oleh pemikiran rasional dan kritis serta memperlihatkan keberpihakan pada kesejahteraan dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, konsepsi pembangunan tentang pembangunan harus dikaji secara akademik agar seluruh proses pembangunan yang dijalankan tidak lantas mengorbankan hak-hak serta rasa keadilan masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan HMI untuk mengantisipasi hal tersebut adalah berupaya menciptakan kualitas kader HMI yang punya kemampuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi agar kader HMI bisa berpartisipasi secara aktif ditengah-tengah masyarakat.
Secara umum dalam bebeberapa pedoman perkaderan HMI yang mengalami perubahan-perubahan sejak tahun 1988, khususnya dalam pola dasar perkaderannya, memberikan gambaran yang cukup jelas bagaimana sikap HMI kaitannya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah orde baru dalam menjalankan roda pemerintahannya. HMI yang sejak tahun 1986 merubah azasnya dengan Pancasila, berupaya untuk bisa beradaptasi dengan berbagai arah kebijakan orba, agar dalam setiap aktivitas keorganisasian tidak mengalami kendala secara struktural dari pemerintah yang berkuasa. Selain itu, perubahan dalam pola dasar perkaderan ini menunjukan bahwa HMI berupaya untuk bisa merespon perkembangan zaman agar para kader HMI mempunyai bekal yang cukup ketika berkiprah di masyarakat nanti. Sedangkan dari segi efek perubahan pedoman perkaderan yang terjadi dalam tubuh HMI sejak terjadinya perubahan azas menurut Anas Urbaningrum, tidaklah terlalu significant mempengaruhi pemikiran keislaman HMI, sebab meskipun terjadi perubahan dalam pola dasar perkaderan HMI bukan berarti menghilangkan sebagian besar kajian keislaman. Munculnya materi seperti Keutuhan Islam, Pancasila, dan UUD ’45, tidak lantas menjadikan kader HMI luntur ghirah keislamannya. Justru kehadiran materi tersebut membawa efek positif bagi para kader HMI karena membiasakan untuk memahami Islam secara multi perspektif.
HMI yang sudah memproklamirkan fungsinya sebagai organisasi kader, mau tidak mau menjadikan perkaderan sebagai jantung kehidupan organisasinya. Namun sebetulnya aspek perkaderan di HMI mulai dibenahi secara serius pada akhir tahun 50-an dimana HMI sudah bertahun-tahun menjalankan peranannya, jadi perkaderan di HMI tidak lahir berbarengan dengan kelahiran HMI itu sendiri, melainkan lahir seiring proses waktu dan perubahan zaman.
Awalnya hal itu baru mulai terpikirkan oleh para kader HMI (PB HMI) ketika masa kepengurusan Ismail Hasan Metareum (periode 1957-1960), dan masih berupa wacana-wacana yang digulirkan oleh PB HMI sendiri. Ismail Hasan yang merupakan penggagas utama ide perkaderan formal di HMI menginginkan agar HMI tidak menjadi tempat berkumpul orang yang punya kesamaan hoby atau aktivitas saja, tapi menjadi second campus bagi para anggotanya. Selain itu, yang menjadi faktor penting pendorong gagasan diadakannya perkaderan formal di HMI adalah karena waktu itu Ismail Hasan melihat adanya perbedaan aliran pemikiran dalam dinamika pergerakan aktivitas HMI, dimana ada anggotanya yang punya background lingkungan pesantren dan ada juga yang cenderung sekuler (abangan)[1]. Selain itu, dia juga melihat adanya perbedaan para anggotanya dilihat dari sisi lingkungan ormas yang membesarkannya semisal dari kalangan NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya. Oleh karenanya, Ismail Hasan Metareum punya obsesi untuk bisa mengambil persamaan serta mengembangkannya dari para anggota HMI agar mampu menciptakan suatu sinergitas pemikiran dan gerakan hingga menjadi satu kesatuan dalam tubuh HMI yang diharapkan menjadi ciri khas dan karakteristik para kadernya.
Untuk mensinergikan itu, maka difasilitasilah berbagai forum pendidikan dan pelatihan untuk para kader HMI agar bisa mempersatukan visi dan mensinergiskan pemikiran kader HMI. Selain itu, diharapkan agar dengan forum seperti itu bisa menciptakan komunikasi antar kader yang berujung pada terwujudnya ukhuwah islamiyah sesama kader HMI. Dalam suatu kesempatan dia pernah menjelaskan secara detail maksud tujuan dan teknis pelaksanaan dari sistem perkaderan itu, dimana dia mengemukakan perlunya suatu sistem yang bertingkat dalam pelatihan sesuai dengan taraf kemampuan kader, dengan titik tekan (aksentuasinya) materinya pada masalah keorganisasian dan keislaman. Hal inilah yang menjadi dasar dan landasan awal dari sistem perkaderan HMI, karena sejak saat itu perkaderan menjadi trademark dikalangan kader HMI meskipun format yang idealnya belum terwujud.
Untuk lebih meningkatkan taraf kualitas perkaderan serta membuat suatu format perkaderan ideal yang cocok bagi HMI, maka PB HMI mengutus beberapa anggotanya untuk melakukan pengkajian dan studi banding mengenai masalah tersebut ke beberapa organisasi di luar negeri. Duta-duta HMI itu diantaranya Aisyah Amini, Mahbub Junaedi, Mahmud Yunus, dan Munir Kimin yang berangkat ke Aloka, India. Sedangkan Noersal dan Ibrahim Madilao ke Amerika sekaligus memanfaatkan Undangan Pemerintah AS. Selain ke luar negeri, PB HMI juga melakukan studi banding dan pengkajian secara teoitik dan empirik di dalam negeri. Hasil dari kunjungan dan kajian itu dicurahkan dalam suatu forum lokakarya yang diadakan PB HMI di Baros Sukabumi tahun 1959, khusus membicarakan format perkaderan HMI. Sejak peristiwa itulah HMI sudah mulai mempunyai suatu format baku dalam perkaderan meskipun belum sempurna. Penyempurnaan hasil lokakarya pertama ini dilakukan pada masa kepengurusan Oman Komaruddin (periode 1960-1963) dengan mengadakan forum seminar dan lokakarya perkaderan kedua di Pekalongan tahun 1962. Hasil-hasil forum tersebut kemudian disempurnakan lagi dan disahkan menjadi format perkaderan baku yang mempunyai sistem perkaderan berjenjang pada kongres HMI ke VII tahun 1963 di Jakarta. Sejak saat itulah HMI menjadi organisasi pertama di Indonesia yang mempunyai sistem perkaderan formal yang baku, lengkap dan berjenjang.
Penyempurnaan terhadap format perkaderan terus dilakukan HMI sebagai bentuk konsistensi HMI akan fungsinya, dengan harapan semakin baik format perkaderannya maka output-nya pun semakin berkualitas. Pada masa Sulastomo (periode 1963-1966) dan Nurcholis Madjid (periode 1966-1971)[2] sistem perkaderan ini tidak hanya sebagai bentuk formal penyaringan anggota dan peningkatan kualitas kader saja melainkan diperluas lagi sebagai salah satu prasyarat yang harus dipenuhi para calon pengurus HMI dari PB sampai Komisariat[3]. Sehingga tidak sembarang kader yang bisa jadi pengurus, tetapi harus melewati jenjang tertentu dalam perkaderan formal. Sejak zaman Cak Nur (1967) sampai tahun 1999 tercatat sudah beberapa kali sistem perkaderan mengalami pembaharuan diantaranya :
1. Tahun 1970 (zaman Cak Nur) di Pekalongan, sebagai upaya penyempurnaan dan rekomendasi kongres HMI ke IX di Malang, dimana keputusan pentingnya bahwa setiap yang namanya training di HMI harus mengacu pada buku format perkaderan yang sudah dibuat.
2. Tahun 1975 (zaman Ridwan Saidi) di Kaliurang Yogyakarta. Sistem perkaderan saat itu banyak dipengaruhi oleh munculnya gerakan pembaharuan keagamaan di Indonesia yang dipelopori Cak Nur, selain itu sedang hangatnya gerakan–gerakan Islam internasional terutama di kawasan Timur Tengah.
3. Tahun 1983 (zaman Harry Azhar Azis) di Surabaya. Pada masa ini banyak dipengaruhi oleh kondisi ketegangan antara umat Islam dengan pemerintah Orba, selain itu wacana developmentalisme yang dikembangkan Orba juga sedikit banyaknya mempengaruhi sisitem perkaderan HMI. Revolusi Islam Iran sedikit banyaknya mempengaruhi semangat dan antusiasme berislam dikalangan generasi muda Indonesia termasuk para kader HMI.
4. Tahun 1988 (zaman Saleh Khalid) di Cianjur dan Jakarta. Akibat terjadinya perubahan internal yang mendasar dalam tubuh HMI, salah satunya perubahan azas, maka dipandang perlu untuk merevisi sistem perkaderan HMI yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan zamannya. Selain itu gerakan depolitisasi mahasiswa di kampus oleh Orba dan berkembangnya logika modernisasi turut andil dalam mempengaruhi sistem perkaderan saat itu.
5. Tahun 1992 (zaman Ferry Mursidan). Sistem perkaderan hanya mengalami sedikit perubahan dan saat itu dipengaruhi oleh membaiknya kondisi politik antara umat Islam dan Orba yang ditandai dengan munculnya ICMI. Namun itu hanya pada konteks Islam ibadah belum ke Islam politik. Selain itu jargon pembangunan di segala bidang menjadi isu sentral masa itu sehingga sedikitnya mempengaruhi sistem perkaderan HMI.
6. Tahun 1997 (zaman Taufik Hidayat) di Jakarta. Saat itu dipengaruhi oleh iklim politik Indonesia yang sudah mulai goyah akibat adanya akumulasi kekecewaan terhadap pemerintah Orba.
7. Tahun 2000 (zaman Fakhrudin) di Jakarta. Sejak HMI menggunakan kembali Islam sebagai azasnya (kongres XXII di Jambi) maka sudah pasti ada banyak perubahan yang terjadi di HMI. Pedoman perkaderan sebagai salah satu hal yang dijadikan landasan bagi aktifitas HMI, sudah barang tentu mengalami perubahan yang diakibatkan oleh perubahan azasnya. Pendorong utama lokakarya pada masa ini adalah mengantisipasi perubahan azas di HMI, sekaligus membuat rancangan strategis bagi HMI pasca perubahan azas dan dalam menghadapi perubahan zaman.
Perkaderan HMI Pasca Penerimaan Pancasila
Perkaderan adalah salah satu kegiatan primer HMI, yang mana kegiatan itu meliputi segenap usaha kearah pembinaan manusia-manusia muslim (mahasiswa) Indonesia yang bertanggungjawab dan mampu berbuat sebanyak-banyaknya bagi kebaikan rakyat dan kemanusian. Perkaderan dilakukan dengan menggunakan metode-metode tertentu agar tercapai efisiensi dan efektifitas semaksimal mungkin. Karena perkaderan merupakan elan vitalnya organisasi, maka perkaderan menempati posisi yang sangat penting dalam setiap aktivitas HMI. Sebagai organisasi yang menghimpun anggota secara sukarela, posisi sistem perkaderan sangat menentukan. Melalui sistem perkaderan paling tidak diharapkan terbentuk; pertama, identifikasi anggota terhadap organisasi; kedua, berlangsung proses peningkatan kualitas anggota sebagaimana tuntutan idealitas organisasi.
Dalam sistem perkaderan hasil lokakarya tahun 1983 di Surabaya, materi-materi perkaderan lebih banyak didominasi oleh materi keislaman yang secara khusus sebagai bahan kajian meliputi enampuluh persen dari keseluruhan materi latihan. Kecenderungan proses Islamisasi dalam proses perkaderan era 80-an ini dikarenakan mulai tumbuhnya semangat atau antusiasme dari para kader HMI dalam mengkaji, menelaah, serta menerapkan Islam secara kaffah dalam setiap aktivitas dan gerak organisasi. Kesadaran untuk lebih mengentalkan identitas keislaman dalam setiap gerak langkah organisasi, terutama dalam sistem perkaderan, mulai berkembang sejak terjadinya revolusi umat Islam di Iran. Revolusi Islam Iran yang notabene gerakannya dimotori oleh kaum terpelajar, yang dilandasi kesadaran dan keyakinan utuh bahwa Islam bisa menjadi solusi atas kemandegan dan krisis multi dimensi yang terjadi di Iran saat itu. Oleh karenanya generasi muda Islam Indonesia termasuk para kader HMI terstimulir untuk bisa lebih mengentalkan identitas keislaman dalam setiap aktivitas kesehariannya. Hal itu pulalah yang menjadi faktor pendorong kenapa sistem perkaderan HMI hasil lokakarya tahun 1983 didominasi oleh materi keislaman hingga mencapai enampuluh persen serta semangat aktualisasi nilai Islam dalam setiap gerak langkah HMI sangat kental.
Ada beberapa aspek dari proses perkaderan yang tampaknya cukup berpengaruh terhadap kecenderungan Islamisasi di HMI. Pertama, penajaman rumusan misi organisasi, dalam hal ini misi perkaderan yang diintegrasikan dengan semangat sistem pendidikan Islam. Dalam pedoman perkaderan tahun 1983 disebutkan bahwa sebagai organisasi mahasiswa yang berdasarkan Islam, HMI meletakan nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Assunah pada tempat utama dan berwibawa bagi sistem pendidikan kadernya. Secara erat ia terpadu dalam sistem pendidikan Islam yang menempatkan tujuh elemen dasar konsep-konsep, yaitu; konsep agama; konsep manusia; konsep masyarakat; konsep alam; konsep keadilan; konsep akhlak; dan konsep sekolah. Keseluruhan konsep itu merupakan kesatuan bangunan dasar dari sistem pendidikan Islam dimana sistem pendidikan kader HMI dibentuk dan dikembangkan.
Kedua, materi perkaderan, yaitu pokok-pokok kajian yang diberikan selama anggota HMI mengikuti latihan-latihan kepemimpinan. Selain dominasi materi keislaman yang bersifat kajian khusus, juga materi yang sifatnya umum banyak diwarnai dengan penekanan pada nilai-nilai keislaman. HMI menjabarkan materi perkaderannya kedalam: materi Keislaman; ideologi; ke-HMI-an; keorganisasian; kekaryaan; kesekretariatan; kepemimpinan; sejarah Islam; filsafat ilmu; perguruan tinggi dan kemahasiswaan; stadium general; dan strategi taktik. Pada semua jenjang training diwajibkan adanya materi seperti: keislaman; ideologi; ke-HMI-an; perguruan tinggi dan kemahasiswaan; keorganisasian; dan sejarah Islam.
Sistem perkaderan di HMI mengalami beberapa perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Hal itu merupakan bentuk adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik diinternal organisasi maupun kondisi sosial kultural diluar HMI. Berkaitan dengan perubahan azas HMI pada kongres ke-16 di Padang, maka sebagai antisipasi atas hal itu PB HMI mengadakan seminar dan lokakarya (saloka) perkaderan di Surabaya pada tanggal 9 – 14 April 1988. Hasil saloka ini diharapkan bisa menjadi pedoman sistem perkaderan bagi seluruh kader HMI pasca perubahan. Perbedaan yang paling pokok dalam pedoman sistem perkaderan 1988 dengan pedoman perkaderan yang lainnya adalah bahwa pedoman kali ini telah mempertimbangkan perubahan-perubahan internal HMI pada kongres ke-16 di Padang, dan juga telah berusaha mempertimbagkan iklim perguruan tinggi yang dalam satu dasawarsa ini mengalami perubahan. (PB HMI: 1992)
a. Landasan Perkaderan
Seluruh proses perkaderan yang dilaksanakan oleh HMI diarahkan untuk bisa mewujudkan tujuan HMI. Dalam menentukan arah perkaderannya, HMI bertitik tolak pada beberapa landasan atau pijakan pokok sebagai acuan dasar dalam keseluruhan proses perkaderan. Dalam pedoman perkaderan ’83 terdapat enam hal yang dijadikan pijakan pokok / landasan bagi arah perkaderan HMI, yaitu; landasan idiil; konstitusional; strategis; kultural; dan landasan operasional.
Landasan idiil HMI adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mengingat HMI merupakan organisasi yang berdasarkan pada Islam, maka landasan ideal HMI dalam melakukan seluruh aktivitasnya, tak terkecuali dalam sistem perkaderannya, harus berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. AD/ART[4] HMI merupakan landasan konstitusional perkaderan HMI, karena didalamnya terdapat aturan-aturan konstitusi yang mengatur tentang keharusan adanya perkaderan dan arah perkaderan (pasal 5 AD), peserta perkaderan (Pasal 8 AD), pengelolaan perkaderan (Pasal 3 AD) kualifikasi anggota (Pasal 1 s.d. 4 ART), prosedur menjadi anggota (Pasal 5 ART), hak dan kewajiban anggota (Pasal 6 dan 7 ART).
Dalam landasan strategis dijelaskan bahwa perkaderan HMI berpijak pada tujuan perkaderan itu sendiri, dimana ada dua dimensi didalam mewujudkannya. Dimensi perkaderan sebagai upaya menciptakan insan HMI, dan dimensi perjuangan sebagai tekad juang pendayagunaan potensi kekaderan dalam rangka mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Landasan kultural perkaderan didasarkan pada kenyataan masarakat Indonesia yang heterogen. HMI memandang bahwa kebhinekaan dalam budaya, nilai, suku, adat-istiadat, dan agama adalah merupakan kesatuan utuh dari budaya bangsa itu sendiri. Maka HMI dalam perkaderannya melandaskan pijakannya pada landasan budaya bangsa dan kbhinekaan budaya anggotanya, karena disadari bahwa para kader HMI berangkat dari latarbelakang budaya yang berbeda sehingga pedoman perkaderan harus mampu adaptif terhadap kenyataan yang ada. Sedangkan yang dijadikan landasan oprasional perkaderan adalah program kerja nasional (PKN) serta pedoman perkaderan HMI.
Berbeda dengan pedoman perkaderan ’83, dalam pedoman perkaderan ’88 hasil perubahan dalam saloka, maka yang dijadikan landasan / pijakan pokok dari arah perkaderan HMI terbagi dalam empat landasan, yaitu; landasan Nilai; historis; konstitusi; dan landasan tuntutan perjuangan bangsa. Pertama landasan nilai. Pada dasarnya landasan nilai sama dengan landasan idiil dalam pedoman perkaderan ’83, hanya perubahan istilah saja, sebab meskipun telah terjadi perubahan azas HMI dari Islam menjadi Pancasila namun HMI tetap menjadikan Islam sebagai landasan juangnya. Hal itu diperkuat dalam konstitusi dimana disebutkan bahwa HMI menghimpun mahasiswa yang beridentitaskan Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah (pasal 3 AD)
Kedua landasan historis, dalam rangka mewujudkan cita-cita historis perjuangan HMI ke masa depan, HMI kemudian mempertegas posisinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi melaksanakan tanggungjawabnya bersama seluruh rakyat Indonesia mewujudkan tercapainya cita-cita nasional. Melihat komitmen HMI pada wawasan sosiologis dan historis berdirinya pada tahun 1947, yang juga telah dibuktikan dalam sejarah perkembangannya, maka pada hakikatnya segala bentuk pembinaan kader HMI harus pula tetap diarahkan dalam rangka pembentukan pribadi kader yang sadar akan keberadaannya sebagai pribadi muslim, khalifah fil ardhi, dan pada saat yang sama kader tersebut harus menyadari pula keberadaannya sebagai kader bangsa Indonesia yang memikul tanggungjawab mewujudkan cita-cita bangsa ke masa depan.
Ketiga landasan konstitusi, dalam AD/ART[5] ditegaskan bahwa HMI memiliki fungsi sebagai organisasi kader (pasal 9 AD) serta berperan sebagai sumber insani pembangunan (pasal 10 AD), statusnya sebagai organisasi kemahasiswaan (pasal 8 AD) yang bersifat independen (pasal 7 AD). Dalam seluruh proses perkaderan HMI senantiasa berlandaskan pada identitas (pasal 3 AD) dan azas (pasal 4 AD), hal ini mencerminkn bahwa dalam dinamikanya senantiasa mengemban tugas, tanggungjawab dan semangat yang integralistik antara keislaman dan keIndonesiaan.
Keempat landasan tuntutan perjuangan bangsa. HMI sebagai organisasi mahasiswa yang merupakan bagian integral bangsa Indonesia yang berperanan sebagai sumber insani Pembangunan, dituntut membentuk kader-kader nasional yang memiliki integritas pribadi muslim, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kualitas intelektual serta mampu melakukan kerja-kerja profesional ut merealisir cita-cita pergerakan kemerdekaan kebangsaan Indonesia.
Perubahan terhadap sistem perkaderan terjadi lagi pada tahun 1997 dimana perubahan ini didasarkan atas hasil lokakarya perkaderan pada bulan Mei tahun 1997 di Jakarta dan disahkan pada kongres HMI ke XXI di Yogyakarta pada Agustus 1997. Dalam pedoman perkaderan ‘97, tidak banyak mengalami perubahan dalam hal landasan yang digunakan dalam sistem perkaderannya. Perbedaan yang ada hanya dalam beberapa hal, diantaranya munculnya satu landasan baru yang dijadikan acuan yaitu landasan sosio kultural bangsa Indonesia. Pedoman perkaderan HMI 97 memperlihatkan satu kecenderungan dimana HMI memperlihatkan sikapnya terhadap diskursus perjuangan Islam Indonesia yang sedang mengemuka pada saat itu, yaitu tentang pola gerakan apa yang harus dilakukan umat Islam dalam mengangkat derajat umat serta memperjuangkan Islam di Indonesia. Diskursus yang cukup menarik pada era itu adalah apakah umat Islam harus mengambil jalan Islam struktural atau Islam kultural, untuk memperjuangkan Islam di Indonresia.
HMI mengambil sikap yang cukup bertolak belakang dengan gerakannya selama ini yang sering dianggap sebagai organisasi yang berjuang dijalur struktural. Hal ini bisa dilihat dalam landasan sosio-kultural yang dijadikan landasan dalam pedoman perkaderannya. Dalam landasan ini dikemukakan bahwa sejarah perkembangan Islam di Indonesia membuktikan bahwa Islam kultural merupakan cara yang paling efektif dalam memperjuangkan Islam sejak Islam datang ke Indonesia. Maka HMI cenderung bersikap bahwa Islam kultural tetap harus dilakukan, meskipun gerakan Islam struktural pun tidak boleh ditinggalkan. Oleh karena itu dalam landasan sosio-kulturalnya secara tegas dikemukakan bahwa Islam kultural masih cukup efektif dalam memperjuangkan Islam, terutama dalam era globalisasi dimana arus informasi serta pengaruh budaya luar semakin deras masuk ke Indonesia.
Membandingkan tiga sistem / pedoman perkaderan HMI yang pernah dijalankan HMI sejak awal tahun 80-an sampai akhir 90-an, khususnya dalam hal landasan / acuan yang dipakai dalam menjalankan sistem perkaderannya, bisa dilihat adanya sikap yang berusaha adaptif dengan perkembangan kondisi sosial politik serta kultur bangsa Indonesia. Pedoman perkaderan ‘83 yang digunakan HMI sebelum perubahan azas, memperlihatkan satu sikap yang tegas dalam memandang
Islam sebagai way of life, baik secara individu kadernya maupun aktivitas organisasi. Bahkan secara tekstual dicantumkan dalam landasan idiil perkaderannya ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang dijadikan landasan gerak perkaderan. Berbeda dengan pedoman perkaderan ‘88, dimana HMI sudah berubah azasnya menjadi pancasila memperlihatkan satu sikap untuk bisa lebih kooperatif dengan penguasa. Hal ini bisa dilihat dari munculnya landasan tuntutan perjuangan bangsa sebagai satu bentuk pembenaran akan pilihan yang telah diambil HMI dalam kongresnya. Disini HMI memaparkan bahwa perjuangan Islam oleh HMI senantiasa harus sinergis dengan perjuangan bangsa Indonesia sebab pada dasarnya kelahiran HMI sebagai suatu gerakan yang berusaha ikut serta dalam perjuangan Indonesia.
Sedangkan pada pedoman perkaderan ‘97 memperlihatkan bagaimana HMI berusaha merespon perkembangan sosial kultural dan politik di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dalam landasan tuntutan perjuangan bangsa yang memaparkan tentang sikap HMI dalam merespon proses pembangunan di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah waktu itu. HMI berupaya agar para kadernya mampu terlibat secara aktif dalam proses pembangunan yang digalakkan pemerintah dengan mencoba mendekatkan realitas sosial masyarakat Indonesia dalam setiap aktivitas perkaderannya. Selain itu HMI berharap agar kadernya bisa menjadi problem solver ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang sedang mengalami masa transisi akibat proses pembangunan dan globalisasi. Selain itu, gerakan kultural Islam Indonesia dijadikan satu acuan bagi gerakan HMI dalam menjawab tantangan globalisasi dan modernisasi yang terjadi di Indonesia.
b. Pola Dasar Perkaderan
Semua bentuk aktifitas perkaderan di HMI menggunakan pendekatan sistematik yang disusun dengan semangat integralistik guna tercapainya tujuan organisasi. Pola dasar perkaderan HMI dibuat secara nasional, dimana aspek konsepsional dan praktis diterapkan secara menyeluruh oleh setiap cabang HMI di seluruh Indonesia dalam menjalankan aktifitas perkaderannya. Seluruh aktifitas perkaderan dari sejak rekruitmen sampai follow up pasca perkaderan telah dibakukan secara nasional, sehingga seluruh cabang mempunyai pegangan dan acuan yang sama dalam melakukan aktifitas perkaderan. Meskipun begitu, setiap cabang diberikan keleluasaan untuk melakukan inovasi dari pedoman perkaderan nasional dalam menerapkannya di cabangnya masing-masing. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa setiap cabang mempunyai karakteristik serta problematikannya sendiri dalam menjalankan aktifitas perkaderan.
Pola dasar perkaderan secara umum dapat dibuat dalam dua kategori, aspek konsepsional dan aspek praktis. Aspek konsepsional berkaitan dengan tujuan pembentukan kader yang diharapkan HMI, pemahaman bentuk perkaderan HMI, kriteria kualitas calon kader HMI, dan metode perkaderan yang diterapkan HMI. Sedangkan aspek praktis berkenaan dengan kurikulum yang diterapkan dalam setiap perkaderan. Dari aspek konsepsional, secara garis besar tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan, baik ketika HMI masih menggunakan Islam sebagai azasnya maupun setelah berubah. Maka dalam pembahasan pada sub bab ini akan lebih dititikberatkan pada aspek praktis yaitu kurikilum yang dibuat dan diterapkan HMI, karena mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Pada pedoman perkaderan tahun 1975 dan 1983, kurikulum yang dibuat berisikan beberapa materi yang lebih menitik beratkan pada aspek keagamaan. Materi-materi keagamaan mendapat porsi yang cukup banyak sekitar 60% dari seluruh materi dalam kurikulum nasional. Materi ini berupa; materi keislaman, materi ideologi, dan sejarah Islam. Materi keIslaman dibuat dalam beberapa sub materi seperti masalah akidah, akhlak dan fiqh kontemporer. Sedangkan dalam materi ideologi menitikberatkan pada komparasi ideologi yang berlandaskan pada agama dan ideologi sekuler. Materi sejarah Islam dibuat dalam dua sub materi, yaitu sejarah perkembangan Islam di dunia dan sejarah Islam Indonesia. Materi selain keagamaan yang porsinya sekitar 40% lebih menitikberatkan pada pengetahuan ke-HMI-an, keorganisasian dan wacana umum. Materinya antara lain; ke-HMI-an, keorganisasian, kesekretariatan, kepemimpinan, kekaryaan, filasaft ilmu, perguruan tinggi dan kemahasiswaan, serta stadium general. Seluruh materi dalam kurikulum nasinal ini diterapkan dalam semua jenjang perkaderan HMI.
Perubahan signifikan dalam pedoman perkaderan sejak HMI merubah azasnya bisa dilihat pada pedoman perkaderan tahun 1988, yaitu munculnya beberapa materi yang disesuaikan dengan kondisi yang ada baik diinternal maupun eksternal HMI. Secara internal, dinamika dalam tubuh HMI yang sedang mengarah pada keretakan akibat adanya penolakan terhadap keputusan hasil kongres, membuat HMI harus bisa mengakomodir serta menjawab permasalahan yang sedang dihadapinya. Sedang secara eksternal dimana kondisi sosial politik yang kurang menguntungkan bagi HMI akibat hegemoni penguasa membuat HMI harus bisa kooperatif serta adaptif dengan situasi tersebut. untuk mengatasi masalah yang dihadapinya tersebut maka muncullah materi baru yang antara lain adalah materi Nilai Identitas Kader (NIK) dan materi keutuhan Islam, Pancasila dan UUD ’45.
Pertama Materi NIK, sebetulnya secara inhern telah ada pada pedoman perkaderan sebelumnya, dimana materi ini masuk sebagai sub materi keislaman. NIK sebelum perubahan azas bernama Nilai Dasar Perjuangan (NDP), namun seiring perubahan azas maka namanya pun berubah tapi isinya tidak berubah. Materi NIK muncul sebagai sebuah materi utuh dikarenakan adanya keinginan agar nilai-nilai keIslaman bisa lebih dipahami secara inklusif oleh para kader HMI.
Kedua materi Keutuhan Islam, Pancasila dan UUD ’45. Materi ini muncul pasca HMI meubah azasnya menjadi Pancasila. Menurut Anas Urbaningrum[6], dibuatnya materi ini oleh HMI pada waktu itu merupakan sebuah bentuk sifat akomodatif HMI terhadap perkembangan yang ada. Diskursus tentang Islam dan Pancasila begitu ramai dibicarakan dimana-mana, oleh karenanya HMI mencoba memposisikan diakursus itu dalam sebuah bingkai akademis. Hal ini dimaksudkan agar daya analitis kritis para kader dalam menghadapi kondisi di internal dan eksternal HMI pasca lahirnya UU keormasan dapat dijawab secara rasional bukannya emosional. Sedangkan menurut Undang Hidayat[7], materi ini muncul dalam pedoman perkaderan telah membuktikan bahwa tekanan eksternal yang begitu kuat terhadap eksistensi HMI menyebabkan HMI berupaya membuktikan bahwa HMI tidak anti Pancasila, namun HMI justru mencoba mengintegralistikan tiga komponen yang ada, yaitu Islam, Pancasila dan UUD ’45, dalam setiap aktifitasnya. Keinginan untuk membuktikan itulah yang menyeret HMI memuculkan materi tersebut, meskipun HMI mencoba membedahnya secara analitis kritis.
Pada pedoman perkaderan HMI tahun 1997, kembali mengalami beberapa perubahan dalam pola dasar perkaderannya. Perubahan ini terjadi sebagai suatu upaya HMI untuk bisa merespon serta menjawab situasi dan kondisi perkembangan zaman. Materi tentang keutuhan Islam, Pancasila, dan UUD ’45 dihilangkan dalam kurikulum nasional dan diganti dengan materi Islam dan pluralitas bangsa. Juga munculnya beberapa materi baru diantaranya; wawasan IPTEK dan pembangunan nasional, HMI-wati dan dinamika gerakan perempuan, pengantar ideologi, politik dan strategi taktik.
Munculnya materi Islam dan pluralitas bangsa menurut Agus Salimsitompul[8], sebagai jawaban atas perubahan arah kebijakan pemerintah orba yang sudah lebih akomodatif dengan kelompok Islam. Selain itu, masalah pluralitas bangsa diyakini HMI sebagai kenyataan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia, namun hal itu justru harus dijadikan sebagai modal bagi proses pembangunan masyarakat Indonesia. Untuk itu HMI mencoba secara lebih akademis membahasnya dalam sebuah materi perkaderan agar para kader HMI tidak terjebak pada primordialisme yang bertentangan dengan sifat independensi HMI.
Pendapat lain mengenai perubahan materi ini dikemukakan oleh Anas Urbaningrum, bahwa hal ini bukan suatu spontanitas dari HMI menyikapi kondisi pada saat, melainkan suatu proses yang cukup panjang dimana eksistensi HMI sejak awal tahun 90-an dalam pola gerakannya sudah jauh berbeda dengan era ‘80-an. Perubahan arah kebijakan pemerintah orba memang sedikit berpengaruh pada masalah ini, namun materi ini muncul justru karena HMI sudah lama memandang bahwa pada era ‘80 pemerintah orba seolah-olah menafikan adanya pluralitas ditengah masyarakat dengan berbagai upaya pengintegralan berbagai hal sebagai cara untuk persatuan kesatuan masyarakat Indonesia. Oleh karenanya HMI ingin memberikan perspektif baru –terutama bagi para kadernya– bahwa pluralitas itu sebagai kenyataan yang mesti ada dan dijadikan modal.
Sedangkan munculnya materi wawasan IPTEK dan pembangunan nasional, merupakan bentuk respon HMI dengan perkembangan kekinian yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Peran HMI seperti yang dinyatakan dalam anggaran dasarnya sebagai sumber insani pembangunan (pasal 10 AD)[9] dituntut secara moral untuk ikut serta secara aktif dalam setiap proses pembangunan yang telah dicanangkan pemerintah. HMI memandang bahwa partisipasi dalam pembangunan harus tetap dilandasi oleh pemikiran rasional dan kritis serta memperlihatkan keberpihakan pada kesejahteraan dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, konsepsi pembangunan tentang pembangunan harus dikaji secara akademik agar seluruh proses pembangunan yang dijalankan tidak lantas mengorbankan hak-hak serta rasa keadilan masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan HMI untuk mengantisipasi hal tersebut adalah berupaya menciptakan kualitas kader HMI yang punya kemampuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi agar kader HMI bisa berpartisipasi secara aktif ditengah-tengah masyarakat.
Secara umum dalam bebeberapa pedoman perkaderan HMI yang mengalami perubahan-perubahan sejak tahun 1988, khususnya dalam pola dasar perkaderannya, memberikan gambaran yang cukup jelas bagaimana sikap HMI kaitannya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah orde baru dalam menjalankan roda pemerintahannya. HMI yang sejak tahun 1986 merubah azasnya dengan Pancasila, berupaya untuk bisa beradaptasi dengan berbagai arah kebijakan orba, agar dalam setiap aktivitas keorganisasian tidak mengalami kendala secara struktural dari pemerintah yang berkuasa. Selain itu, perubahan dalam pola dasar perkaderan ini menunjukan bahwa HMI berupaya untuk bisa merespon perkembangan zaman agar para kader HMI mempunyai bekal yang cukup ketika berkiprah di masyarakat nanti. Sedangkan dari segi efek perubahan pedoman perkaderan yang terjadi dalam tubuh HMI sejak terjadinya perubahan azas menurut Anas Urbaningrum, tidaklah terlalu significant mempengaruhi pemikiran keislaman HMI, sebab meskipun terjadi perubahan dalam pola dasar perkaderan HMI bukan berarti menghilangkan sebagian besar kajian keislaman. Munculnya materi seperti Keutuhan Islam, Pancasila, dan UUD ’45, tidak lantas menjadikan kader HMI luntur ghirah keislamannya. Justru kehadiran materi tersebut membawa efek positif bagi para kader HMI karena membiasakan untuk memahami Islam secara multi perspektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar