MENGOKOHKAN PERAN DAN FUNGSI BPL HMI DI ERA KONTEMPORER
DInamika perkaderan HMI yang mengalami
degradasi hingga dititik nol harus dibangkitkan lagi. Recoveri harus diwujudkan
dalam perkaderan HMI, proses perkaderan HMI dari mulai berdiri, baik yang
bersifat informal, sekedar kajian dan diskusi
para mahasiswa hingga tahun 60-an telah menjadi cikal bakal budaya
intelektualitas di HMI, hingga pada kepemimpinan Ismail Hasan Metarium mulai
memikirkan untuk bagaimana mengadakan pelatihan formal dan berjenjang dalam
rangka mewujudkan insan muslim intelektual. Dari kajian perkaderan, seminar
hingga lokakarya perkaderan maka baru tahun 70-an ketika HMI dipimpin Cak Nur mampu
mewujudkan jenjang training perkaderan di HMI.
Perkaderan
HMI dari masa kemasa telah mengalami degradasi yang diikuti dengan kompleksitas
permasalahan di internal HMI yang tidak di imbangi dengan proses rekruitmen
yang baik, proses kaderisasi yang ideal dan out put yang kebanyakan
diorientasikan pada dunia politik. Tentunya hal ini telah membuat penurunan kualitas
kader-kader HMI dari tahun ke tahun. Sehingga pada awal tahun 2000-an
dibentuklah kelembagaan yang secara mandiri diharapkan mampu mencetak
instruktur-instruktur handal untuk mengelola training yang berkualitas dan
mampu menjaga ritme perkaderan informal (cultural) di HMI, yaitu BADAN
PENGELOLA LATIHAN (BPL) HMI. BPL berdiri ditahun 2002, menggantikan peran dari
LEMBAGA PENGELOLA LATIHAN yang dianggap kurang bisa menjaga standar quality
controle Perkaderan HMI.
Namun
waktu bergulir dengan begitu cepat, banyak konsep gagal yang telah ditorehkan
oleh badan ini secara kelembagaan baik dari tingkat PBHMI, Badko dan Cabang.
Secara kelembagaan tidak bisa mengkonsolidasikan untuk membentuk BPL CABANG DAN
KORWIL secara merata diseluruh jenjangnya. Begitu juga dengan gagalnya penerapan
TRAINING INSTRUKTUR yang sampai empat jenjang, dari TRAINING INSTRUKTUR TINGKAT
DASAR hingga TRAINING INSTRUKTUR TINGKAT PROFESIONAL tidak pernah diadakan
hingga tuntas, antara aturan yang ada dan realitanya tidak konsisten. Sehingga
yang menjadi pertanyaan hari ini adalah kemana peran dan fungsi BPL HMI dalam
perkaderan HMI, Tiga periode telah berlalu, dari kepengurusan Chasbulloh
Khatib, M. Istazkiya dan M. Yusro Khazim, namun belum mampu mengaplikasikan
peran dan fungsinya sebagai lembaga yang menggawangi proses kaderisasi secara
nasional.
Bayang-bayang
krisis instruktur melanda hampir seluruh kader HMI, alumni pun merasakan betul,
bagaimana proses regenerasi instruktur di HMI tidak berjalan sesuai dengan
mestinya. Instruktur HMI mengalami keterputusan generasi, sehingga
training-training formal HMI terus bergantung pada peran alumni, sedangkan
kader yang masih aktif dianggap kurang mumpuni. Dan selama beberapa kurun waktu
ini, PBHMI melalu Bidang PA juga tdak pernah mengkaji secara mendalam dan
bagaimana menangani permasalahan ini. Sehingga kekosongan instruktur yang masih
aktif sangat minim, bahkan bisa dikatakan nihil dibeberapa badko dan cabang.
Ketidakmampuan
kader-kader HMI untuk mengkoreksi pedoman perkaderan HMI tahun 2000 telah
menjadikan proses perkaderan ini stagnan. Kader-kader HMI tidak mampu
memberikan otokritik pada system dan pedoman perkaderan HMI tahun 2000,
sedangkan perkaderan secara cultural-pun dianggap telah melenceng dari tujuan
awalnya, sehingga banyak kader yang setelah selesai dari kepengurusan HMI hanya
berbondong-bondong pada dunia politik praksis, sedang ruang yang lainya tak
tergarap/tidak dilirik untuk di isi.
Oleh
karena itu, Untuk keluar dari keterpurukan ini, maka diperlukan sosok instruktur/pendidik
yang berkualitas; kualitas muslim yang kaffah, memiliki intelektual tinggi,
kemampuan profesionalitas yang handal, dan jiwa kemandirian yang kokoh.
Sedangkan secara kelembagaan, BPL HMI harus seksi dan lincah dalam bergerak,
agar mampu untuk menjalankan organisasi secara maksimal, berlari cepat dari
keterpurukan perkaderan selama ini menuju masa kebangkitan kembali perkaderan
HMI untuk menyongsong masa kejayaan HMI yang kedua, dan mampu menyongsong masa
keemasan bangsa Indonesia ditahun 2030, juga menjadi pelopor diera kontemporer
ini.
Recovery
Perkaderan HMI sudah selayaknya kita kaji kembali untuk mendapatkan sebuah
konsep dan system perkaderan terbarukan, untuk menjawab tantangan globalisasi dan
menyongsong masa keemasan Indonesia 2030. Sehingga perkaderan HMI dalam
mencetak kepemimpinan pun harus diorientasikan untuk mencetak pemimpin yang
bernafaskan islam, memiliki intelektualitas yang konsisten dan bisa
dipertanggung jawabkan, memiliki kemampuan profesionalitas yang handal dalam segala
bidang, dan berjiwa mandiri. Sehingga mampu terwujud tujuan perkaderan itu
sendiri yaitu : MUSLIM INTELEKTUAL PROFESIONAL
MANDIRI.
Mengevaluasi
diri secara terlembaga adalah sikap yang paling elegan untuk mengawali
perbaikan. Sistem perkaderan di HMI yang memproses anggotanya melewati berbagai
jenjang kepemimpinan organisasi mulai dari komisariat, cabang, badko hinga
pengurus besar sudah saatnya melakukan upaya penyegaran kembali (refreshment)
mengingat stigma tertua dan terbesar yang melekat pada HMI dalam peta gerakan
mahasiswa secara nasional. HMI saat ini harus bisa melihat fenomena-fenomena
kepemimpinan yang berkembang, baik mulai konteks local, nasional maupun
internasional. Sebagai organisasi kader HMI sudah seyogyanya melakukan
rekonstruksi kepemimpinan kader dalam hal mempersiapkan kepemimpinan bangsa
kedepan. Makanya melalui jenjang training formal mulai basic tarining,
intermediate training dan advance training dimana ketiganya terintegrasi dalam
satu proses kaderisasi kepemimpinan untuk melahirkan kader umat kader bangsa.