SEJARAH
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)
Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) adalah sebuah organisasi Islam kalangan mahasiswa muslim
di Indonesia. Organisasi ini begitu strategisnya di era sekarang ini, hingga
sebagian besar nama-nama besar politikus muslim di Indonesia berasal dari HMI.
Sejarah
Berdiri dan Tokoh-tokohnya
HMI
didirikan di Yogyakarta, Jawa Tengah, Indonesia, pada 5 Februari 1947. Ketika
itu keadaan politik di Indonesia masih di tandai oleh daya upaya bersemangat
rakyat, melalui revolusi, untuk memenangkan kemerdekaan nasional dari
kekeuasaan Belanda.
Berdirinya
HMI banyak diilhami oleh gagasan-gagasan yang dirumuskan oleh Jong Islamieten
Bond dengan Islam Studies Club-nya. Itulah sebabnya HMI banyak memusatkan
perhatiannya pada tujuan-tujuan jangka panjang Jong Islamieten Bond. Tujuan
semu ingin meyakinkan para cendekiawan muslim muda agar sambil mengejar
pendidikan akademisnya, juga menjunjung agama Islam. Dengan menempuh ikhtiar
demikian itulah mereka dapat ditempa menjadi intelektual ulama, sekaligus
ulama-intelektual.
Prakarsa
untuk mendirikan HMI dilakukan oleh beberapa orang mahsiswa universitas Islam
di Yogyakarta, Jawa Tengah, atau di sekolah tinggi Islam. Mereka kemudian
menjadi kalangan pemimpin yang pertama. Lafran Pane, Kartono, Dahlan Husein,
dan Maisaroh Hilal, semuanya mahasiswa sekolah tinggi Islam. Mewreka
menyelenggarakan sebuah pertemuan untuk membicarakan bagaiman seharusnya
menghadapi tantangan zaman dan menyusun pedoman sebagai penyalur cita-cita para
cendekiwan muslim muda. Pertemuan yang dipimpin oleh Lafran Pane itu
diselenggrakan di sebuah gedung yang sekarang dimiliki oleh Pastoran Katolik
Roma di Jalan Senopati 30, Yogyakarta. Pertemuan diadakan pada 5 Februari 1947,
dalam hari kuliah seperti biasa. Kuliah hari itu mengenai tafsir Qur'an yang di
berikan oleh Profesor Hussin Yahya, dahulu dekan jurusan Sastra Arab pada IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Setelah mendapat persetujuan professor, Lafran Pane
memberikan pernyataan resmi bahwa sebuah organisasi untuk semua mahasiswa
muslim telah didirikan dan diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam (disingkat
HMI).
Ketika
diwawancarai, Lafran Pane menegaskan bahwa keputusan yang tergesa-gesa untuk
mendiriakn organisasi tersebut disebabkan oleh kebutuhan mendesak bagi para
cendekiawan muslim muda untuk ikut serta di dalam perjuangan kemerdekaan
nasional dan terutama untuk melestarikan dan mengamankan ajaran-ajran Islam.
Pertemuan tersebut mensahkan Lafran pane sebagi ketua pertama, HMI. Kemudian,
beberapa orang lain dari kelompok pemula ini menjadi pimpinan-pimpinan
terkemuka tersebut. Di antaranya, Sanusi, seoarang insinyur dan belakangan
menjadi menteri dalam kabinet RI dari partai Masyumi; Anton Timoer Jaelani,
mantan Inspektur Jenderal Departemen Agama dan berijazah, M.A. dari McGill
University di kanada; dan Akhmad Tirtosudiro, Jenderal Angkatan Darat.
Kegiatan
HMI di Bidang Pendidikan
Umat
Islam Indonesia dalam berbagai cara telah berusaha meningkatkan kualitas
organisasi sosioedukasi dan politiknya. Pendidikan agama pertama-tama diberikan
di rumah, di tengah-tengah kelurga, tatkala anak masih balita. Tujuan utama
pendidikan pada tingkat ini ialah untuk mengajar anak agar dapat membaca dan
menghafalkannya beberapa surat Alquran, serta untuk menghafalkan doa-doa pendek
untuk kegiatan sehari-hari, seperti doa hendak makan, setelah makan, hendak
tidur, setelah tidur, dll.
Untuk
pendidikan lebih lanjut, pada kesempatan-kesempatan tertentu, anak juga
diharuskan belajar kepada seorang guru. Pada tingkat dasar pendidikan ini tidak
dilakukan usaha-usaha agar anak dapat memahami Alquran. Pelajaran disampaikan
kepada para siswa yang duduk mengelilingi guru, dan tidak di dalam sebuah kelas
yang teratur. Disamping pelajaran membaca Alquran, para murid di perintahkan
untuk melakukan salat Jumat. Pada umumnya pelajaran diadakan pada waktu sore
dan petang hari. Mereka yang tidak ingin melanjutkan pelajarannya lebih lanjut
dapat berhenti pada tingkat dasar ini. Tetapi, bagi mereka yang ingin
memperoleh pengetahuan lebih luas, terdapat banyak lembaga-lembaga lain, yang
di Jawa terkenal dengan nama pesantren (pondok pesantren), dan di Sumatera
dengan nama Surau. Di pondok pesantren ini para siswa diberi pelajaran bahasa
arab dan jurisprudensi Islam (usul al-figh). Pada lemabaga-lembaga ini pula
para siswa diajarkan memahami isi Alquran dan hadis. Di Jawa pemimpin pondok
pesantren disebut kiai, sedangkan siswa-siswinya disebut santri. Selanjutnya,
istilah santri biasa digunakan sebagai istilah teknis yang di peruntukan bagi
para muslim Indonesia yang saleh, melaksanakan dengan sadar lima rukun Islam.
Adapun muslim yang sekedar nama, yang sangat tidak acuh di dalam melaksanakan
ajaran-ajaran Islam, dikenal sebagai abangan (Islam abangan).
Selain
bertujuan agar pandai membaca Alquran dan mengerti tentang agama, para santri
memasuki pesantren juga ada maksud lain, yaitu untuk dapat berbagai
berkat/barakah (karunia magis) dari sang kiai. Di mata umat, kiai adalah tokoh
ulama yang memiliki bebagai pengetahuan tentang Islam, sekaligus sebagai tokoh
spiritual yang disegani masyarakat. Seorang kyai bukan sekadar seorang manusia
dengan ilmu pengetahuan keagamaan, tetapi juga seorang yang dianugerahi dengan
kekuatan (pancaran karunia) illahi, yang pendapatnya di dalam segala masalah
dianggap sebagian besar ummat tak bisa salah, dan orang yang harus ditaati
tanpa bertanya.
Holland
Indische School (HIS) dan Schakel School adalah sekolah untuk tingkat dasar
atau tingkat pertama. Lembaga-lembaga pendidikan ini sekular sama sekali, namun
demikian agama diajarkan untuk memberikan moral kepada para pealajar. Dalam
masa perjuangan bersenjata, sebuah universitas Islam didirikan di Yogyakarta
yang pada tahun 1951 pindah ke Solo. Pada saat selanjutnya lembaga-lembaga
serupa didirikan pula di daerah-daerah lain, yang sepenuhnya di bawah naungan
kementerian agama dan bukan kementerian pendidikan dan kebuadayaan. Untuk
meningkatkan pendidikan agama pada tingkat yang lebih tinggi, didirikan pula
Perguruan Tinggi Agam Islam Negeri (PTAIN) yang kemudian berganti nama menjadi
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di semua ibu kota propinsi.
Karena
campur tangan pemerintah serta adanya ide-ide pemikiran sekular dari para tokoh
sekular, dalam perkembangannya sekarang ini IAIN lebih bercorak sebagai sebuah
perguruan agama Islam yang bersifat sekular. Secara tidak disadari di kalangan
para cendekiawan muslim jebolan perguruan sekular lebih berorientasi kepada
ilmu (knowledge oriented) atau islamologi.
Selain
meningkatkan mutu pendidikan, organisasi sosial yang berusaha meningkatkan
kesejahteraan sosial kaum muslim juga didiriakan. Organisasi pertama dengan
corak demikian itu di Jawa dimulai dalam tahun 1905 dengan nama Jamiat Khair.
Meskipun sebagian besar anggotanya adalah orang-orang Arab atau keturunan Arab,
tercatat juga sedikit nama-nama pribumi. Salah seorang di antaranya ialah K.H.
Ahmad Dahlan, orang yang kemudian terkenal sesudah berhasil mendirikan sebuah
organisasi pembaharu yang paling berpengaruh bagi kaum muslim hingga sekarang
ini, yaitu gerakan Muhammadiyah.
Jamiat
Khair sangat giat dalam mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari tingkat dasar
sampai tingkat menengah dan dengan penekanan pengajaran pada berbagai mata
pelajaran, seperti misalnya ilmu hitung, sejarah ilmu bumi, dan sebagainya.
Bahasa pengajaran bahasa Indonesia, karena kebanyakan anak-anak Arab itu sampai
sekarang pun lebih banyak yang berbahasa Indonesia daripada berbahasa Arab.
Diajarkan pula bahasa Inggris, bukan Belanda. Beberapa orang guru didatangkan
dari negara-ngara Arab. Di antara mereka yang terkemuka ialah orang yang
bernama Akhmad Soorkati dari Sudan. Ia kemudian mendirikan sebuah oganisasi
dengan nama Al-Iryad (Al-Irsyad Al-Islamiyah). Akibat pertentangan di dalam
tubuh Jamiat Khair itu sendiri menyebabkan Akhmad Soorkati mendirikan
Al-Irsyad. Gerakan Al-Irsyad lebih berwatak tegas yang cocok dengan semangat
cita-cita kaum pembaharu atau modernis Muslim. Titik berat lebih di tekankan
kepada mempelajari tauhid (keesaan Tuhan), usul al-figh, dan sejarah, karena
bagi mereka pendidikan pertama-tama berarti memepersiapkan manusia untuk menjawab
seruan Tuhan, siap berkorban jiwa dan raga tanpa syarat. Pendidikan ditinjau
dari sudut itu ialah mendidik demi kewajiban dan ibadah terhadap Tuhan.
Keterlibatannya yang mendalam terhadap panggilan untuk menyebarkan cita-cita
kaum pembaharu muslim, gerakan Al-Irsyad pun telah mengilhami kaum muslim di
Indonesia dengan cita-cita kemerdekan dan persamaan. Sesungguhnya cita-cita
inilah yang telah menjadi penyebab, selain sebab-sebab lainnya, terjadinya
perselisihan di antara mereka dan dengan Jamiat Khair. Tetapi, itulah pula
mengapa Al-Irsyad mendapat dukungan luas di kalangan awam dan mempunyai
pengaruh lestari hingga sekarang.
Sebuah
organisasi yang dinamakan Perserikatan Ulama, serupa dengan Jamiat Khair Arab
itu, didirikan oleh kaum muslim Indonesia yang terutama terdiri dari para
'ulama'. Pemrakarsanya ialah H. Abdul Halim dari Majalengka Jawa Barat. Ia
berpendidikan di Mekah dan sangat paham terhadap karya-karya al-Afghani dan
'Abduh. Organisasi ini banyak memiliki dan mengelola sekolah-sekolah yang
mengajarkan mata pelajaran sekuler modern. Yang terpenting di antaranya ialah
lembaga pendidikan yang dinamakannya Santi Asrama, kata-kata sansekerta
dipakainya untuk nama itu dan bukan Arab. Pelajaran sekular tersebut tidak hanya
terdiri pelajaran-pelajaran yang bersifat umum, tetapi juga pelajaran tentang
kerajinan tangan, perdagangan, dan pertanian. Perserikatan Ulama dengan tegas
menentang gagasan pemisahan total antara masalah surgawi dan duniawi, atau
antara agama dan negara, serta tegas berpihak pada mazhab hukum Syafi'i.
Pada
tahun 1912 berdiri sebuah organisasi keagamaan Islam pembaharu oleh K.H. Ahmad
Dahlan yang diberi nama Muhamadiyah di Yogyakarta. Tujuan utama organisasi ini
ialah untuk menyebarkan keimanan Islam di kalangan penduduk dan untuk
meningkatkan kehidupan beragama di kalangan anggotanya. Seperti halnya gerakan
lain yang memiliki kecenderungan pembaharuan, maka untuk mencapai tujuannya
tersebut didirikanlah sekolah-sekolah, balai-balai pengobata, rumah sakit,
rumah-rumah yatim piatu, took-toko, hingga universitas dengan mata pelajaran
keagamaan dan nonkeagamaan serta dengan melaksankan dakwah Islam
seluas-luasnya.
Pada
tahun 1920, menyusul gerakan keagamaan yang hampir sama dengan Muhamadiyah,
namun sedikit lebih keras adalah yang didirikan oleh A. Hasan di Bandung, Jawa
Barat. Organisasi ini menempuh sikap bermusuhan yang lebih keras terhadap
penguasa pendudukan Jepang, dan menyelenggarakan perdebatan umum dengan
orang-orang yang memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang doktrin-doktrin
keagamaan. Seperti gerakan-gerakan lain yang berkeyakinan sebagai pembaharu,
tujuan utamanya ialah menyeru umat manusia untuk memenuhi kewajibannya,
melaksanakan sepenuhnya hukum Islam sebagaimana di perintahkan oleh Alquran dan
sunah.
Tahun
1925 berdiri Jong Islamieten Bond oleh seseorang yang bernama R. Sam,
belakangan terkenal dengan nama Syamsurijal, mantan walikota Jakarata dan
anggota aktif partai poltik Islam, Sarekat Islam. Berkat kegiatan Jong
Islamieten Bond ini banyak cendekiawan Muslim muda yang tercegah meluncur jauh
dari ajaran-ajaran Islam, sementara mereka tetap tekun menuntut ilmu
pengetahuan. Melalui Islam Studie Club, salah satu program di antara
kegiatan-kegiatan Jong Islamieten Bond, mereka memperbincangkan masalah-masalah
mutakhir yang penting, seperti misalnya "Islam dan Kebebasan
Berpikir", "Poligami dan Islam", "Perang dan Etika di dalam
Islam", "Peranan dan Kedudukan Wanita di dalam Islam",
"Islam dan Nasionalisme", dan lain-lain. Sebagai organisasi pembaharu
bagi kaum cendekiawan muslim muda, Bond ini tidak pernah kehilangan wataknya
yang berkebangsaan. Riwayatnya tamat oleh pemerintahan pendudukan Jepang.
Tahun
1905, K.H. Samanhudi di Jawa Tengah mendirikan Sarekat Dagang Islam. Ia
merupakan sebuah organisasi dagang untuk membantu para pedagang muslim,
bersaing dengan lebih berhasil menghadapi kemajuan pedagang Cina yang sedang
berkembang. belakangan nanti, ketika organisasi ini mendapatkan nama barunya,
Sarekat Islam dalam tahun 1912, pimpinan Haji Samanhudi digantikan oleh H.O.S.
Tjokroaminoto, seorang yang memiliki kharisma besar, seorang bangsawan
terpelajar dengan pengalaman lama didalam birokrasi pemerintahan. Di bawah
pengaruhnyalah lingkup organisasi ini meluas, bukan hanya masalah-masalah perdaganagn
dan ekonomi, tetapi juga sosoial, keagamaan, dan politk sekaligus. Pergantian
namanya itu benar-benar mencerminkan kawasan garapannya yang luas.
Sesudah
masa penyusunan di bawah pimpinan Tjokroaminoto, Sarekat Islam di pimpin oleh
dua orang terkemuka yang seperti Tjokroaminoto juga kemudian menjadi pejuang
kemerdekaan terkemuka di gelanggang politik, yaitu Haji Agoes Salim dan Abdul
Muis. Di bawah pimpinan tiga orang tokoh tersebut Sarekat Islam berkembang
sangat pesat. Pada konggresnya yang pertama tahun 1916 anggotanya telah
mencapai 360.000 orang. Karena sikapnya yang berpihak kepada rakyat banyak
dalam perjuangan mereka melawan yang berkuasa.
Watak
militan yang semakin berkembang pada organisasi ini menimbulkan ketakutan bagi
kalangan pemerintah, sehingga tahun 1918 ketika parlemen kolonial, Volksraad
(Dewan Rakyat), itu dibuka secara resmi, pemerintah kolonial mengakui Sarekat
Islam untuk mewakili kepentingan pribumi di dalam badan legislatif tersebut.
Ketika popularitas organisasi ini semakin kentara, golongan-golongan lain
berusaha mengendalikan gerakan ini. Yang terpenting di antaranya ialah
golongan-golongan yang berkecenderungan komunis dan terpengaruh keberhasilan
revolusi Rusia yang baru saja berlalu.
Menyadari
pesatnya organisasi ini, pemerintah berusaha merongrongnya dengan cara
menempatkan tokoh-tokoh pemimpin sayap kiri di cabang-cabang lokal. Dalam
perkembangannya, terjadi jarak antara pimpinan pusat dengan daerah, sehingga
timbul permasalahan komunikasi di mana pusat tidak bisa mengontrol kegiatan di
daerah. Gerakan tokoh kiri, seperti Semaun dan Darsono dengan dibantu oleh
Hendrik Sneevliet, seorang anggota partai sosialis di Negeri Belanda, akhirnya
berhasil menguasai pimpinan atas cabang lokal Sarekat Islam di Semarang, Jawa
Tengah. Di bawah pimpinan tiga tokoh kuat ini, idiologi Komunis disusupkan ke
dalam politik nasional Sarekat Islam.
Tahun
1923, melalui tindakan tegas yang dipaksakan oleh konggres, mereka yang
berkecenderungan komunis dipaksa untuk mendirikan organisasi sendiri. Pertama
dikenal dengan nama Sarekat Islam Merah yang kelak akan menjadi Partai Komunis
Indonesia. Partai Komunis terus giat hingga pada permulaan pendudukan Jepang,
ketika itu kemudian dilarang, tetapi timbul kembali sesudah perang dunia II.
Selama perjuangan kemerdekaan, partai ini ikut ambil bagian dalam merebut
kemerdekaan, tetapi kemudian ditindak oleh pemerintah Indonesia di kemudian,
karena keterlibatannya dalam usaha coup d'etat dalam tahun 1948. Kemudian,
Presiden Soekarno mengijinkan dihidupkan kembali, tetapi dinyatakan terlarang
pada zaman Soeharto. Kemudian, di era reformasi ini, Gusdur (K.H. Abdul Rahman
Wahid, cucu pendiri Nahdlatul Ulama) menyatakan kebebasan kembali semua
idiologi.
Tahun
1931, untuk menegaskannya sebagai sebuah gerakan politik yang memiliki kekutan
riil demi kepentingan Indonesia, nama Sarekat Islam berganti menjadi Partai
Sarekat Islam Indonesia, yang tahun 1971 dikenal dengan singkatan PSII. Dari
tahun 1931 hingga pendudukan Jepang, PSII merupakan partai politik Muslim paling
berpengaruh yang pernah ada di Indonesia.
Semasa
pendudukan Jepang, pada tahun 1943, PSSI bersama dengan organisasi-organisasi
Islam yang ada meleburkan diri ke dalam Masyumi, sebagi kependekan dari Majelis
syura Muslimin Indonesia. Persatuan ini tidak berlangsung lama. Dalam tahun
1947, dua tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan, terjadilah perpecahan yang
pertama. PSSI lama kembali didirikan. Dalam tahun 1952, selama berlangsung
konferensi tahunannya di Palembang, Sumatera Selatan, kaum ulama yang hanya
diberi kedudukan sebagai penasihat di dalam pimpinan Masyumi menuntut suara
lebih banyak untuk mengisi kursi-kursi pimpinan yang diduduki oleh orang-orang
awam dengan pandangan keagamaan pembaharuan. Karena tuntatan ini tidak pernah
terpenuhi, para ulama tersebut akhirnyaya memutuskan untuk meninggalkan
organisasi, dan kemudian membentuk partai sendiri. Mereka mendirikan Nahdatul
Ulama (kebangkitan ulama), yang semula pernah berdiri dalam tahun 1926 sebagai
sebuah organisasi sosial yang berpandangan keagamaan tradisionalis. Dalam masa
pendudukan Jepang, Nahdatul Ulama berfusi ke dalam Masyumi.
Dalam
tahun yang sama, sebuah golongan tradisionalis lainnya telah pula meninggalkan
Masyumi, dan muncul di bawah nama Perserikatan Tarbiyah Indonesia (Perti ) yaitu
Perserikatan Pendidikan Islam Indonesia. Ia didirikan di Sumatera Barat sebagai
sebuah organisasi pendidikan, dan sejak tahun 1952 telah menjadi sebuah partai
politik muslim tradiaional yang lain. Perbedaan kecil antara Perti dan Nahdatul
Ulama terletak pada, bahwa yang terdahulu menuntut tradisionalisme sebagai
mewakili mazhab hukum Syafi'i khususnya, sedangkan yang belakangan menuntut
sebagai mewakili seluruh umat yang dengan taat memeluk ajaran-ajaran ahli sunah
wal jamaah. Orang-orang dari kedua golongan tersebut berselisih dengan golongan
pembaharu, karena pandangannya yang terlalu progresif. Dalam pandangan dua
golongan tersebut, kaum pembaharu adalah sama seperti kaum rasionalis dan
sangat dalam terpengaruh oleh cara berpikir Barat, atau malahan lebih buruk
lagi, di bawah pengaruh langsung ideologi sosialis.
Setelah
tahun 1965, tatkala G 30 S/PKI gagal, timbullah suatu situasi politik yang baru
di dalam negeri, dan mencapai titik-didihnya pada penyerahan kekuasaan dari
Presiden Soekarno kepada Jenderal Suharto pada tanggal 11 Maret 1966. Pada awal
pemerintahan Suharto, semua pemimpin Masyumi yang dipenjarakan, termasuk
Muhammad Natsir, dibebaskan dari penjara. Ini membangkitkan harapan akan
dihidupkanya kembali Masyumi. Di luar dugaan, pemerintah baru itu menolak
gagasan itu. Beberapa orang di antara pimpinan Masyumi dipandang oleh
pemerintah telah menentang idiologi Pancasila sedemikian jauh, sehingga mereka
pun dianggap memusuhi persatuan bangsa Indonesia. Tersangkutnya beberapa orang
pemimpin Masyumi pada cita-cita mendirikan sebuah negara Islam di Indonesia,
barangkali tidak menjawab sepenuhnya mengenai penolakan pemerintah untuk
menghidupkan kembali Masyumi tersebut, walaupun di masa lalu masalah ini telah
menjadi salah satu sebab penting dalam perdebatan yang menggenting. Kebenaran
hal ini barangkali akan lebih jelas jika kita mengingat bahwa gagasan untuk
mendirikan sebuah negara Islam bukan merupakan tujuan mantap Masyumi saja,
tetapi juga merupakan tujuan ideologi partai-partai politik Islam lainnya,
Nahdatul Ulama PSII dan Perti. Walau berbeda dengan sementara pimpinan Masyumi
tersebut, tak seorang pun di antara para pemimpin ketiga partai ini telah
terlibat di dalam pemberontakan itu.
Menelan
tantangan pemerintah dengan sedikit rasa pahit sebuah badan pekerja dibentuk
untuk meninjau kembali kemungkinan berdirinya sebuah partai politik baru bagi
golongan muslim dengan pandangan keagamaan pembaharuan, yang sama sekali bersih
dari pertalian apa pun dengan Masyuni dahulu. Dalam tahun 1967 terbentuklah
partai baru itu dengan nama Partai Muslimin Indonesia, mula-mula dikenal
sebagai PMI, kemudian berubah menjadi Parmusi. Dari semula, Parmusi menentang
persyaratan pemerintah dalam mendirikan partai baru tersebut, dengan memilih
sebagai ketuanya pada kongres yang pertama, Muhammad Roem, bekas pemimpin
Masyumi dahulu, yang dengan tegas tidak disetujui oleh pemeintah. Muhammad Roem
kemudian diganti oleh seorang tokoh muda yang tak penah bersangkut-paut dengan
Masyumi, Djarnawi Hadikusumo, bekas ketua Muhammadiyah di Jawa Tengah.
Menanggapi campur tangan pemerintah terhadap urusan rumah tangga Parmusi,
dengan terbuka Muhammad Roem menyerang pemerintah Presiden Suharto di dalam
tulisan-tulisannya yang menyatakan, walaupun terdapat perbedaan jelas antara
"orde lama" Sukarno dengan "orde baru" Saharto, namun dalam
hakikat keduanya sama belaka. Yaitu, di bawah kekuasaan yang lama tidak ada
demokrasi sama sekali, sedangkan di bawah kekuasaan yang baru demokrasi itu tak
kunjung datang.
Sampai
tahun 1972 keempat partai politik Islam, PSll, Nahdatul Ulama, Perti, dan
Parmusi, dengan tak mengingkari adanya perbedaan dalam berbagai masalah,
benar-benar mencerminkan cita-cita politik seluruh ummat di Indonesia dalam
masa mutakhir.
Perkembangan
politik baru terjadi pada akhir tahun itu. Didorong oleh wawasan pragmatis
untuk menghadapi masalah-masalah perkembangan ekonomi dan politik, pemerintahan
Suharto melancarkan reorganisasi menyeluruh atas sistem politik yang berlaku.
Kebutuhan untuk mengurangi jumlah partai-partai politik mendapat perhatian
utama, karena di mata pemerintah partai-partai merupakan sebab pokok kegagalan
Indonesia untuk berkembang sebagai suatu bangsa yang modern. Partai-partai itu
bukannya berjuang untuk mengembangkan kepentingan nasional, melainkan selalu
saling cakar-cakaran dan berebut demi kepentingan masing-masing. Karena pemilu
1971 telah dimenangkan secara gemilang oleh Golongan Karya (Golkar) yang
terutama terdiri dari para pegawai negeri dan yang di pimpin oleh
anggota-anggota militer, dengan segera gagasan pemerintah tersebut mendapat
tanggapan positif di parlemen. DPR menetapkan sebuah undang-undang yang
menuntut penyusutan jumlah partai-partai politik di dalam negeri. Maka, keempat
partai politik Islam itu pun dilebur menjadi satu, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
Selain
PPP yang mewakili kepentingan politik ummatnya, ada sebuah partai yang
terbentuk melalui fusi, antara lima partai politik yang disebut Partai
Demoktasi Indonesia atau PDI. Partai ini terdiri dari berbagai unsur:
nasionalis, sosialis, dan Kristen, baik Protestan maupun Katolik.
Pada
zaman Soeharto, karena kecintaannya kepada kekuasaan dan takut tersingkir,
tokoh-tokoh Islam yang berbau keras serta oganisasi-organisasi yang berbau
menentang kebijaksanaannya ditekan dan selalu diusahakan untuk dimusnahkan.
Banyak tokoh-tokoh muslim, baik yang militan maupun yang sekular, dipenjara
pada masa ini. Asal berani menentang saja terhadap kebijaksanaan pemerintah
pada waktu itu, maka akan disingkirkan.
Milihat
sifat politik pemerintah yang demikian, HMI tidak mengambil posisi yang terlalu
keras berhadapan dengan pemerintah. Hanya, pada saat-saat yang tepat organisasi
ini bersama dengan organisasi-organisasi mahasiswa lainnya bersatu untuk menggulingkan
pemerintahan Soeharto. Waktu itu Amin Rais, tokoh dari UGM, dengan kelihaiannya
mengambil mementum yang tepat untuk menjadi tokoh sentral gerakan penggulingan
Soeharto oleh kalangan mahasiswa.
Pada
zaman Habibi, pintu demokrasi dibuka lebar-lebar. Pers, yang selama
pemerintahan Soeharto dibungkam, menjadi bebas dan kebablasan. Perubahan
tatanan kehidupan politik berubah dengan sangat cepatnya, hingga kursi presiden
dapat digulingkan dengan waktu yang tidak mencapai lima tahun. Partai-partai politik
dihidupkan kembali, hingga Golkar, yang tadinya nomor tiga pada zaman
keemasannya, setelah pemerintahan Habibi menjadi partai nomor 33. Angka 33
adalah jumlah dikiran Subhanalloh, Alhamdulillah, dan Allahuakbar setelah
salat. Ini boleh jadi Allah mengingatkan orang-orang Golkar supaya bertaubat
dan berzikir mengingat Allah. Renungkan kesalahan-kesalahan di masa lampau
untuk kemudian menyongsong Indonesia baru, Golkar baru dengan semangat
perjuangan baru.
Pada
zaman Gus Dur, lebih bebas lagi dan lebih edan. Karena bebasnya, hingga
paham-paham atau idiologi yang selama ini tidak diakui pemerintah dibebaskan
untuk hidup. Tokoh kontrovesial ini memang unik. Betapa banyaknya tokoh politik
yang sehat-sehat dan pinter-pinter, tetapi dengan tingkah polah tokoh ini
membuat mata tertuju pada gerak-geriknya yang unik dan membingungkan umat. Dan
puncak kebingungan dari umat ini, pada sidang MPR pemilihan presiden,
diangkatlah seorang Gus Dur menjadi presiden RI yang ke-4. Meskipun telah
menjadi Presiden, Gusdur tetap Gusdur, bahkan kontroversialnya semakin
menjadi-jadi hingga jajaran pemerintahan bingung. Jurus dewa mabuk yang
dijalankannya menjadikan media masa waktu itu selalu menyoroti gerak-gerik
langkah sang presiden yang disebut kyai itu. Tiada hari tanpa pemberitaan Gus
Dur. Puncak perhatian mata tertuju pada Gus Dur tatkala menjelang detik-detik
dikeluarkannya dekrit. Boleh dikatakan, apalagi di jajaran pejabat tinggi, di
kalangan rakyat biasa saja sebagian kalangan waktu itu semalaman banyak yang
tidur. Begitu dekrti dikeluarkan, terjadilah titik balik di mana yang semula
setiap omongan dan perkataan Gus Dur itu diperhatikan orang, mulai saat itu
berbalik menjadi tidak sama sekali diperhatikan. Posisi HMI waktu itu mayoritas
tidak sejalan pemikirannya dengan kebijaksanaan pemerintah yang begitu bebasnya
menghidupkan semua paham-paham, termasuk komunis.
Kegiatan
HMI di bidang Sosial Keagamaan
Setelah
kedaulatan Indonesia diakui oleh pemerintah Belanda pada akhir tahun 1949, HMI
mengalihkankan perhatiannya terhadap kegiatan-kegiatan sosiao-edukasi.
Prakarsanya ini mendodrong terselenggaranya muktamar akbar Pemuda Muslimin
dalam tahun 1953 di Jakarta, sebuah kongres yang bertujuan mempersatukan pemuda
muslim di dalam mencari cara-cara yang tepat sesuai dengan ajaran Islam, untuk
memberikan sumbangan bagi kemakmuran bangsa yang baru tumbuh.
Tahun
1955, HMI dengan giat ikut serta di dalam program dan kegiatan internasional.
Misalnya, mnejadi anggota penuh pada Organisasi Mahsiswa Muslim Sedunia. Pada
masa inilah HMI mulai menerbitkan majalah sendiri, MEDIA, media yag di miliki
dan di pimpin oleh Dewan Pimpinan Pusat. Perhatiannya di bidang kegiatan
sosio-edukasi yang makin meningkat, juga tercermin di dalam keputusan yang
diambil oleh kongresnya pada tahun 1955. Sebagai contoh, HMI mendesak menteri
pendidikan untuk segera mengumumkan undang-undang yang mengatur organisasi
kegiatan akademi di universitas-universitas. HMI mengimbau kepada pemerintah
untuk memperbesar bantuan beasiswa kepada semua mahasiswa yang layak
menerimanya. Ia pun menuntut kepada kementerian agama agar kepada HMI diberikan
hak untuk mengurus jamaah haji di Mekah. Lebih lanjut melalui yayasan
pendidikan Islam itu, didirikanlah sekolah-sekolah, mulai dari tingkat dasar
sampai menengah, dan bersamaan dengan itu juga didirikan sebuah sekolah untuk
pendidikan guru agama.
Untuk
memenuhi kebutuhan bimbingan riset dalam berbagai teori pengetahuan, juga
didirikan sebuah lembaga riset di bawah pengawasan HMI cabang Yogyakarta. Untuk
mengembangkan kerja sama di bidang kegiatan kebudayaan, pendidikan, dan
kemasyarakatan, HMI ikut juga didalam Konferensi Mahasiswa Afro-Asia di
Bandung, dalam tahun 1955. Kecuali menjadi anggota organisasi mahasiswa muslim
sedunia World Assembly of Youth (WAY), sebuah organisasi pemuda yang beraliran
Barat, atas dasar aliran poltik HMI juga menjadi anggota Persatuan Mahasiswa
Sedunia (World Union of Students), sebuah organisasi yang beorientasi agak
kiri. Dalam pada itu, di dalam negeri, HMI ambil bagian sepenuhnya di dalam kelompok-kelompok
kerja untuk membantu penduduk setempat dalam membangun desanya dengan pembuatan
jalan, taman hiburan, serta kemudah-mudahan umum lainnya.
Selama
tahun-tahun 1960-an, sesudah masyumi dibubarkan, keadaan para kader muslim pada
umumnya menjadi semakin memburuk. Jalan paling baik bagi HMI agaknya ialah
untuk membelokkan perhatiannya sama sekali pada kegiatan-kegiatan
sosio-edukasi, khususnya yang bersangkut-paut langsung dengan mahasiswa. Yang
terpenting di antaranya ialah pembentukan kelompok belajar bagi mahasiswa
kedokteran muslim dari semua universitas di Jawa dan Sumatera. Dari
musyawarah-musyawarah ini, para mahsiswa kedokteran itu menjadi yakin bawa
menolong rakyat melalui pelayanan kedokteran adalah sejalan dengan gagasan
Islam tentang dakwah.
Selama
masa ini juga, seminar-seminar tentang pendidikan agama Islam di selenggrakan
di berbagai universitas, terutama mengenai masalah pendidikan wajib dalam
keagamaan yang ketika itu diajarkan di semua universitas dan sekolah negeri.
Pada kongresnya yang ke-7 dalam tahun 1963, setia kepada keputusan untuk
mengabdi kepada kepentinagn mahasiswa muslim, HMI mendirikan lembaga-lemabaga
sendiri di bidang kesehatan, seni, dan pertanian yang sekarang masih berjalan.
Di
bidang agama, HMI bersama-sama dengan organisasi Islam lainnya menganjurkan
dibentuknya sebuah majelis ulama yang terlaksana dalam tahun 1975. Sesudah
terbentuk, HMI merupakan salah satu di antara anggota penuh majelis. Di melalui
inilah gaasan-gagasan HMI yang modern itu mulai dikumandangkan di kalangan
ulama dan pejabat pemerintah. Majelis itu merupakan badan utama bagi pemerintah
untuk merundingkan hal-hal sehubungan dengan masyarakat Islam.
Dalam
program sosial pemerintah yaitu keluarga berencana, HMI ikut ambil bagian.
Untuk memberikan dasar hukum program kelurga berencana itu, pemeritah
menyodorkan sebuah rencana undang-undang perkawinan kepada DPR sebagai
pengganti undang-undang yang diwarisi dari pemerintah Belanda. Undang-undang
yang melarang keras poligami itu membangkitkan tentangan hebat dari golongan
Islam, termasuk HMI. Sikap Islam ialah menyokong undang-undang pengganti yang
memungkinkan berlangsungnya poligami di kalangan Muslim dalam hal-hal khusus
terentu. Ini diteriama oleh DPR dan menjadi undang-undang perkawinan No. 1 tahun
1974. Dengan ikut sertanya dalam masalah ini, sekali lagi, menunjukan bahwa HMI
selalu menjawab dengan tangkas masalah-masalah yang menyangkut kepentingsn
umat.
Pada
forum internasional, HMI melanjutakn usahanya untuk di perhitungkan peranannya,
dengan mengikuti berbagai konferensi, seperti Program Kepemimpinan Mahasiswa
Asia dan Pasifik yang di selenggarakan di AS, sedangkan Himpunan Mahasiswa
Islam Asia Tenggara di Serdang, Selangor, Malaysia. Dalam konferensi itu diputuskan
bahwa markas besar himpunan seyogyanya di Jakarta, karena pembanguan dan
modernisasi telah menjadi perhatian utama pemerintah, dengan penuh minat HMI
ikut serta dalam memecahkan masalah-masalah universal tentang kepadatan
penduduk dan urbanisasi. Dalam berbagai konferensi itu, HMI dengan mendalam
memperbincangkan masalah-masalah pelestarian lingkungan, pengembangan
perikanan, dan land reform.
Sejak
tahun 1974, HMI telah berpandangan politik dan membantu pemerintah melaksanakan
program pembangunannya. HMI melihat bahwa kemajuan tertentu telah dicapai.
Tetapi, HMI juga melihat bahwa penyebab penderitaan rakyat terletak pada
kenyataan bahwa kemakmuran yang meningkat itu tidak terbagi secara merata.
Kecaman lebih lanjut dibidikkan pada ajakan pemerintah kepada penanam modal
asing untuk menunjang pembangunan ekonomi. Pada hemat HMI, hal ini sampai
batas-batas tertentu telah memeberikan manfaat bagi perekonomian nasional,
yaitu dengan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak. Tetapi, yang lebih
menyedihkan, sangat sering penanam modal asing tersebut merugikan para
pengusaha pribumi, melalui persaingan yang tak jujur, karena pemerintah tidak
memberikan perlindungan terhadap perindustrian dalam negeri, yang di hadapkan
dengan keuangan dan keahlian asing yang lebih kuat.
Melanjutkan
kegiatan keagamaan, HMI mendesak pemerintah untuk melenyapkan kegiatan aliran
kebatinan, dan bahkan untuk menolak secara resmi yang mempersamakannya dengan
agama-agama dunia.
Disamping
HMI, terdapat lima buah organisasi mahasiswa di negeri ini, dua di antaranya
berdasarkan keislaman. Yang pertama ialah Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII), yang mempunyai ikatan-ikatan langsung dengan partai politik Nahdatul
Ulama dahulu, dan oleh karenanya kuat berkecenderungan kepada golongan
tradisionalis di kalangan umat. Anggota-anggota PMII terutama di
lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dan di IAIN-IAIN di seluruh tanah air,
namun demikian lebih kecil jumlahnya ketimbang HMI. Menurut beberapa orang
anggota HMI, hubungan antara HMI dan PMII tepat sama seperti hubungan antara
golongan tradisional dan golongan pembaharu di dalam umat. Organisasi yang
kedua ialah Ikatan mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Seperti namanya, ia pun
mempunyai ikatan langsung dengan gerakan pembaharu Muhammadiyah. Secara
ideologi, IMM dan HMI mempunyai wawasan yang sama, tetapi HMI merupakan sebuah
organisasi yang bebas. Barangkali kita akan heran, mengapa Muhammadiyah
memandang perlu untuk membentuk organisasi mahasiswanya sendiri. Menurut salah
seorang anggota HMI, jawaban atas pertanyaan itu ialah bahwa selama masa
pemerintahan Presiden Sukarno dahulu untuk mendapatkan persetujuan dariya,
sebuah organisasi harus dapat membuktikan bahwa ia mempunyai dukungan kuat dari
masyarakat luas. Untuk memenuhi persyaratan inilah, bukan saja Muhammadiyah,
tetapi semua gerakan sosio-politik yang ada di tanah air, harus membentuk
sebanyak mungkin organisasi-organisasi penunjang.
Selain
organisasi-organisasi mahasiswa dengan dasar keislaman itu, juga terdapat tiga
buah yang lain ialah Gerakan Nasional Mahasiswa Indonesia (GNMI), yang bertlian
langsung dengan Partai Nasional Indonesia, Gerakan mahasiswa Kristen Indonesia
(GMKI), sebuah organisasi merdeka yang mewakili mahasiswa-mahasiswa Kristen
Protestan, dan Pesatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), juga
sebuah organisasi merdeka yang mewakili mahasiswa-mahasiswa katolik.
Tahun
1973, sebuah organisasi pemuda lahir, yaitu Komite Naional pemuda Indonesia
(KNPI). Komite ini semula didirikan sebagi suatu badan penasihat pemuda untuk
menggalakan program keluarga berencana pemerintah. Namun, kemudian berkembang
menjadi sebuah badan dengan tujuan lebih luas, sebagai member tetap bagi semua
pemuda Indonesia untuk memperbincangkan semua masalah nasional. Bidang
perhatian dan keanggotan yang meluas ini kemudian harus tertampung di dalam
anggran dasar KNPI. Namun, sementara orang berpendapat, KNPI merupakan sebuah
organisasi yang dengan sengaja dididrikan oleh pemerintah untuk mengarahkan
para pemuda serta kegiatan politik mereka agar tetap dapat dikendalikan
sebaik-baiknya. Terdapat kecurigaan kuat bahwa pada akhiranya pemerintah akan
melaksanakan peleburan berbagai organisasi pemuda dan mahasiswa itu ke dalam
KNPI, menurut pola peleburan berbagai partai politik menjadi dua golongan politik
utama. Sebagai suatu kelompok yang mewakili perseorangan dan bukan organisasi,
KNPI mempersatuakan keanekaragaman pemuda Indonesia itu. KNPI terlalu rapuh
untuk dapat bergerak bebas dari pemerintah.
Kegiatan
Bidang Politik
Tak
lama sesudah HMI berdiri dalam tahun 1947, berlangsunglah perundingan
Linggarjati. HMI dan Masyumi menanggapinya berbeda, hal ini mencerminkan
perbedaan yang mendasar antara kedua organisasi tersebut. HMI membenarkan hasil
perundingan sebagai sesuatu yang mungkin menyebabkan penyerahan kedaulatan
terjadi melalui jalan damai, sedangkan Masyumi tidak memberikan persetujuannya.
HMI memberikan penilainnya yang bebas penuh pertimbangan, menyadari
pertentangannya dengan Masyumi yang pada saat itu masih mewakili kedudukan
politik seluruh umat.
Desember
1947 Aksi Militer I itu berakhir dan Perundingan Renville antara pemerintah
Belanda dan Indonesia berlangsung. Diputuskan olehnya bahwa daerah hukum
Indonesia diciutkan menjadi sebagian kecil Jawa dan seluruh Sumatera. Lebih
dari itu, Republik Indonesia harus mengakui kedaulatan Belanda atas pulau-pulau
sisanya. Republik Indonesia akan menjadi salah satu di antara anggota-anggota
Negara Indonesia Serikat. Berdasarkan alasan inilah, HMI bersama-sama dengan
Masyumi dan bagian terbesar golongan politik yang lain menolak
keputusan-keputusan Perundingan Renville. Di luar dugaan umum, kaum komunis dan
golongan sayap kiri lainnya, terdorong oleh hasratnya yang kuat untuk merebut
kekuasaan pemerintah, mendukung hasil-hasil perundingan.
Sesudah
penyerahan kedaulatan pada 30 Desember 1949, ibu kota Republik Indonesia
dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Masa setelah penyerahan kedaulatan
ditandai dengan ketenangan politik dan kewajaran, dan HMI pun memalingkan
perhatiannya kepada usaha untuk mempersatukan kembali umat yang telah
terpecah-belah.
HMI
tidak mendukung partai politik Islam tertentu apa pun, tetapi mendorong
anggotanya untuk memilih menurut nurani masing-masing .
Tahun
1958, terdorong terutama oleh rasa ketidakpuasan yang mendalam terhadap cara
pemerintah pusat di dalam menangani pemerataan kesejahteraan ekonomi,
pemerintah-pemerintah daerah di Sumatera dan beberapa daerah di Sulawesi
bersama dengan sekutu mereka di dalam angkatan bersenjata melancarkan suatu
pemberontakan. Mereka mengumumkan berdirinya pemerintah baru yang disebut
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan PERMESTA di
Sulawesi. Pemerintah-pemerintah ini sangat anti komunis dan bersimpati terhadap
dunia Barat. Beberapa pimpinan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia bergabung
dengan pemberontak, tetapi HMI tidak terlibat. Bergulat dalam keadaan sukar
seperti ini, HMI mengeluarkan sebuah pernyataan tentang ketidaksetujuannya
terhadap pembentukan pemerintahan baru itu. Ia pun menegaskan bahwa Masyumi
sebagai partai tidak harus dipersalahkan karena dukungannya terhadap
pemberontakan tersebut. Karena pembatasan-pembatasan terhadap semua kegiatan
politik oleh pemerintah nasional yang meluas itu, tidak banyak yang bisa
diperbuat oleh HMI demi kepentingan kemerdekaan politik.
Tahun
1960, ketika Masyumi dilarang, pada kongresnya yang ke-6, HMI hanya mencetuskan
hal-hal penting yang secara politik tidak menimbulkan pertentangan sebagai
dasar bagi programnya, seperti berikut:
Tetap
setia kepada Islam dan tanah air Indonesia.
Meneruskan
kepemimpinanya di tengah umat umumnya dan meneruskan pertanggungjawaban untuk
memepersatukan anasir yang beraneka ragam di dalam umat.
Melanjutkan
kepemimpinan di tengah-tengah gerakan mahasiswa Indonesia.
Melanjutkan
penyiarana-penyiaran azas-azas masyarakat keislaman di tengah masyarakat
Indonesia khususnya.
Dengan
mendukung Presiden Soekarno, jelas bahwa HMI mengambil langkah politik secara
hati-hati. Keberhasilan Presiden Soekarno membubarkan Masyumi menunjukan betapa
sia-sianya penentangan politik. Dan, dikembalikannya Partai Komunis ke dalam
kehidupan politik menunjukan betapa jauh langkah yang dipersiapkan untuk
mempermantap kekuasaan pribadinya. Sesudah Masyumi dibubarkan, Presiden
Soekarno tidak mendengar suara tantangan politik dari kalangan umat. Padahal,
sebenarnya kaum muslim tradisionalis, seperti mislanya yang ada di tubuh
Nahdatul Ulama, PSSI, dan perti, tidak mempunyai wawasan revolusioner, namun
mereka berkerumun di sekitar program revolusioner Pesiden Soekarno. Yang
menarik perhatian lebih lanjut ialah bahwasanya Presiden Sukarno, sebagai
seorang revolusioner yang cukup pragmatis dan seorang ahli siasat yang cukup
cakap, berhasil mengekang baik kaum komunis maupun kaum muslimin tradissional
demi kepentingan suatu kekuasaan yang tak satu pun di antara keduanya itu mampu
mengendalikannya. Kampanye Presiden Soekarno untuk menjebol kekutan apa yang di
dinamakan olehnya "neo-kolonialisme", dan untuk memebersihkan semua
perlawanan terhadap pemerintahnya, memuncak pada siasatnya untuk menggabungkan
semua kekuatan revolusioner, yaitu pro Pesiden Soekarno, ke dalam Nasakom,
kependekan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunis.
Gagasan
Nasakom Presiden Soekarno ini pada dasarnya berakar dari warisan kebudayaan
jawa yang merupakan campuran selaras dari semua anasir yang berbeda-beda
menjadi menjadi satu sistem yang manunggal. Namun demikian, sebagaimana
peristiwa-peristiwa selanjutnya, menunjukan bahwa kaum komunis yang sama
pragmatisnya dengan Presiden Soekarno itu menerima Nasakom dengan sikap untuk
pada akhirnya tampil sendiri di atas tampuk kekuasaan. Mengingat bahwa Presiden
Soekarno tanpa kesulitan berhasil membubarkan Masyumi, kaum komunis dan
golongan sayap kiri lainnya melancarkan serangan politk terhadap HMI, dan
mendesak Presiden Soekarno untuk membubarkan HMI, sebagai organisasi reaksioner
yang berbahaya serta berwatak sama seperti Masyumi. Dalam salah satu pidatonya,
ketua partai komunis ketika itu dengan tegas menuntut pembubaran HMI, dan agar
pembubarannya itu harus dilaksanakan serentak dengan pembubaran Masyumi. Sejak
saat pemberontakan Madiun, kaum Komunis memendang HMI sebagai musuh dengan
corak yang sama dengan Masyumi. Karena itu, mereka berhasrat menghancurkan
organisasi ini secepat-cepatnya, dan dengan demikian dapat mengayun langkah
stragis lebih lanjut menuju cita-cita kekuasaan Komunis. Serangan kaum komunis
itu berupa tuduh-tuduhan yang dikobarkan, baik oleh partai, maupunn organisasi
mahasiswa Komunis, bahwa HMI seperti halnya Masyumi bertentangan dengan
sila-sila Pancasila, terlibat berat dalam pemebrontakan kedaerahan, bahwa HMI
anti Soekarno, anti Nasakom, dan bahkan sebagai agen CIA, HMI berpihak kepada
Malaysia dalam pertikainnya dengan Indonesia. HMI juga dituduh memberikan
dukungan penuh terhadap gerakan Darul Islam. Bekerja sama dengan golongan sayap
kiri di dalam tubuh gerakan mahasiswa nasionalis, mahasiswa komunis ini bekerja
membanting tulang untuk mengeluarkan HMI dari segala kegiatan kemahasiswaan di
kampus-kampus.
Gerakaan
anti HMI ini, kendatipun meluas di seluruh tanah air, namun yang paling mempan
adalah di Jawa Timur. Orang yang bertanggung jawab sepenuhnya di dalam rencana
tempur ini Dr. Ernsk Utrecht, seorang keturunan Belanda-Indonesia, ketika itu
Utrecht adalah Profesor dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya di
Jember, Jawa Timur. Walaupun resminya bukan seorang anggota Partai Komunis
Indonesia, ia tegabung dalam sayap kiri Partai Nasional Indonesia (PNI), namun
dari kuliah-kuliahnya ia sangat dikenal sebagi seorang yang berwawasan idiologi
anti agama.
Tekanan
yang ditimpakan kaum komunis dan golongan sayap kiri lainnya terhadap HMI itu
mencapai puncaknya dalam tahun 1964, setahun menjelang percobaan kup tahun
1965. Selama masa ini, atas prakarsa sendiri, Dr. Utrecht mengeluarkan sebuah
pengumuman yang melarang HMI ikut serta di dalam kegiatan apa pun di fakultas
Hukum Universitas Brawijaya. Mengingat kekutan HMI yang tak berkurang di
hadapan sayap kiri itu, pengumuman pembubaran Utrecht tersebut jelas tidak
meyakinkan. Pemerintah pusat, Presiden Sukarno khususnya, bukannya
memenfaatkannya tekanan sayap kiri itu, malahan membiarkan HMI tetap bebas
bergerak atas dasar pertimbangan bahwa HMI bukan suatu gerakan politik yang
dapat mengancam ushanya untuk mempersatukan bangsa dan negara. Oleh karena itu,
tindakan Dr. Utrecht tersebut disambut dengan gelombang amarah dari berbagi
golongan Islam, dari organisasi-organisasi mahasiswa dan nonkomunis lainnya
dari pemerintah pusat, dan dari beberapa orang perwira tinggi angkatan darat.
Ketika Masyumi dilarang, golongan-golongan politik dan sosial Islam lainnya
mengambil sikap diam, tetapi kali ini anggota-anggota Nahdatul Ulama, PSII,
Perti bersama-sama menytakan diri siap berkorban jiwa raga apabila perlu demi
kelangsungan hidup HMI.
Melalui
seorang utusan, Presiden Sukarno berpesan agar HMI meneruskan
kegiatan-kegiatannya. Jenderal Ahmad Yani, ketika itu panglima angkatan Darat
yang kemudian terbunuh dalam kup komunis yang gagal tahun 1965, menyatakan
keyakinannya tentang kesetiaan dan kebulatan HMI dalam mengabdi demi
kepentingan tanh air. Seperti Muhammadiyah, walaupun HMI adalah sebuah kelompok
pembaharu di dalam umat, namun bukanlah suatu partai politik. Lebih Dari itu,
terdapat banyak Perwira Tinggi yang berpengaruh di dalam tubuh angkatan darat
adalah para alumni HMI. Mereka ini pun telah mempengaruhi Presiden Soekarno
untuk tidak mengambil tindakan terhadap HMI. Di pihak lain, Dr. Utretcht,
dengan menggunakan dalih serupa yang telah dikenakan terhadap Masyumi
sebelumnya, menyatakan pelarangannya terhadap HMI sebagai gerakan reaksioner
yang juga telah disusupi sangat mendalam oleh gagasan kapitalis. Tindakannya
itu telah membelah dua kubu di kalangan para profesor di Jember, seperti halnya
di kalangan mahasiswa. Hal ini membawa akibat, di antara dua kelompok yang
saling berlawanan itu menjurus ke arah terjadinya duel kekuatan secara fisik.
Pemerintah pusat memecahkan masalah ini dengan segera memindahkan Pofesor
Utrecht dan para professor yang dengan gigih berpihak kepada HMI pada
jabatan-jabatan pengajar di berbagai tempat di Jawa. Kendatipun demikian, kaum
komunis tak pernah menghentikan mereka agar HMI dibekukan secara nasional,
terus-menerus sampai pada saat kup yang gagal dalam tahun 1965 itu. Pada saat
kup terjadi dan disusul dengan kemenangan politik Angkatan Bersenjata,
khususnya Angkatan Darat, piihak yang menang ini mendapat dukungan bersemangat
dari goglongan Islam dan golonan agama lainnya. Golongan Islam yakin bahw Tuhan
telah meridhai kemenangan nasional terhadap pemerontak-pemberontak kaum komunis
yang ateis itu. Seperti juga pada saat pemberontak Madiun, HMI bersatu di
belakang angkatan darat dan berjuang untuk menghancurkan kaum komunis.
Dilaporkanlah
dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur bahwa pembunuhan besar-besar
merupakan peristiwa sehari-hari. Tak seorang pun yang dapat memberikan
perkiraan yang mendekati kebenaran tentang berapa banyak rakyat yang terbunuh
selama pergolakan terjadi. Polongka, seorang ilmuwan politik yang memiliki
banyak pengalaman tentang perkembangan politik di Asia Tenggara, memperkirakan
sebanyak 150.000 sampai 300.000 jiwa terbunuh, yang dikatakannya, tidak dapat
mengubah kenyataan bahwa baik sifat maupun luasnya pembunuhan sedemikian rupa
sehingga hanya akan meninggalkan warisan luka yang berlangsung lama bagi
beratus-ratus ribu manusia. Dikatakan pula bahwa konon pembunuhan-pembunuhan
tersebut dilakukan oleh pasukan khusus angkatan darat sebagai tindakan tegas
balas dendam atas kekejaman serupa yang dilakukan oleh kaum komunis terhadap
pejuang sipil anti komunis itu yang terdiri dari anggota-anggota HMI,
anggota-anggota organisasi pemuda yang tergabung dalam Nahdatul Ulama,
anggota-anggota Muhamadiyah, dan di sementara daerah, juga anggota-anggota
pemuda Katolik dan organisasi-organisasi mahasiswa lainnya.
Sesudah
kup dan peristiwa kelanjutannya, Dewan Pimpinan Pusat HMI kemudian menyampaikan
sebuah pernyataan tentang peristiwa tersebut kepada pimpinan militer nasional,
dengan pokok-pokok masalah sebagai berikut:
Partai
Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang utama kup yang gagal itu.
Seluruh
barisan Islam harus bersatu di bawah pimpinan Nahdatul Ulama untuk mengutuk
kaum komunis beserta simpatisan-simpatisannya.
Mutlak
perlu Partai Komunis Indonesia dibubarkan.
HMI
siap dengan segala daya membantu pelaksanaan pembubaran Partai Komunis
Indonesia itu.
Bersamaan
dengan itu, HMI bekerja untuk memulihkan hak menyatakan perbedaan pendapat dan
pemerintah yang demokratis yang telah ditindas selama kekuasaan Presiden Soekarno.
Agar Orde Baru terlaksana, HMI bekerja sama dengan organisasi-organisasi
mahasiswa nonkomunis lainnya membentuk sebuah arena persatuan yang dikenal
dengan nama KAMI, kependekan dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia pada
tanggal 25 Oktober 1965 di Jakarta. Organisasi-organisasi mahasiswa Protestan
dan Katolik juga giat di dalam barisan mahasiswa ini. Dengan perantara KAMI,
yang dalam bahasa Indonesia perkataan ini juga berarti kita kata ganti orang
ke-1 jamak untuk dihadapkan dengan kamu dan mereka kata ganti orang ke-2 dan
ke-3 jamak, HMI dan golongan-golongan anti komunis lainnya memisahkan diri
secara tegas dari golongan-golongan mahasiswa dan partai politik sayap kiri
orde lama. Pada tanggal 10 Februari 1966, melalui KAMI, dalam suatu demontrasi
raksasa di kampus Universitas Indonesia di Jakata, HMI menuntut agar Presiden
Soekarno segera mengmbil tindakan untuk membubarkan Partai Kominis Indonesia
dan semua organisasi-organisasi mantelnya. Disamping itu, mereka pun menuntut
turunya harga-harga barang kebutuhan hidup pokok. Juga dituntut agar menteri
kabinet Presiden Sukarno yang condong ke komunis di copot.
Timbulnya
"orde baru" juga dikenal sebagai masa kebangkitan angkatan 66 yang
ditandai oleh suatu kejujuran baru dan keterbukaan. Sebulan sesudah demontrasi
kampus tersebut, Presiden Soekarno mengabaikan tuntutan KAMI, malahan membentuk
kabinet baru dengan membawa beberapa orang yang dikenal sebagai simpatisan
komunis yang dicurigai terlibat di dalam kup yang gagal itu. Rangsangan
Presiden Soekarno ini memancing protes amarah baru kalangan mahasiswa yang
didukung oleh angkatan darat. Sekali lagi, KAMI di piminoleh HMI, melancarkan
demontrasi besar-besaran. Kali ini bergerak dari kampus langsung menuju ke
gerbang istana presiden. Di sini mereka mengulangi tutunannya agar Pesiden
membubarkan Partai Komunis. Tetapi, sekali lagi suara mereka tak mempan.
Akibatnya, terjadi bentrokan kekerasan antara mahasiswa dengan pasukan pengawal
istana yang menimbulkan korban dua orang mahasiswa tewas. Presiden Soekarno
mengobarkan pertentangan mengenai komunisme sampai ke titik didih, yaitu dengan
tindakannya yang paling akhir, pembubaran KAMI, yang mengakibatkan para
mahasiswa dan golongan anti-komunis lainnya mengamuk. Ini adalah peristiwa
terakhir yang menghabiskan kesabaran angkatan darat. Pada tanggal 11 Maret
1966, Presiden Soekarno akhirnya menyerahkan kekuasaan pemerintahannya kepada
Jendral Soeharto. Untuk memulihkan ketertiban, dengan cepat jendral-jendral
bertindak melaksanakan tuntutan yang meluas untuk membubarkan partai Komunis
dengan semua anak organisasinya.
Seperti
sudah dikemukakan terdahulu, dalam suasana baru ini bagian terbesar golongan
Islam berhasrat untuk membangun kembali partai Masyumi. Tetapi usaha itu gagal.
Tak lama setelah kegagalannya itu, dengan dukungan HMI, pemerintah mengesahkan
berdirinya Parmusi. Dalam hal ini HMI menyokong golonan pembaharu yang
berpendirian lunak terhadap golongan yang lebih keras. Dalam pemilihan umum
1971 partai politik Islam yang tampil dalam satu wadah persatuan gagal
memenangkan bagian terbesar suara. Dari sejak tahun 1970 dan seterusnya, dengan
dalih memberi tempat istimewa pada pembangunan ekonomi, pemerintah membatasi
semua kegiatan politik. Pembatasan ini berhasil membendung kegiatan politik HMI
sedemikian rupa, sehingga ketika PPP dibentuk tak ada jalan lain kecuali harus
mendukung penggabungan itu.
Dalam
kongresnya pada than 1976, HMI menyerukan anggota-anggotanya untuk mengikuti
pemilihan umum tahun 1977 sebagai pemilih-pemilih bebas. Walaupun demikian, sudah
barang tentu mereka diingatkan untuk memberikan suaranya sejalan dengan
asas-asas HMI dan keislaman. Oleh karenanya, Akbar Tanjung, ketua HMI pada masa
lalu, berkampanye untuk golkar, sedangkan Ridwan Saidi, juga bekas ketua HMI,
berkampanye untuk PPP.
Kedudukan
Idiologi HMI
HMI
digolongkan dalam gerakan muslim dengan corak modern yang sekular. Hal ini
karena HMI terutama terdiri dari para mahasiswa dengan latar belakang kota yang
memsuki lembaga-lembaga sekular di sekolah tinggi. Mereka ini termasuk
orang-orang yang berminat, dan terkadang sangat berminat terhadap agamanya,
tetapi yang dalam berbagai hal tidak senang dengan azas-azas kepercayaan
tradisional dan dengan desakan pandangan kaum kolot tentang kesucian
lembaga-lembaga kemasyarakatan tradisional di dalam dunia muslim. Namun
demikian, dalam perkembangan terakhir, sangat banyak jumlah mahasiswa dari
lembaga-lembaga pendidikan keagamaan Islam yang menjadi anggota HMI termasuk
mahasiswa dari IAIN di berbagai kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta dan
Surabaya.
Kritik
terhadap Posisi HMI dari dalam Kalangan Muslim Pembaharu
Gagasan
pembaharuan yang dilancarkan oleh HMI nampaknya tak berpengaruh apa pun bagi
kalangan kaum tradisionalis. Gagasan-gagasan baru HMI untuk pembaharuan itu
telah menimbulkan pengaruh yang mengejutkan bagi kehidupan umat di Indonesia
dan sampai batas-batas tertentu membangkitkan amarah, baik di kalangan pemimpin
muda maupun tua di kalangan arus umum muslim pembaharu. Bersama tokoh-tokoh
itu, gagasan Hamka dan Natsir, keduanya merupakan pemimpin-pemimpin terkemuka
di kalangan kaum muslimin pembaharu. Gagasan pembaharuan yang benar harus
merupakan gagasan yang sekaligus akan menciptakan kesatuan sejati umat muslimin
yang dengan sepenuh kepercayaan serta kebulatan hati berpegang pada syariat
Islam. Sebagai akibat pembaharuan yang benar ialah bahwa hanya sejumlah kecil
umat saja yang akan berkerumun di bawah panji-panji itu.
Banyak
kecaman terhadap gagasan-agasan HMI dan Madjid, mantan ketua HMI itu, tentang
sekularisasi, seperti arus umum kaum pembaharu lainnya, bahwa sesungguhnya di
dalam Islam orang tidak memerlukan sekularisasi, karena pada hakikatnya Islam
bukan saja sebuah agama, tetapi suatu pandangan hidup yang lengkap. Dalam
kerangka pikiran seperti ini, Islam memerintahkan para pemeluk untuk mengemban
tanggung jawab duniawi dalam masalah-masalah duniawi dan akhirat, sesuai dengan
perintah-perintah Allah SWT. Oleh Karena itu, seluruh kegiatan manusia adalah
untuk menyembah dan menghamba bagi Allah SWT. Inti masalahnya ialah bahwa di
dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan seperti hubungan antara seorang
hamba atau abdi dengan Tuhannya. Atas dasar ini Ansyari berpendapat bahwa
gagasan Madjid tentang desaklarisasi atas semua masalah dan nilai keduniawian
berarti mengingkari tanggung jawab terhadap perintah Allah SWT, dan dengan
demikian merupakan perbuatan seoarang yang tak beriman atau kufur. Madjid
berpendapat bahwa sekularisme merupakan suatu pendangan dunia menyempit yang
dapat menjadi suatu agama baru, sedangkan sekulariassi berarti bahwa
nilai-nilai duniawi harus dipandang dalam arti empiris yang terpisah dari
pengaruh suatu agama atau metafisika apa pun. Bagi Madjid, menjadi sekular sama
sekali tidak berarti tanpa Tuhan. Walau bagaimanapun, arti sekular itu diutak-atik
tetap menunjukkan kepada kebebasan. Bagaimana mungkin seorang yang dengan
kebebasan dalam arti sekular menurut Madjid adalah orang yang bertakwa menurut
kaca mata Alquran dan sunah. Sedangkan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
kebenaran dari kaca mata agama Islam menghendaki adanya pertentangan dengan
arus zaman yang menunjukkan semakin rusak dan bebas.
Rasyidi,
yang pernah menjadi Profesor hukum Islam Universitas Indonesia, berpendapat
bahwasanya sekularisme sebagai agama baru secara historis dikemukakan oleh G.
S. Holyoake (1817-1906) di Inggris. Gagasanya menimbulkan agnostisisme yang
mempersoalkan eksistensi kekuatan-kekuatan dan perikeadaan dunia lain. Patut
diperhatikan tentang pemahaman Rasyidi terhadap pekembangan sekularisme di
dalam sejarah dunia Barat selama abad ke-19 yang telah menimbulkan zaman baru
di dalam hubungan antara gereja dan negara. Ia yakin bahwa kecenderungan ke
arah sekularisme telah terjadi lama jauh sebelum Holyoake mengemukakan hal
istilah itu sendiri. Selama Renaisans, sekularisme telah mempunyai pengaruh
yang mendalam atas humanisme dan reformasi. Pada ketika itu pemisahan agama
dari politik merupakan suatu gerakan yang masih akan tumbuh, dan baru
berkesampatan terwujud sepenuhnya dalam abad-abad ke-19 dan ke-20.
Rasyidi
juga menyadari bahwa sekularisme dan sekularisasi membawa pengaruh yang
merugikan bagi ajaran-ajaran dan kepentingan Islam. Karena itu, keduanya harus
diberantas. Baginya gagasan pembaharuan HMI seperti yang di pelopori oleh
Nurkholis Madjid hanyalah benar sampai batas untuk membebaskan kebebasan kaum
muslimin dari kebodohan keagamaan. Tetapi, yang mengcewakan baginya ialah bahwa
mereka telah menempuh jalan yang salah dan berbahaya, yaitu sekularisasi untuk
melaksanakan rencana-rencana mereka. Bukanlah soal, betapapun indah
kedengarannya istilah itu bagi telinga manusia modern, tetapi sekularisasi tak
dapat diterapkan dalam Islam, karena istilah itu sendiri tumbuh dari dan hanya
berlaku bagi tata kehidupan Barat dan orang Kristen. Rasyidi bukannya berbicara
tentang sekularisasi dan sekularisme, tetapi ia mengajak Madjid dan HMI untuk
mencurahkan waktu dan tenaganya pada masalah mencari tenaga pimpinan-pimpinan
baru yang dididik untuk menghafal fikih, demikian juga untuk menguasai tafsir
fikih abad ke-10 sampai abad ke-15 ditinjau dari zaman modern dan
tuntutan-tuntutannya. Ia juga menyesal bahwa Madjid dan HMI tidak menyadari
tentang akibat negatif yang ditimbulkan oleh sekularisassi yang melampaui
batas.
Baik
Rasyidi maupun Ansyari memberikan ulasnnya terhadap beberapa konsep Alquran
yang dipakai oleh HMI dan Madjid untuk gagasan mereka tentang pembaharuan. Dan,
hal utama di antara konsep-konsep itu ialah pemahaman tentang iman dan amal
saleh. Definisi Madjid tentang iman merupakan kepercayaan yang kukuh terhadap
Tuhan dan merupakan suatu sikap penerimaan terhadap Tuhan. Rasyidi merasa bahwa
definisi ini menyesatkan, karena dalam pemahamnnya ini, iman terutama menunjuk
kepada pengalaman keagamaan manusia secara pribadi. Devinisi ini tidak sesuai
dengan pemahaman Islam yang sebenarnya tentang iman sebagai kepercayaan yang
timbul dari rasa takut terhadap Tuhan. Bagi Rasyidi, pemahaman Madjid terhadap
perkataan ini lebih mencerminkan mistikisme penduduk asli Jawa daripada
pemahaman Islam yang sebenarnya. Jika orang harus mengikuti jalan pikiran
Madjid, pastilah ia akan terbawa untuk mecari kesatuan dengan Tuhan, hal yang
dilarang keras dalam Islam.
Rasyidi
berusaha menunjukan bahwa Madjid tidak memiliki pengetahuan yang baik mengenai
konsep-konsep agama Islam. menurut dia, istilah amal saleh menekankan sifat
moral dari hubungan manusia dengan sesamanya sebagai suatu manifestasi
kepercayaannya terhadap satu Tuhan. amal saleh berarti, pertama-tama berbuat
baik pada Tuhan, dan kemudian terhadap sesama manusia, sesuai dengan perintah
yang di berikan oleh Tuhan di dalam syariat. Dasar yang kokoh bagi manusia
untuk menjalankan amal salehnya ialah salat-salat wajib sebagai salah satu
rukun Islam. Hanya dengan menjalankan hal-hal inilah manusia menjadi kebal
terhadap kejahatan dan dosa, dengan jalan demikian pula, hubungan yang kukuh
antara iman dan amal saleh dapat dibangun di dalam pengertian Islam yang benar
tentang perkataan-perkataan tersebut.
Menurut
Rasyidi, Madjid banyak meminjam kepada W. Cantwell Smith untuk pemahamannya
tentang agama. Sementara, ia mengakui lingkup pengetahuan Smith yang luas
tentang Islam, ia pun menyatakan kekecewaannya bahwa Smith tak pernah
memperoleh kesempatan untuk melakukan telaah secara mendalam tentang fikih, dan
tidak pernah mengerti arti penting fikih bagi kaum muslimin dalam tiap-tiap
generasi guna menanggulangi tuntutan zaman yang sedang berubah. Andai kata dia
mempunyai kesempatan seperti itu, Rasyidi berpendapat, ia tentu akan dapat
menilai kekuatan fikih serta masa berlakunya yang tahan lama dalam memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi oleh kaum muslimin di dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Bagi Ansyari, amal saleh juga berarti melakukan segala sesuatu
yang baik dalam pandangan Allah SWT. Daripada membuat perbedaan yang tajam
antara iman dan amal saleh, menurut Ansyari, yang pertama yakni iman seharusnya
menentukan kualitas yang kedua, yaitu amal saleh agar memperoleh perkenaan dari
Allah SWT.
Muhammad
Natsir pada suatu kesempatan mengucapkan sebuah pidato di depan HMI. Dalam
pidatonya yang di ucapakannya itu sangat jelas dirasakannya bahwa ketaatan
terhadap gagasan sekularisasi akan berakibat seperti apa yang pernah disebut
Nabi sebagai cinta terhadap dunia yang mementingkan diri sendiri, di mana mati
merupakan suatu keadaan yang menakutkan. Menurut Natsir, orang yang
berpandangan keduniawian seperti ini akan berusaha mencari kenikmatan duniawi
selama masa kehidupannya dan cita-cita yang paling luhur. Ia tidak akan segan
untuk mengorbankan kebenaran demi keuntungan pribadi agar dapat hidup dengan
senang di dunia ini. Perbuatan demikian ini akan bertentangan dengan ajaran
Islam, yang di dalamnya menyuruh orang agar melakukan kegiatan-kegiatan duniawi
dengan sungguh-sungguh sejalan dengan perintah dan kehendak Tuhan.
Pada kesempaan
lain lagi, tanpa menyebut nama Madjid dan HMI, Natsir mengatakan bahwa menurut
Islam, orang memang harus masuk ke dalam kelompok orang-orang yang di dalam
salah satu hadits Nabi dinamakan sebagai "orang-orang asing"
(al-ghraba). Kalimat ini menunjuk adanya bahaya nyata yang harus dipikul
seseorang dibenci dan dikejar-kejar oleh tetangga-tetanganya apabila dia tetap
setia kepada kebenaran Tuhan. Dalam pidato yang sama, juga tanpa menyebut nama,
Natsir tegas-tegas memperingatkan para hadirin bahwa setiap langkah yang
diambil untuk pembaharuan haruslah sejalan dengan kepentingan serta watak umat
yang luhur. Natsir menyatakan bahwa empat kekuatan pokok memberikan ciri bagi
orang-orang di dalam umat: orang harus menjadi pribadi yang baik, orang harus berkualitas
mampu menarik orang-orang lain untuk berbuat baik , orang harus menghindari
perbuatan jahat, dan akhirnya, orang harus percaya kepada Tuhan. Maka di dalam
pikiran Natsir jelaslah bahwa untuk mempertahankan kesatuan umat, untuk
melindunginya dari setiap serangan atau pengaruh jahat, orang harus
menunaikannya di dalam umat, di mana dan bagaimana orang dapat hidup sesuai
dengan empat ciri-ciri yang di ridhai Tuhan ini.
Hamka,
sebagai seorang pemimpin yang telah lama mengabdi keapada gerakan Muhammadiyah,
melancarkan serangan yang bahkan lebih keras terhadap sekularisasi yang di
pelopori oleh Nurkholis Madjid dan HMI. Suatu gerakan untuk pembaharuan
(tajdid), ia berpendapat, tidak perlu bertujuan untuk memperbaharui seluruh
bangunan Islam agar dapat diterima oleh tuntutan serta kebutuhan manusia di
dunia modern. Menurut pendapatnya, lebih baik gerakan itu merupakan pembaharuan
yang didasarkan atas gagasan salaf (para pewaris sah) yang mengajak kembali
kepada Alquran dan hadis sebagai satu-satunya jalan pembaharuan Islam yang
dapat dipertangungjawabkan. Atas dasar pandangan seperti itu, Hamka berpendapat
bahwa bahwa semua diskusi tentang sekularisasi dan modernisasi dewasa ini
merupakan suatu daya upaya baru dunia Barat untuk melaksanakan suatu bentuk baru
kolonialisme, yaitu kolonialisme idiologi, atau dalam kata-kata Hamka sendiri,
ghazwul fikr.
Menurut
Hamka, kolonialisme politik sudah tamat riwayatnya. Bahkan sampai saat ini pun,
pihak Barat-Kristen masih memandang Islam dan dunia muslim sebagai musuh nomor
satu yang harus dihadapi. Termasuk di dalam kolonialisme idiologi ini,
sebagaimana Hamka melihatnya, selain dari memperkanalkan sekularisasi dan
modernisasi, juga perjudian, pelacuran, dan tempat-tempat plesiran, dan
lain-lain, belum lagi dikatakan mengenai gagasan-gagasan politik dan ekonomi,
seperti kapitalisme dan komunisme. Bagi Hamka, kolonialisme ideologi ini telah
menyusup dalam-dalam pada semua segi kehidupan kaum muslimin, oleh karenanya ia
telah memperingatkan mereka agar selalu waspada dan berpegang teguh pada
ajaran-ajaran Alquran dan hadis.
Menunjuk
pada keteledoran moral pada pandangan keagamaan Madjid, seseorang yang bernama
Muhammad Syamsuri dari Jawa Timur mengirimkan sepucuk surat karena redaksi
majalah Panji Masyarakat yang mengatakan bahwa ia heran dan terkejut sesudah
membaca karangan Madjid tentang perjudian. Dalam karangnnya itu Madjid
berpendapat bahwa perjudian tidak tegas di larang di dalam Islam, dan malahan
dapat dibenarkan jika perjudian tersebut terutama digunakan untuk tujuan-tujuan
sosial yang dapat diterima, atau jika dari padanya diperoleh pendapatan bagi
pemerintah. Syamsuri merasa bahwa pendapat Madjid adalah akibat dari
peangetahuannya yang miskin tentang ajaran-ajaran Islam.
Tokoh
lain, ialah Syamsurijal, juga dari Jawa Timur, mengeluh bahwa pendirian Madjid
dan HMI tentang politik pembaharuan telah menimbulkan pertentangan kepentingan
antara HMI dan kepentingan umum ummat. Menurut pendapatnya, HMI menginginkan
penghapusan kekuatan politik Islam agar menjadi lebih dapat diterima oleh
golongan-golongan sosial dan keagamaan lain di dalam negeri. Pengahapusan
politik ini dirasakannya akan membawa HMI tersesat dari tujuannya semula, yaitu
menjadi organisasi utama yang bertanggung jawab untuk mencari kader bagi
pimpinan umat di hari depan. Menurut Syamsurijal, HMI tampaknya takut untuk
menggunakan identitas Islamnya dalam melancarkan gagasan-gagasan pembaharuan
itu. Mereka tidak ingin dipertalikan dengan usaha-usaha untuk mengembalikan
Jakarta Charter. Dengan perbuatannya yang demikian itu, HMI membuka diri
sendiri sebagai suatu oraganisasi yang tanpa kepercayaan diri.
"HMI
pertama-tama merupakan sebuah oraganisasi mahasiswa yang di dasarkan atas
Islam", kata Boen Yan Saptomo, seoarang bekas anggota HMI lainnya. Oleh
karenanya jangan melibatkan diri di dalam masalah-masalah politik, seperti
sekularisai, modernisasi, dan lain-lain. Walaupun HMI tidak pernah menyatakan
diri sebagai sebuah oraganisasi politik, namun dengan memelopori gagasan itu
sebenarnya HMI telah terlalu banyak ikut serta di dalam masalah-masalah politik
praktis. Saptomo juga khawatir melihat kenyataan bahwa dalam akhir tahun-tahun
ini HMI sudah dan masih terus terlalu banyak menaruh minat terhadap usaha-usaha
kerja sama dengan organisasi-organisasi mahasiswa lain. Hal ini juga merupakan
penjelasan atas semboyan yang di pilihnya: "Dalam kebinekaan kita bangun
hari depan", sebagai tema pokok kongres mereka tahun1976. Menurut
pendapatnya, dengan alasan itulah HMI sedang dalam perjalanan meninggalkan
umat. Agar tetap setia kepada umatnya yang semula, Saptomo mendesak keapda HMI
agar lebih banyak memperhatikan kegiatan-kegiatan kampus, demikian pula bekerja
pula untuk menciptakan intelektual ulama dan ulama intelektual. Dengan
melakukan hal-hal seperti ini, HMI akan memulihkan kembali suatu kepribadian
yang berimbang bagi kehidupan para anggotanya, dan yang pada gilirannya akan
bermanfaat bagi seluruh umat.