Selasa, 29 November 2016

Long March Penaklukan Makkah

Long March Penaklukan Makkah

Yang jarang dikaji orang dalam kisah long march Muhammad dalam penaklukan Makkah (Futuh Makkah) adalah bahwa ia bukanlah sebuah unjuk kekuatan kaum muslim kepada oligarki Quraisy yang menguasai Mekkah, tetapi perjalanan tersebut merupakan posesi religius bagaimana manusia menundukkan amarah.

Adalah Ibnu Arabi dalam tafsir-tafsir sufistik Pembukaan Mekkah (futuhat al Makiyah) yang menggambarkan perjalanan ke Mekkah sebagai perang manusia menundukkan amarah.

Tidak ada satu pun darah yang ditumpahkan Muhammad dalam penaklukan Mekkah. Bahwa benar telah terjadi satu kekecewaan yang digerakkan oleh dorongan alamiah kemarahan (amarah) setelah menempuh ujian-ujian perjalanan menuju Mekkah, tetaplah tinggal sebagai sesuatu yang terbenam (ghaizd). Ia tidak pernah keluar sebagai sesuatu yang terlampiaskan (ghadab).

Pada bani Sulaim yang ditemuinya di ujung kota Madinah, ia mengajarkan untuk menahan pedang-pedang dari menyakiti musuh yang telah menyerah.

Menjelang senja di desa tua Yaztrib di hadapan khabalah bani Qathafa ia melarang pasukannya membunuh orang tua, anak-anak dan perempuan.

"...dan cegahlah tanganmu dari menyakiti orang-orang shaleh yang membunyikan kidung pujian dibihara-bihara dan gereja-gereja."

Rombongan bergerak dalam malam dingin udara Hijaz, tidak ada kata-kata cacia, hujatan, fitnah kebencian kecuali kalimat tasbih, takbir, tahlil, tahmid, dan istigfar. Sampai bertemu mereka dengan pemilik ladang dari bani Muzain yang bertanya apakah ia akan dibunuh dan harta benda miliknya akan dirampas.

"...tahan tanganmu dari merusak tumbuhan, menghancurkan ladang-ladang, dan membunuh hewan tanpa alasan.".

Pasukan bergerak dalam deraan penderitaan panas gurun hijaz. Kesusahan hidup dan kesenangan dibatasi oleh waktu yang fana, kematian hanya sehitungan tarikan nafas saja. Maka ketika pasukan dengan zirah yang dibunyikan canting tasbih, takbir, tahll, tahmid dan istigfar itu memasuki gapura Marr Zahran ditepi kota Mekkah. Peperangan telah diselesaikan.

"Apakah yang akan engkau harapkan aku lakukan kepadamu?" Ia berkata kepada rombongan besar pasukan Quraisy yang menyerah.

"...adat kami adalah kematian bagi para pengkhiatan, dengan begitu engkau mengembalikan kehormatan kami wahai Muhammad."

"Kehormatan manusia adalah ketika ia tercegah dari amarah yang terlampiaskan."

Maka pasukan muslim pada hari itu menyaksikan satu persatu pasukan quraisy mengucapkan syahadah. Pasukan yang semasa lalu adalah orang yang akan membunuh mereka kini menjadi saudara.

Muhammad tersungkur ke tanah di bawah kaki Qashwa, unta tua yang lemah yang telah membawanya kembali dari perjalanan hijrah 13 tahun lalu untuk kembali ke Mekkah.

"Bila datang padamu pertolongan dari Tuhanmu."

"dan di hari itu engkau Muhammad menyaksikan manusia dari segala penjuru datang berbondong-bondong kepada kemuliaan addin."

"Maka bertasbihlah dengan memuji nama Tuhanmu dan mintalah Ampunannya. Sesungguhnya ia adalah Tuhan yang Maha pemaaf."

Apabila hakikat telah menyeru dalam hati, Ibn Arabi melanjutkan dalam catatan, ketika ia tafakur pada tanah Mekkah yang berdebu maka dunia ini hanyalah sebuah pentas bagi pengembara dan satu jembatan yang harus dijalani. Seandainya manusia tidak menghiasinya dengan sifat-sifat dan kemuliaan yang terhalangi kebencian dan kemarahan maka tiadalah akan terbuka jalan baginya menemukan kebahagian yang hakiki.

(Ilmu dan Perjalanan: Futuhat al Makiyah)

Kecemasan dan Kekerasan

Kecemasan dan Kekerasan
Oleh: Yudi Latif
(Kompas, Selasa, 29 November 2016)

Kabut kecemasan mengepung dunia, menyulut sentimen primordial di berbagai belahan bumi. Api permusuhan dan penyingkiran “yang berbeda”  menjalar mulai dari Timur Tengah hingga Eropa, Amerika Serikat hingga Amerika Latin, dari Myanmar hingga Indonesia.   

Arus globalisasi membuka rongga kebebasan ruang publik dan intensitas perjumpaan lintas peradaban. Kebebasan dan perjumpaan melambungkan banyak harapan. Tingginya harapan pada kenyataannya tidak selalu sejalan dengan pemenuhan ekspektasi keadilan. Jarak lebar antara kebebasan dan keadilan itulah yang melahirkan kecemasan dan kekerasan.

Dalam konteks Indonesia, Orde Reformasi melahirkan momentum keterbukaan ruang publik dan pemberdayaan “masyarakat sipil” (civil society). Hal ini ditandai oleh penguatan kembali hak-hak sipil, kebebasan berpendapat, berkumpul dan berorganisasi.

Walaupun demikian, nilai-nilai demokrasi tidak bisa ditegakkan dengan mudah di tengah kuatnya budaya feodalisme, rendahnya tingkat pendidikan, buruknya situasi ekonomi, dan lemahnya supremasi hukum. Pengembangan demokrasi dan reformasi politik tanpa dukungan tertib hukum dan keadilan sosial-ekonomi seringkali dibarengi dengan konflik sosial, disintegrasi, dan kekerasan etno-religius.

Dengan kata lain, penguatan demokrasi dan masyarakat sipil menghendaki adanya kebebasan yang bersejalan dengan keadilan. Dalam sistem politik otoritarian, ancaman utama terhadap kebebasan muncul dari negara. Dalam sistem demokratis, ancaman itu justru muncul dari kekuatan-kekuatan masyarakat sipil, dalam bentuk fanatisisme komunalistik.

Fanatisisme merupakan antipoda dari masyarakat sipil karena menolak rasionalitas, prinsip representasi dalam politik serta pemerintahan  hukum (konstitusional) sebagai bantalan vital demokrasi. Kelompok-kelompok mapan yang mengalami kemunduran atau kalangan yang terlempar dari gelanggang politik formal akan mengembangkan fanatisisme dan cenderung bersikap “iri” (resentment) terhadap kebebasan, partisipasi dan modernisasi.

Tetapi fanatisisme tidaklah muncul tanpa akar. Ia muncul akibat terganggunya basis-basis keadilan dan distorsi komunikasi dalam ruang publik. Berdasarkan pengalaman lintas-negara, banyak kekerasan dan konflik sosial terjadi akibat ketidakadilan (nyata maupun perseptual) dalam alokasi sumberdaya, penyerobotan lahan kehidupan serta deprivasi sosial, baik dalam relasi domestik maupun internasional.

Ketidakadilan dan ketercerabutan sosial-ekonomi ini diperparah oleh pelumpuhan daya-daya komunikatif dalam ruang publik karena penundukan sistem nilai kebajikan hidup bersama (lifeworld) oleh dunia sistem kapitalisme.

Keadilan hukum terganggu ketika warga negara diberi perlakuan yang berbeda atau tak diberi perlindungan oleh negara atas hak-hak sipil-politik dan hak-hak ekonomi-sosial-budayanya. Jika warga negara gagal memperoleh perlindungan dari negara, secara alamiah mereka akan mencari perlindungan dari sumber-sumber yang lain. Sumber-sumber alternatif ini bisa dalam bentuk fundamentalisme keagamaan, tribalisme-etnosentrisme, premanisme, dan koncoisme.

Ketidakadilan ekonomi terganggu manakalala perluasan ruang partisipasi di bidang politik tidak seiring dengan perluasan partisipasi di bidang ekonomi. Di Indonesia, pergeseran ke arah sistem politik demokratis yang membawa serta gelombang aspirasi neo-liberal dalam perekonomian terjadi ketika tradisi negara kesejahteraan masih lemah.

Penetrasi kapital dan kebijakan pro-pasar di tengah-tengah perluasan korupsi serta lemahnya regulasi negara, memberi peluang bagi merajalelanya “predator-predator” ekonomi raksasa, yang secara cepat memangsa pelaku-pelaku ekonomi menengah dan kecil. Ekspansi kepentingan predator besar ini tak berhenti pada dunia usaha, melainkan juga menyusup ke soal perumusan perundang-undangan bahkan sampai pada pemilihan pejabat pemerintah di daerah. Kesenjangan ekonomi melebar yang menyulut kecemburuan sosial.

Dengan demikian, untuk mencapai demokrasi substantif, kebebasan di ruang publik harus dikelola secara dewasa. Kebebasan harus digunakan secara bertanggung jawab dalam rangka “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.
.
Konsolidasi demokrasi di Indonesia akan berhasil jika kita mampu mengelola tuntutan kebebasan yang bersejalan dengan keadilan. Jika keduanya tak berjalan berkelindan, ancaman yang akan kita hadapi tidak saja soal disintegrasi sosial, tapi juga akan hancurnya kerekatan sosial dalam masyarakat.

Bila kerekatan sosial hancur, akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling mempercayai) di antara kelompok-kelompok sosial, sehingga kelompok yang satu dengan yang lainnya akan saling curiga, saling bermusuhan atau bahkan, yang paling mengerikan, adanya upaya untuk saling meniadakan. Dalam situasi demikian, mimpi buruk Hobbesian berupa “perang semua lawan semua” (war of all againts all) bisa jadi kenyataan. Dengan ini, kita sadar, betapa pentingnya melakukan refleksi diri, membuka hati penuh cinta untuk yang lain.

(Yudi Latif, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Minggu, 27 November 2016

Si Penista dan Penis Kita

Si Penista dan Penis Kita
(Bukan Biasa)

Negeriku rakyatnya asik menggunjing
Dari persoalan si penista
Hingga libido ujung penis
Tak lagi waras
Zaman edan ora melu edan ora uman

Mulut tak lagi dijaga
Tulisan jari kita makin liar
Hajar teman injak lawan
Beringas umbar aib
Sedang penguasa asik makan siang
Sambil berimajinasi tentang makar
Sembari berbagi mahar
Dan tukar menukar ujar
Untk memuaskan libido yang bayar
Dan rakyat masih tetap lapar
Dan terus diajak bermimpi
Seperti dinegeri seribu satu malam
Hingga lebaran kuda datang
Tak sadar para naga melilit negeri ini
Memperkosa ibu pertiwi
Hingga lahir anak haram jaddah
Anak yang akan dijadikan penguasa negeri ini
Sedang kita terlena
Sudah puas dengan tontonan telanjang
Tarian tarian yang katanya modern
Suara suara merdu perempuan perempuan penghibur
Dan mabuk kepayang

Negeri yang cepet panik
Para Tokoh Agama keluarkan fatwa berbeda
Para penegak hukum bikin aturan pesanan
Sedang si penista tertawa disana

Sungguh, negeriku yang kaya raya
Rakyatnya yang ramah
Perempuannya yang cantik cantik
Hanya untuk memuaskan libido
Para mafia dan bandar

Dan aku bertanya, negeri ini milik siapa?
Telah kalian jual kemana?
Jangan tenggelamkan kami dlm luatan hutang
Dan jadi kuli di negeri sendiri

Ahlan El-faz, 26 November 2016

Umat Yang Telanjang di Negara Ini

Umat yang Telanjang di Negeri ini

Saat kita saling menelanjangi
Diruang yang sama, penuh sesak
Hingga lupa, telah di taruh mana kemaluan kita
Terus asik walau harus mengusik

Tuan tuan dinegeri ini
Kau telanjangi kebodohanmu dihadapan para cukong
Wakil rakyatnya saling menelanjangi kerakusan dan jati dirinya
Dan rakyat yg tak tahu harus bagaimana
Tutup mata karena malu pilihanya yg tak punya malu

Sedang ulamanya lg sibuk untuk siapkan fatwa
Sambil berdoa, semoga fatwanya manjur dan menang banyak
Yang dibayar rakyat tak malu menipu rakyatnya
Sambil nari-nari dan mulut komat kamit
Sedang para sastrawanya latah
Takut tidak dapat jatah
Dan bersekutu, telanjang tanpa tau jalan berjuang
Negeriku penuh dg manusia telanjang
Sedang para ntelektualnya pura pura, sambil teriak minta bagian

Oh Tuhan...
Penghinaan apa yg tlah Kau timpakan pada kami
Hingga hati nurani kami mati
Sampai kapan kita akan mencaci maki sodara kita
Menelanjangi kebodohan dan kedunguan diri kita
Sedang dluar sana tertawa
Meneguk sambil mabuk

Menjadi umat yang bodoh
Kerna berebut isi perut
Mengumbar syahwat
Dan halalkan segala cara demi jabatan
Tak ada lagi tedeng aling aling
Inilah negeri disimpang jalan
Demokrasi pasca reformasi belum mampu menjawab
Untuk mensejahterakan rakyat
Bahkan menjadi semakin timpang

Dan kita menjadi manusia paling primitif di era modern
Telanjang tanpa etika dan mengikisnya keyakinan beragama
Sedang media asik saja

Ahlan El-faz, 26 November 2016

Sekedar catatan

INILAH SESUNGGUHNYA YANG HARUS BANYAK UMMAT KETAHUI :

Ada satu hal yang belum dibahas atas ILC 811 kemarin soal mengapa Panglima TNI di awal paparannya panjang lebar membahas issue ancaman invasi dan kolonialisme Negara Cina ke Indonesia yang kaya raya, bahkan dengan bahan presentasi detil, dan faktanya.
memang tak ada hubungannya dgn tema or issue Penistaan Agama  ???
Mungkin sampai selesai pun tinjauannya sebagian besar pemirsa masih belum nyambung apa maksudnya.
Mungkin hanya menangkap ini issue yang kita sudah tahu juga, dan paling-paling Panglima hanya ingin bangsa ini tahu dan waspada saja.
Just it!
Justru ini sebenarnya adalah point issue paling Utama Indonesia hari ini yang telah *di design lama sejak puluhan tahun lalu*

Masalah Penistaan Agama oleh Ahok yang barusan terjadi hanyalah 1 scene pendek dari skenario kolonialisme ini untuk mecah-belah bangsa, merusak persatuan dan kesatuan NKRI.

Kondisi Indonesia hari ini sudah terperangkap oleh design Kolonialisasi Cina yang hampir rampung sempurna.

Di sinilah peran penting dan Sentral seorang Ahok sebagai Proxi berikut teman pelindungnya 9 Naga :
Aguan,
Tomi Winata,
James Kristiadi,
Ciputra,
Antonio Salim,
Grup Jarum,
Sopyan Wanandi,
Podomoro,
Agung Sendayu,
Sinar Mas
melaju ke tujuan lewat Pilkada sampai Presiden secara penuh sehingga 100% Indonesia dikuasai lahir bathin ipolek Sosbudhankamnas.

Panglima TNI sesungguhnya ingin menyampaikan bahwa Ahok dan barisannya 9 Naga (Aguan, Tomi Winata, Antonio Salim, Ciputra, James Kristiadi, Sopyan Wanandi, Sinar Mas, Grup Jarum, Podomoro, Agung Sendayu) adalah *bukan hanya memusuhi Islam namun mereka adalah Musuh seluruh anak Bangsa dan Rakyat Indonesia dari seluruh suku agama dan golongan*.

Karena Ahok dan Barisannya membawa misi penjajahan seperti Singapore dan Tibet seperti yang sudah banyak diketahui.

Ini yang belum banyak didiskusikan anak bangsa yang selama ini tertipu oleh penyesatan-penyesatan Issue oleh media karena pemilih Media adalah Cina yang mengalihkan dari issue sebenarnya agar rakyat bangsa ini lengah dan lalai.
Bangsa dibuat bermusuhan karena diadu domba dengan issue rasis, sara, penistaan agama dan lain lain. _Devide et impera._
Lagu lama.

Rakyat lupa pada hal utama yakni *design PENJAJAHAN* yang dibawa oleh Ahok sebagai Proxi alias Boneka Negara Cina dibantu Taipan-Taipan Cina Indonesia
Ekstra Ordinary Ekstrim lebih bahayanya,  penjajahan oleh China bukan hanya mengendalikan semua kebijakan dan pemerintahan serta ekonomi seperti Belanda dulu.
Namun diikuti design akan memasukkan Penduduk China secara langsung ke Indonesia sebanyak 200 Juta orang. Hal yang amat mungkin karena jumlah itu belum seberapa dari Penduduk Negara Cina yang lebih dari saru Milyar orang.
Cukup di situ ???
No ... !!!

Hal tersebut akan dilanjutkan Perpecahan seperti yang di alami Malaysia (dulu Singapura adalah bagian negara Malaysia kemudian kudeta dan mendirikan negara Singapore.
Jadi kalau ada segolongan anak bangsa baik Muslim maupun yang beragama lain masih ngotot hanya melihat sosok Ahok sebagai sosok biasa, maka *sesungguhnya anda adalah benar-benar anak bangsa yang bodoh* _dan tidak mencermati sesungguhnya apa yang ada di hadapan dan lingkungan anda hidup saat ini._
*Nalar anda tidak berjalan.*
Celakanya lagi ilmu anda memadai. Namun akal sehat dan ilmu musnah hanya karena tertipu pencitraan media-media Cina (semua media di Indonesia dimiliki Taipan Cina).
Sadar dan bangunlah, Bersatulah wahai anak bangsa ... !!!
Patahkan dan hancurkan design Kolonialisme China dengan Proxi Ahok dan barisan 9 naga nya ... !!!
*Jadi, ada atau tidak ada kasus Pulau Seribu, Ahok seharusnya sudah harus dilengserkan, diadili dan dihukum sesuai per UU berlaku karena kasus kriminal korupsi dan pelanggaran hukumnya soal kebijakan-kebijakan dan lain lain telah nyata dan begitu banyaknya*

Di bawah rezim Boneka yang hancur-hancuran ini hanya persatuan dan kesatuan Bangsa yang paling sakti dan cepat untuk mengembalikan tatanan bernegara dan berbangsa kembali sesuai UUD 45 menuju kejayaan.

*Kesimpulannya :*
Paparan Panglima kemarin sungguh menuju pandangan lebih jauh dan mendalam atas masa depan Bangsa ini, dan di situ nampak kepuasan dan kelegaan memancar dari wajahnya. Kecerdasan Panglima terbukti.

*RAKYAT INDONESIA SADAR BAHAYA*.

LANDASAN TEOLOGIS PARTISIPASI KELUARGA BESAR HMI DALAM AKSI BELA ISLAM

LANDASAN TEOLOGIS PARTISIPASI KELUARGA BESAR HMI DALAM AKSI BELA ISLAM
------------------------------
by ochen KU PB 97/99

Segera setelah Prof. Syafi'i Maarif mengatakan di forum Indonesia Lawyer Club (ILC) TV One tiga minggu lalu bahwa "mereka yang demo kemarin tidak punya landasan teologis ...bla bla bla...", dan saya temukan bahwa apa yang dikatakan sang profesor ini pun tidak memiliki landasan teologis. Dan kiranya jelas bahwa landasan teologis "mereka yang demonstrasi itu"  hanya satu, keyakinan bahwa Al-Qur'an itu firman Allah dan tidak mungkin terdapat kebohongan di dalamnya. Persoalannya apakah umat Islam secara masif mau menegakkan kebenaran Al-Qur'an atau tidak. Kini bukan lagi ikut demonstrasi atau shalat Jum'at di jalan dibolehkan atau dilarang, tapi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah umat Islam memiliki keinginan kuat (niat) untuk melakukan protes besar terhadap penistaan terhadap Kitab Suci Allah.

Setiap kader HMI dan alumni HMI pasti tertanam di benaknya sepenggal bait Hymne HMI  : "Turut Qur'an dan Hadits jalan keselamatan". Syair ini adalah derivasi Hadits Nabi S.a.w :

"Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitabullah (Qur'an) dan Sunah Nabi-Nya (Hadits)." (HR. Malik)

Logika sederhananya, selama mengikuti tuntunan Qur'an dan Hadits, kita tidak akan sesat.  Artinya kita akan tetap selamat. Jalan keselamatan adalah jalan damai dan memperoleh kedamaian (silm, salâmah, islâman). Dari arti kata Islam ini sehingga saya kurang setuju dengan istilah "Aksi Damai". Sebab Islam secara etimologi artinya damai dan Muslim adalah orang yang cinta kedamaian. Justru kalau kata-kata "damai" menjadi embel-embel di setiap aksi unjuk rasa kaum Muslimin, maka di satu sisi terkesan hiperbolik dan di sisi yang lain terkesan orang Islam secara potensial perusuh. Hal ini dengan sendirnya mendegradasi makna Islam itu sendiri.

Kesesatan dalam Hadits diatas bisa berupa sesat pikir maupun sesat tindak. Tetapi kita akan terhindar dari dua kesesatan itu apabila niat kita benar. Nabi S.a.w bersabda : "Segala sesuatu tergantung niat..." (innama al-a'mâlu bi al-niyati.). Jika niat kita ingin mendapatkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka Insya Allah kita akan memperoleh keridhaan Allah dan keridhaan Rasul. Keridhaan itu tidak instan tetapi bertahap dan berkelanjutan hingga di akhirat kelak. Tapi jika niat kita karena motivasi duniawi, maka yang kita dapatkan adalah balasan instan dan bersifat pragmatis duniawi, baik jabatan ataupun materi.  (Semoga adik-adik HMI dari PB hinngga Komisariat selalu kompak). Kita berharap tidak ada "penyusupan" yang mematikan idealisme keislaman dan keindonesiaan adik-adik HMI dan membuat niat dan pengorbanan suci mereka tercerai-berai oleh kejahatan fitnah.

Aksi Bela Islam (ABI) I, II dan III dari perspektif teologis yang saya pahami (terkait kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok) memiliki landasan teologis yang teramat kuat.

PERTAMA, keyakinan pada kebenaran Kitab Suci bagi setiap penganut agama tak tergantikan dengan kebenaran lain. Bagi seorang Muslim, kitab suci Al-Qur'an membawa kebenaran  absolut karena ia bukan bikinan manusia tapi bikinan Yang Maha Suci dan Maha Absolut, Allah SWT. Allah SWT berfirman :

"Aku bersumpah di setiap bagian-bagian Al-Qur'an itu diturunkan. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar jika kamu mengetahui. Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah bacaan yang mulia. Kitab yang terpelihara di Lauhul Mahfuzh. Tidak boleh ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan Semesta Alam. Maka apakah kamu menganggap remeh Al-Qur'an?" (QS. 56 : 75-81).

Kita bisa membayangkan bagaimana Allah sendiri mengatakan Dia bersumpah di saat-saat setiap bagian Al-Qur'an yang hendak diturunkan kepada Nabi S.a.w. bahwa yang diturunkannya itu benar-benar dari-Nya dan terjaga kecacatan maupun kesuciannya. Tidak ada manipulasi dan pembohongan di dalamnya. Berasal dari Pencipta Alam Semesta. Maka yang "menyentuhnya" (memegang secara fisik atau melafalkan isinya) harus oleh mereka yang disucikan secara jasad dan ruhani (muthahharûn). Kata "thaharah" (suci secara ruhani) berbeda dengan kata "najafah" (bersih secara jasmani). Thaharah lebih jauh ke dalam kepribadian terkait dengan kesucian ruhani. Maka salah satu syarat bagi orang yang "menyentuh" Al-Quran (pegang, baca, kutip) salah satu ayat atau surat Al-Qur'an ia harus dalam keadaan suci lahir dan batin  (thaharah). Dari sisi ini, secara prinsip, Ahok salah karena dia bukan seorang Muthahhar (dia tidak suci secara lahir maupun batin) karena terhalang status non Muslimnya. Statua dimana dia belum pernah menjalani ritual "thaharah" yang disyaratkan.

Keyakinan atas kesucian Al-Qur'an itu menjadi hak otonom setiap pribadi Muslim yang merupakan salah satu pilar iman. Tak bisa ada larangan dari pihak manapun kepada setiap individu Muslim untuk melindungi kesucian Al-Qur'an, karena itu menjadi bagian dari keyakinan keagamaannya. Dengan kata lain, keyakinan keagamaan seseorang tak dapat diintervensi oleh negara, ormas Islam atau Kyai Anu bahkan MUI sekalipun. Dan karena itu tak ada alasan apapun untuk melarang setiap pribadi Muslim untuk membela keyakinan keagamaannya.

Menyikapi kasus penistaan agama ini, segelintir sarjana Muslim mengatakan, mengapa "orang-orang itu sibuk membela Al-Qur'an, sebab Allah saja tidak butuh pembelaan. Mereka juga berpendapat : "Al-Qur'an tidak perlu dibela karena Allah yang menurunkan Al-Qur'an dan Dia-lah yang menjaga kesuciannya". Benar Allah berfirman : "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya". (QS. 15 : 9). Pikiran kalangan fatalis, "ngapain" susah-susah membela Al-Qur'an, toh sudah dijamin oleh Allah. Pandangan ini keliru, sebab pada ayat Al-Qur'an tersebut Allah menggunakan kata "Kami" (nahnu), dimana seluruh ahli tafsir berpendapat bahwa sepanjang Al-Qur'an menggunakan kata "Kami" (nahnu), maka perkara itu dilakukan secara bersama-sama antara Allah dan makhluk-Nya.

Dalam hubungan dengan  Al-Qur'an, disana ada malaikat Jibril sang pembawa pesan/wahyu, ada Nabi S.a.w selaku penerima dan penyampai pesan kepada para sahabat lalu dari para sahabat ke tabi'in, kemudian dari tabi'in ke tabi'it tabi'in hingga ke para ulama, dai, ustadz hingga ke kita. Jadi "Kami" (nahnu) di dalam ayat diatas mengandung semua komponen yang bertanggungjawab menjaga kesucian Al-Qur'an dari penodaan, penistaan dan sebagainya. Kita membela Al-Qur'an karena kita termasuk dalam kategori "Nahnu" tersebut. Maka membela kebenaran dan kesucian Al-Qur'an  menjadi tanggungjawab kita.

KEDUA, demo atau aksi protes atas kebijakan negara dalam hal penegakan supremasi hukum tidak boleh didasarkan pada kepentingan kekuasaan. Tidak ada privelese di dalam penegakan hukum. Rasulullah S.a.w mengatakan : "Jika Fatimah binti Muhammad mencuri, akan aku potong tangannya" sebagai wujud "equality before the law". Persamaan di muka hukum menjadi prinsip dasar penegakan hukum
Atas dasar itu, kita tidak menemukan alasan yuridis yang kuat bagi penegak hukum untuk tidak menahan Ahok. Alasan subyektif penyidik sebagai kewenangan yang melekat pada penegak hukum harus dijelaskan secara transparan.  Sebab bisa jadi alasan subyektif penyidik dapat melanggar rasa keadilan masyarakat yang merupakan salah satu prinsip penegakan hukum.

Dengan pertimbangan itu, maka keluarga besar HMI menjadi bagian dari umat Islam di Indonesia menyatakan keberpihakannya di dalam penegakan hukum terkait kasus penodaan agama yang dilakukan Ahok. Keterlibatan keluarga besar HMI (PB HMI dan jaringanya sampai Komisariat, Kahmi Nasional, Wilayah dan Daerah, Komite Aksi Keluarga Besar HMI dan elemen-elemen alumni HMI yang lain) merupakan bagian dari missi kesejarahan HMI. Partisipasi kita di dalam Aksi Damai I, II, III dan seterusnya adalah selaku kader umat dan kader bangsa. Kita adalah anak kandung umat dan bangsa. Jangan sampai ada di antara komponen keluarga besar HMI ini ada yang ikut Aksi tapi ada yang ogah, bahkan mencemooh. Perlu kesatuan pandangan tentang langkah kita, soal "game" ini apakah kita sampai di tujuan terestrial saja ataukah sampai di tujuan akhir. Pengalaman memberi pelajaran pada kita bahwa HMI ikut berkontribusi melahirkan reformasi nasional, tetapi di era reformasi itu HMI tersingkir dan (sengaja) disingkirkan.  HMI adalah anak reformasi yang terlantar, terasing dan bingung mencari jalan pulang. Justru mereka-mereka yang tidak berkontribusi secara personal maupun kelembagaan saat ini sedang berpesta dan menertawakan HMI. HMI menjadi gelandangan yang tak memiliki rumah.

Dengan pikiran seperti itu, maka saya sedih ketika mendengar bahwa di  jajaran internal PB HMI tidak seiya-sekata dalam menyikapi ABI III nanti padahal pada ABI II justru HMI berada di garis depan. Tersebar kabar juga  bahwa di jajaran Presidium PB HMI terjadi perbedaan prinsip bahkan ada yang "masuk angin" bertemu dengan Kapolri. Semoga saja tidak.

Sedih yang kedua saat Ketua Umum, Sekjen dan 3 orang kader HMI diciduk di Sekretariat PB HMI dan di kediamannya masing tanpa melewati prosedur hukum yang normal. Apalagi di tengah malam menurut cerita kawan-kawan, Ketua Umum PB HMI didekap kepalanya di bawah ketiak polisi bak seorang teroris. Miris hati kita mendengar adik-adik HMI, kader umat dan bangsa ini diperlakukan oleh aparat penegak hukum negara yang mengabdi pada perintah rezim politik saat ini. Kader-kader HMI ditahan sebelum ditersangkakan dan mereka berada dalam tahanan Polda Metro Jaya beberapa hari, sementara laporan Tim Hukum PB HMI yang melaporkan Kapolda Metro Jaya ke Propam Mabes Polri atas kasus pencemaran nama baik yang dilakukannya pada HMI tidak segera ditindaklanjuti. Bagi kita, ini suatu peristiwa yang mengoyak rasa keadilan masyarakat dan menginjak kehormatan organisasi HMI. Perlakuan aparat (penangkapan, penahanan dan pencemaran nama baik) telah membuat HMI mengalami kerugian moral yang luar biasa besar. Apakah kita hanya sampai disini?

Kesedihan yang ketiga beberapa sudut ibukota terpampang spanduk Badko HMI Jababeka-Banten yang pada intinya menolak sholat Jum'at di jalan dalam rencana ABI III tanggal 2 Desember 2016. Saya tidak tahu persis apa landasan pikir mereka. Tetapi hemat kita itu menafikan kontribusi besar yang telah HMI berikan pada ABI I dan ABI II.

Jika pada ABI I dan II, HMI ikut dan memimpin bahkan menjadi pihak yang dikorbankan, dimana Ketua Umum dan Sekjen PB HMI serta tiga kader HMI yang ditangkap dan ditahan di Polda Metro Jaya selama kurang lebih satu minggu merupakan pengorbanan teramat besar. Lalu di ABI III nanti beberapa komponen di dalam HMI menunjukkan gelagat "kurang bergairah" maka hal itu menjadi perilaku yang bukan saja menyakitkan tapi memalukan. Pamor HMI sudah pasti jatuh di saat semestinya HMI lebih "leading" dalam arus utama umat Islam Indonesia saat ini malah melarikan diri sebelum perang dimulai.

Selaku organisasi mahasiswa Islam dengan jejaringnya yang mencapai semua kota perguruan tinggi di Indonesia, semestinya PB HMI menunjukkan soliditas dalam mengagregasi agenda ABI III yang akan datang. HMI adalah Imam di antara sejumah Imam yang ada. HMI tidak boleh mengekor tanpa reserve terhadap agenda orang lain. Ia harus lebih aktif dan berpartisipasi secara eksternal dan menawarkan strategi maupun paradigma alternatif secara internal. Paradigma alternatif yang saya maksudkan adalah kita harus berubah dalam strategi dan taktik di era politik tanpa pedoman ini.

Berjuang bersama arus besar umat saat ini adalah kesempatan emas. Kita akan sulit menemukan momentum yang sama pada kurun 3 tahun mendatang. Dengan demikian keluarga besar HMI harus mengambil bagian di dalam ABI III, 2 Desember 2016.

Menutup postingan ini, ada ayat Qur'an yang bagi saya relevan dan memberi spirit bagi kita di dalam menyikapi situasi saat ini.

1)  "Berjuanglah kamu di jalan Allah dengan perjuangan yang benar" (haqqa jihâdihi) (QS. 22 : 78);

2) "Hai orang-orang yang beriman sukakah kamu aku tunjukkan suatu jualan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? Yaitu kamu mesti beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Hymne HMI : turut Qur'an dan Hadits,  jalan keselamatan) dan berjihad  di jalan Allah dengan harta dan nyawamu. Itulah yang terbaik bagimu jika kamu mengetahuinya" (QS. 61: 10 - 11).

Akhirul kalam, tak ada alasan lain untuk tidak mengikuti agenda ABI III nanti. Karena keterlibatan kita adalah dalam rangka tegaknya kalimat Allah di bumi Indonesia. Li ilâhi kalimatillâhi hiya al-'ulyá.

Selamat Berjuang !

Ini 21 Perjanjian Kerja Sama Indonesia - Cina

Ini 21 Perjanjian Kerja Sama Indonesia-Cina

Bisnis.com, JAKARTA-Dalam acara Business Luncheon terdapat 21 perjanjian kerja sama antara perusahaan-perusahaan serta pemerintah daerah di Indonesia dan China yang ditandatangani di hadapan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden RRT Xi Jinping pada Kamis (3/10/2013).

Berikut bentuk kerja sama serta nama-nama perusahaan Indonesia dan China yang menandatangani nota kesepahaman bersama tersebut:

1. Perjanjian pinjaman antara PT. OKI Pulp & Paper Mills dengan China Development Bank Corporation untuk pembangunan pabrik pulp di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, sebesar US$1,8 miliar.

2. Perjanjian kerangka kerja antara PT. DSSP Power Sumsel dengan China Development Bank di sektor energi milik Grup Sinar Mas. Total nilai investasi mencapai US$400 juta.

3. Perjanjian pokok dalam proyek infrastruktur transportasi dan pertambangan di Indonesia antara PT. Indika Energy Tbk. dengan China Railway Group Ltd. dan Export-Import Bank of China senilai US$6 miliar.

Mencakup pembangunan fasilitas pertambangan, jalan, jembatan, dan pelabuhan di kawasan Papua dan Kalimantan Tengah.

4. Perjanjian kerjasama investasi antara PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk. dengan ICBC Financial Leasing 
Company Ltd. total senilai US$1,7 miliar.

Kerjasama tersebut mencakup penjualan dan sewa kembali sebanyak 5 unit pesawat B777-300ER serta perjanjian sewa sebanyak enam unit pesawat A320-200 untuk rute penerbangan di kawasan timur Indonesia.

5. Perjanjian investasi dan pembiayaan proyek infrastruktur FeNi plant and related 300.000 ton per annum (PT. Sulawesi Mining Investment) antara PT. Bintang Delapan Investama dengan China Development Bank, Shanghai Decent Investment, dan China-ASEAN Invesment Cooperation Fund. Total nilai investasi mencapai US$5,1 miliar.

6. Perjanjian investasi joint venture Investment Agreement untuk PT. Indonesia Morowali Industrial Park antara PT. Sulawesi Mining Investment dengan Shanghai Decent Investment (Group) Co. Ltd. 
Total nilai investasi mencapai US$100 juta.

7. Perjanjian kemitraan strategis dalam pengembangan dan penyediaan listrik untuk kawasan industri Medan, Sumatera Utara, sebesar 2 x 150 MW.

Total nilai investasi yang ditandatangani PT. PLN (Persero) dan PT. Kawasan Industri Medan (Persero) dengan PT. Mabar Elektrindo dari China tersebut mencapai US$500 juta.

Keseluruhan investasi datang dari China dalam bentuk dolar AS. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan sekitar 1.000 lapangan pekerjaan selama fase pembangunan konstruksi dan sebanyak 300 lapangan kerja selama masa operasi.

8. Perjanjian joint venture antara PT. Cita Mineral Investindo Tbk. (HARITA GROUP) dengan China Hongqiao Group Lt. dan Winning Investment (HK) Company Ltd. dalam PT. Well Harvest Winning Alumina Refinery senilai total US$1 miliar.

Ketiga pihak bersama-sama mendirikan, mengembangkan, dan mengoperasikan pengolahan dan pemurnian pabrik alumina (Smelter Grade Alumina), termasuk menjual produk alumina.

9. Perjanjian memorandum antara PT. Sarana Infrastruktur Indonesia dan PT. Jasa Sarana dengan China National Machinery Import & Export Corporation untuk proyek Monorel Bandung, Jawa Barat, total senilai US$1,8 miliar.

Pemerintah mengharapkan kerjasama ini dapat menghasilkan benefit berupa sistem transportasi perkotaan yang efisien, penambahan lapangan pekerjaan, serta dapat mengurangi kemacetan. Transportasi massal ini diharapkan dapat memuat sebanyak 200 penumpang dalam sekali jalan.

10. Perjanjian antara PT. SDIC Papua Cement Indonesia dengan Bank of China cabang Jakarta senilai US$344,75 juta untuk pembangunan kapasitas sebesar 3 juta ton/tahun.

11. Perjanjian kerjasama antara Pemprov Kalimantan Barat
dengan PT. Borneo Alumindo Prima dan Hangzhou Jinjiang Group Co. Ltd. senilai US$1,7 miliar.

Kerjasama tersebut untuk produksi bauksit sebanyak 5 juta ton/a, alumina 1,5 juta ton/a, daya listrik sebesar 30 MW (PLTSa), dan kawasan industri seluas 1.000 hektar. Nilai ekspornya diperkirakan dapat mencapai US$600 juta/a.

12. Perjanjian kerjasama antara PT. Yinyi Indonesia Mining Investment Group dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan tentang pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian bijih nikel di Kabupaten Bantaeng senilai US$1,5 miliar.

13. Perjanjian kerjasama antara PT. Yinyi Indonesia Mining Investment Group dengan PT Harum Sukses Mining dan PT Bumi Halteng Mining untuk pembangunan smelter senilai US$900 juta.

14. Perjanjian akuisisi antara Tianjin Julong Jiahua Investment Group Ltd. dengan PT. Rezeki Kencana dan PT. Grand Mandiri Utama senilai US$200 juta untuk proyek pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.

15. Perjanjian kerjasama investasi antara PT. Sawah (Indonesia) dengan Jiangsu Dafeng Harbor Holding Group Co. Ltd. untuk bersama-sama men-set up dan mengelola PT. Indonesia Dafeng Port Heshun Nickel Industri. Total investasi antara kedua belah pihak mencapai US$250 juta.

16. Perjanjian kerjasama pelatihan sumber daya manusia di bidang telekomunikasi senilai total US$1 juta antara Balitbang SDM Kemkominfo, PT. Telkom Indonesia, dan PT. Telkomsel dengan PT. Huawei Tech Investment. Benefit yang diharapkan yaitu kontribusi pelatihan IT bagi 1.000 mahasiswa per 3 tahun.

17. Perjanjian joint venture untuk membangun smelter industri alumina di Kalimantan Barat senilai US$1,4 miliar. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh PT. Billy Indonesia dan PT. Indonusa Dwitama dengan China Aluminum Corporation of China Ltd.

18. Perjanjian kerangka kerja pembiayaan konstruksi fasilitas pelabuhan dan pengangkutan antara PT. Daya Bumindo Karunia dengan China Development Bank dan China Harbour Engineering Company Ltd senilai US$1,1 miliar.

19. Perjanjian kerjasama antara PT. Bumi Makmur Selaras dengan Hanking Industrial Group Co. Ltd. untuk membangun kawasan industri di Koonawe Utara, Sulawesi Tenggara senilai US$3 miliar.
Antara lain pengembangan pembangkit listrik, smelter nikel, semen, dan baja.

20. Perjanjian kerjasama proyek Jakarta Monorail antara PT. Jakarta Monorail dengan China Communication Construction Group. 
Total nilai investasi kerjasama tersebut mencapai US$1,5 miliar. Benefit yang diharapkan yaitu menyediakan sistem transportasi yang efisien bagi masyarakat perkotaan serta peluang lapangan kerja.

21. Perjanjian perumahan indemnificatory di Kemayoran, Jakarta, antara PT. Perumnas dengan China Metallugrical Group Corporation Overseas Company.

Editor : Nurbaiti

Surat Terbuka Navias Tanjung Untuk Presiden Joko Widodo

Berikut ini isi surat terbuka Navias Tanjung untuk Presiden Joko Widodo:

1 : Anda terpilih jadi presiden bukan bukan secara cuma2 tetapi memakai biaya negara Rp 7,9 triliun data KPU.

2 : Uang yang ludes sebanyak itu adalah untuk masa jabatan 5 tahun atau 1.825 hari.

3 : Jika dibagi rata uang rakyat di negara ini telah ludes Rp 4,328 miliar per hari. (Empat miliar tiga ratus dua puluh delapan juta rupiah per hari ).

4 : Apa janji Anda pada kami rakyat Indonesia saat kampanye dulu. Ada 66 janji Anda yang dipegang rakyat semua media juga mencatat tidak satu pun Anda tepati.

5 : Hasil survei Indobarometer minggu ini menyatakan Anda telah mengecewakan 95 persen rakyat Indonesia.

6 : Menurut analisa saya, Anda telah melakukan pemborosan uang negara tanpa perhitungan cermat dalam bidang pembiayaan pengeluaran negara, sudah puluhan triliun uang negara ini ludes tanpa manfaat.

7 : Ada ratusan triliun lagi uang negara ini yang akan hancur atas kebijakan2 anda bakal jadi beban masa depan bangsa.

8 .Sampai ini hari masa jabatan Anda baru berkisar 650 hari , dan utang negara telah bertambah hampir 900 triliun, berarti kehadiran Anda sebagai presiden telah menambah utang negara lebih dari Rp 1,3 triliun setiap hari.

9 : Anda telah menghancurkan kehidupan buruh di negara ini dengan mendatangkan kuli-kuli dari Cina. Apakah ini janji Anda tentang peluang 10 juta lapangan kerja.

10 : Saya mencatat mulai dari Esemka, Kapal Sapi, Tol Laut, Kereta Cepat, Traktor Tangan, Kartu-kartu Aladin, adalah pemborosan sia-sia dan Bullshit semua.

11 : Saya Navias Tanjung 9 tahun lebih tua daripada Anda menyampaikan ini pada Anda karena cemas melihat kondisi negara saat ini yang terparah sepanjang sejarah.

12 : Jika Anda selaku presiden berpendapat ini pencemaran untuk Anda silakan gugat saya secara hukum, saya nonpartisan, akan saya uraikan seluruh kebijakan-kebijakan Anda di depan rakyat di pengadilan secara rinci agar mereka jadi juri sebuah kebenaran.

(ttd Navias Tanjung 11/08/16)

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/08/23/occsvn361-pengakuan-navias-tanjung-pembuat-surat-terbuka-untuk-jokowi

Memoar Siti Fadilah di Rutan Pondok Bambu

Memoar Siti Fadilah di Rutan Pondok Bambu

Oleh: dr. Ni Nyoman Indira*

JAKARTA- “Nomor urut 65-70!” Teriak petugas RUTAN dari pintu masuk. Saya beserta rombongan langsung bersiap masuk dan mengantri untuk mendapatkan giliran di periksa. Hari ini hari Kamis, hari dimana keluarga menjenguk sanak saudaranya yang berada di dalam. Hari dimana saya dan kerabat-kerabat saya yang lain pun menjenguk ibu ideologis kami.

Hari itu terlihat ramai seperti biasanya. Dari kejauhan tampak ibu kami sudah duduk sambil tersenyum menyambut kami dari kejauhan. Saya tepat duduk disampingnya dan beliau langsung berkata “Eh aku nulis surat loh buat kamu.. Nanti dibaca ya!” Begitu pesannya.

Saya menerimanya dengan sangat antusias sambil tersenyum penasaran apa isinya. Di dalam hati saya berkata, “Permata di dalam lumpur sekalipun akan tetap menjadi permata..”

Begitulah ibu kami, walaupun menjadi korban politik dan harus menjalani masa tahanan, beliau tetap memberikan manfaat untuk sekitarnya dan tetap menjalankan hobinya, menulis.

Selesai menjenguk beliau, aku pun langsung membaca isinya pelan-pelan..

Dear Indi,

Ibu sekarang di ruangan bersama dua orang yang lain. Lumayan, tidak banyak orang dalam satu kamar.

Ibu masih melayang-layang, memikirkan hari demi-hari. Ibu masih berfikir apa kehendak Tuhan, ibu berada disini.

Tampaknya adaptasi fisik bukanlah masalah yang sulit untuk ibu. Bahkan ibadah ibu semakin terjaga. Ibu ingat bila diluar sana, alangkah banyak waktu yang sia-sia dalam ibadah. Keduniawian memang menyilaukan. Seolah-olah kita akan hidup seribu tahun padahal sewaktu-waktu kita bisa meninggalkannya begitu saja.

Ibu belajar banyak hal disini.

Dunia seperti berhenti, dan ibu pun harus ikut berhenti, tidak ada yang bergerak. Daunpun tidak bergoyang karena angin juga berhenti. Hanya nafas yang masih terus hadir di antara detak jantung yang tidak pernah berhenti.

Ibu masih hidup, Indi..

Aah, bahkan irama jantung ibu tidak teratur. Memang sebelumnya ibu sudah lama memiliki riwayat Atrial Fibrilasi, yang tadinya bersifatparoxysmal, tetapi menjadi permanen di dua tahun terakhir.

Indi..
Hari ini, satu bulan penuh ibu ada di Pondok Bambu, suatu pengalaman yang sangat luar biasa.

Ibu membayangkan Bung Karno yang pernah diasingkan di Bengkulu. Ibu juga membayangkan Pak Hatta yang diasingkan di Papua. Memang menyakitkan. Tetapi mereka lebih beruntung karena mereka adalah tahanan politik yang berjuang untuk bangsanya. Sedangkan ibu, dikriminalisasikan seperti sekarang ini.

Kadang ibu tidak percaya bahwa keadilan di negeri ini bisa dipermainkan seperti ini. Ibu juga tidak percaya bahwa hukum di negeri ini bisa diperjualbelikan seperti jual beli barang rongsokan. Sangat memalukan.

Ibu sedih mengalami hal ini, tetapi lebih sedih lagi melihat kehancuran politik negeri kita sekarang ini. Ibu masih mengikuti beritanya di televisi.

What’s wrong dengan bangsa kita Indi?

Demikian berharganya uang melebihi harga diri dan martabat sebagai manusia? Apakah betul untuk memiliki semuanya harus berkuasa? Dan untuk berkuasa harus punya uang dan untuk mendapatkan uang harus menghalalkan berbagai cara?

Oh Indi..

Kata Qur’an, manusia adalah khalifah, at least bagi dirinya sendiri.
Tapi kita melihat bukan, banyak manusia yang sebenarnya hanya seekor domba. Lihatlah dia, harus dituntun kesana kemari demi kepentingan tuannya, dan hanya karena seonggok rumput kering, domba itu melakukannya!! Itulah komprador Indi..

Kamu jangan seperti mereka. Lihatlah saja dan jangan ikuti mereka..

Indi..
Konon diluar sana sedang terjadi puting beliung politik. Semua ingin menjadi penguasa tetapi tidak seorang yang ingin menjadi pemimpin. Seolah-olah tidak ada yang lebih mulia daripada menguasai negeri ini meski tanpa hati.

Bayaran untuk menjadi penguasa itu mahal sekali, Indi..Karena mereka harus menginjak rakyat yang semestinya dilindunginya. Belum lagi membayangkan neraka jahanamtelah menantinya kelak di akhirat nanti..

Mengerikan sekali..

Oh Tuhan, kirimkanlah pemimpin yang Engkau rahmati dan Engkau berkahi untuk negeri ini, sehingga bisa menjadi pemimpin yang rahmatan lil alaamiin, sehingga rakyat kecil tidak lagi lapar, sehingga rakyat kecil tidak bingung lagi. Mereka ingin hidup yang bermartabat, bukan hidup tanpa martabat, hanya saja sistem yang ada memaksa mereka untuk meninggalkan martabat mereka sebagai manusia.

Oh, tentang rakyat kecil Indi..

Ibu di dalam sini mendengar suatu pelajaran yang berharga. Pengalaman ibu satu minggu di ruang karantina sangat luar biasa.

Ibu baru sadar bahwa ada lapisan masyarakat yang sangat tersiksa di negeri ini.

Kita sudah merdeka 70 tahun Indi, tetapi cita-cita kemerdekaan ini hanya menjadi angan-angan bangsa kita. Alangkah banyaknya rakyat yang tidak merdeka dan jauh dari cita-cita kemerdekaan kita.

Indi..
Terpatri mereka di hati ibu..

Seorang perempuan, Desy namanya, mencuri handphone karena ibu nya sakit. Dia tertangkap warga dan di serahkan ke polsek dan dikirim ke Pondok Bambu tanpa tahun kapan diurus perkaranya.

Lain lagi cerita Fanny yang ditangkap polisi karena calon suaminya mencuri uang 600ribu di pasar.

Oh Indi..

Neneng, seorang perempuan usia 30 tahun, dia dihukum karena dia hutang dengan tetangganya ketika melahirkan melalui operasi Caesar. Saat itu dia butuh 10 juta.

Namun bunga hutangnya terus bertambah hingga menjadi 17 juta.Dia sudah cicil 2,7 juta dan dia sudah berjanji untuk mencicilnya. Sayang, ketika si bayi berumur 11 bulan, tiba-tiba dia diundang oleh tetangganya itu dan lanagsung dibawa ke polsek tanpa basa-basi. Dua minggu kemudian dia dipindahkan ke Pondok Bambu.

Ibu melihat bajunya basah di bagian dadanya karena air susunya yang masih terus mengalir. Dia bercerita bahwa iatidak tahu lagi bagaimana nasib bayinya, diberi minuman apakah bayinya. Air matanya mengalir deras seolah berlomba dengan tetesan ASI nya.

Hati ibu menangis Indi. Dulu, ketika ibu masih menjadi Menteri Kesehatan, ibu menggratiskan orang-orang seperti Neneng dan orang-orang tidak mampu lainnya bila melahirkan secara Caesar.

Mereka bukan lah orang jahat, mereka orang miskin. Mereka bukan penipu tapi mereka memang miskin. Mereka miskin karena sistem, mereka miskin dengan terstruktur. Pemerintah belum berhasil memberikan mereka kesejahteraan, bahkan pekerjaan, Indi..

Apakah para elite negeri ini tidak menyadari bahwa nanti di akhirat akan ditanyakan apa yang telah kamu perbuat untuk rakyatmu? Kenapa masih ada rakyat yang kelaparan? Atau masih ada rakyat yang mencuri karena tidak punya uang untuk makan?
Indi, menjadi pemimpin itu tanggung jawabnya berat!!

Oh Indi..

Belum lagi tahanan narkoba. Mereka cantik dan muda, mestinya mereka bisa berkarya di luar sana. Tetapi mereka harus dikurung selama kurang lebih 4 tahun karena pemakai.Biasanya mereka terjebak dan bandarnya tetap selamat..Itulah negara kita, Indi..

Ooh, ada lagi cerita seorang ibu yang cantik. Sebutlah namanya Ibu Cynthia. Dia menangis ketika ada penyuluhan hukum oleh LBH. Matanya sembab. Dia baru sebulan ditahan dan baru seminggu disini. Dia ingin punya pengacara gratis.

Dia bercerita ketika itu anaknya mogok sekolah oleh karena harus membayar iuran ke sekolahnya sebesar 2,9 juta. Ibu nya pun kebetulan terkena stroke dan dikirim ke suatu rumah sakit. Dua-duanya butuh biaya. Maka dia pun mencari hutang kepada temannya yang terlihat kaya.

Dia kesana dan dijanjikan akan diberikan 10 juta bila berhasil mengantar suatu bungkusan ke seseorang. Baru beberapa menit dia berjalan, dia ditangkap polisi dan ternyata bungkusan tersebut isinya 200 INEX. Padahal jika seseorang membawa INEX >3 maka hukumannya akan lebih dari lima tahun penjara.

Bayangkan Ibu Cynthia harus menerima hal itu. Dia akan dihukum seumur hidup bahkan bisa divonis hukuman mati. Bayangkan hanya karena uang 10 juta. Dan dia melakukan hal tersebut untuk menyangkut hal yang sangat mendasar, yakni pendidikan dan kesehatan.

Andaikan negara kita betul-betul bisa menggratiskan pendidikan dan kesehatan, mungkin kesejahteraan rakyat akan meningkat nyata.

Tetapi jangan harap, di mata kapitalis, justru kesehatan dan pendidikan adalah komoditi yang menggiurkan..”

Dua hal yang sangat berlawanan seperti siang dan malam, seperti gelap dan terang..
Maka begitu kamu menaruh hati pada rakyat kecil, maka otomatis kamu menjadi musuh kapitalis. Jika pemimpin berpihak kepada kapitalis berarti ya tidak ada hak bagi rakyatnya untuk hidup sejahtera.

Indi, ibu terlalu jauh melamun.. Yang jelas, ibu melihat ketidak adilan terjadi justru pada lembaga hukum! Hukum yang seharusnya menjadi penjaga keadilan, justru menjadi komoditi dagang bahkan komoditi politik di negeri ini..

Indi,
Dari titik mana nasib bangsa ini bisa diperbaiki?

Ah, Indi.. Ibu lelah menulis. Jam besuk sudah tiba, kau akan datang bukan??

(Ditulis: 24 November 2016)

Sejenak aku menarik nafas dalam. Di sela hembusan nafas, tanganku langsung menghapus air mata yang membasahi pipi.

Hatiku menjerit.

Aku langsung berfikir dan membayangkan nasib para perempuan yang sebenarnya tidak bersalah. Mereka hanya lah korban dari sistem yang ada. Mengapa pemerintah tidak turun dan mencari tahu apakah yang terjadi kepada mereka hingga mereka terpaksa melakukan hal tercela? Mengapa para elite justru diam saja melihat rakyatnya yang tidak jelas nasibnya?

Allahu Robbi, aku pun juga langsung teringat kepada ibu ideologis ku. Ibu ideologis kami yang sampai saat ini belum ditemukan bukti fisik dalam perkaranya. Ibu ideologis kami yang lebih memikirkan nasib rakyat kecil dan negerinya sekalipun dirinya sakit dan mendekam di dalam penjara?Adakah yang yakin sepenuhnya bahwa beliau bersalah?

Keadilan bukan hanya milik para penguasa. Keadilan adalah milik semua orang yang ada di negeri ini. Begitupun dengan mereka dan ibu kami yang menjadi korban politik. Aku pun semakin terpacu dan tak gentar, karena aku yakin bahwa Tuhan Maha Adil..

*Penulis adalah Koordinator Sahabat Siti Fadilah

INDONESIA SIAPA PUNYA?

INDONESIA SIAPA PUNYA?

OLEH:KH.Haedar Nasir
(Ketum PP Muhammadiyah)

Siapa sesungguhnya pemilik Indonesia? Di negeri ini, tentu tak satu pihak mana pun berhak menepuk dada sebagai paling berdarah Merah Putih. Mengklaim diri sebagai pewaris dan penjaga utama Negara Kesatuan Republik Idonesia, Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945. Indonesia milik semua untuk semua.

Sangat gegabah jika ada orang menyatakan, bahwa Indonesia belum teruji kebhinekaannya jika minoritas belum menjadi seorang Presiden. Lebih-lebih ketika ujaran itu diungkapkan dengan nada angkuh, seolah ukuran keindonesiaan ialah kedigdayaan diri dalam singgasana kuasa. Sebuah kesombongan yang dapat menjadi duri tajam di tubuh negeri ini.

Manakala ada segelintir orang ingin menguasai Indonesia dengan hasrat kuasa berlebih. Ingatlah pesan Bung Karno, "Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!". Jangan ada pihak yang ambisius untuk memiliki Indonesia dengan nafsu chauvisnis.

Bercerminlah pada jiwa kenegarwan para pendiri bangsa. Tatkala Ki Bagus Hadikusumo, menyampaikan gagasan Islam sebagai dasar negara pada sisang Badan Penyelidik Usaha-usaha Peraiapan Kemerdekaan (BPUPK), Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah ini dengan tegas menyatakan bahwa dirinya adalah "seorang bangsa Indonesia tulen" dan "sebagai Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka".

*Pengorbanan umat*

Umat Islam meski mayoritas dan kuat keyakinan keagamaaanya, sungguh mencitai dan menjadi tonggak penyangga keindonesiaan yang setia. Umat juga sangat toleran dan menjunjungtinggi kebhinekaan. Keislamannya tidak opisisi biner dengan keindonesiaan dan kemajemukan bangsa, bahkan menjadi perekat utama. Islam menjadi kekuatan integrasi nasional, ujar Prof Koentjaraningrat.

Merupakan suatu ironi dan melukai hati manakala umat Islam dianggap sebagai golongan ekslusif, yang hanya mementingkan urusannya sendiri. Keislaman juga bukan tidak berseberangan dengan keindonesiaan. Jika ada yang berlogika, "Tak perlulah bicara Islam, sebutlah Indonesia". Pandangan itu justru beraroma ekslusif, karena mengandung makna penegasian Islam di negerinya sendiri.

Tak perlu ada Islamofobia di negeri muslim terbesar ini, karena watak umatnya juga toleran dan menjadi penyangga utama Indonesia. Ketika terdapat arus aspirasi umat Islam untuk memperoleh hak dan keadilan, sungguh bukankah primordialisme. Aspirasi itu ekspresi yang wajar, lebih-lebih salurannya demokratis dan konstitusional. Jangan pandang Islam di negeri ini sebagai ancaman keindonesiaan dengan segenap pilarnya.

Pandangan negatif itu tentu sangat tidak beralasan. Perjuangan umat Islam melawan penjajah beratus tahun sarat heroisme. Islam dan umat Ialam sangat ditakuti Penjajah, hingga memggunakan berbagai muslihat yang licik. Para tokoh seperti Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol harus menyerah karena ditipu. Snouck Hurgronje bahkan harus mengaku muslim untuk dapat masuk ke Saudi Arabia guna mempelajari Islam untuk menaklukkan perlawanan umat Islam.

Ketika pergerakan nasional awal abad kedeuapuluh menggunakan cara-cara modern, umat Islam pun berdiri di garda depan. Adalah Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang memelopori pergerakan Islam modern untuk melawan penjajah dan mengubah nasib rakyat Indonesia yang terbelakang menuju gerbang kemerdekaan dan kemajuan. Lahirnya Hizbul Wathan atau Pasukan Tanah Air tahun 1918 salah satu contoh kepeloporan bela bangsa kala itu, sebagai wujud jihadfisabilillah.

Tatkala Indonesia diambang retak satu hari setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dalam peristiwa Piagam Jakarta, umat Islam melalui tokoh utamanya Ki Bagus Hadikusumo dengan mediator Kasman Singodimedjo memberi jalan keluar, meski harus berkorban luar biasa. Padahal Piagam Jakarta kala itu merupakan Gentlement Agreement semua golongan, yang pelopor utamanya ialah Soekarno.

Para tokoh Islam yaitu Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosujoso, dan Abdul Wahid Hasyim, sebagai anggota Panitia Sembilan yang disebut mewakili golongan Islam harus merelakan tujuh kata "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Pengorbanan keyakinan Islam itu, meski ada unsur siasat tidak fair, dilakukan para wakil umat Islam demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kurang apalagi sebenarnya pengorbanan dan komitmen umat Islam Indonesia untuk bangsa dan negaranya. Jika mau memaksakan kehendak sebagai mayoritas pasti terjadi. Lebih-lebih tokoh sentral seperti Soekarno menjadi pemrakarsa dan sangat mendukung Piagam Jakarta itu, hingga pada 5 Juli 1959 dalam Dekrit Presiden, konsisten menjadikan Piagam Jakarta sebagai jiwa UUD 1945. Itulah hadiah terbesar umat Islam untuk Indonesia, ujar Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara.

Namun ibarat ibu yang melahirkan anak, kasih sayangnya melampaui luasnya samudra. Meski laksana anak gemuk yang memperoleh baju sempit karena semua diberi pakaian berukuran sama, umat Islam tetap selalu memberi tak pernah meminta lebih. Apalagi tatkala ada segolongan kecil menguasai kue nasional yang melampaui takaran, umat Islam tetap tak marah meski hatinya terluka dan dirinya marjinal dari pusaran utama Indonesia.

Urat sabar umat Islam juga cukup lebar dan tidak putus. Tatkala hak-hak dasarnya kurang terpenuhi, karena satu dan banyak sebab, yang menjadikan dirinya terpinggir dalam sejumlah hal, pengkhidmatannya untuk negara tak kenal lekang. Bahkan ketika denyut nadi keagamaannya tersakiti dan menunut keadilan, malah dipandang sebagai ancaman bagi kebhinekaan. Kebhinekaan terkesan milik sekelompok orang yang bersuara lantang di ruang publik.

*Nilai luhur utama*

Keindonesiaan itu luhur dan bercita-cita. Bung Hatta berkata: "Indonesia merdeka tidak ada gunanya bagi kita, apabila kita tidak sanggup untuk mempergunakannya memenuhi cita-cita rakyat kita, yakni hidup bahagia dan makmur dalam pengertian jasmani maupun rohani". Hatta menarik keindonesiaan pada cita-cita dan perwujudannya dalam dunia nyata. Manakala ada segolongan kecil yang bahagia dan berkemakmuran, sementara mayoritas nestapa maka kondisi timpang ini harus diluruskan dan dipecahkan secara kolektif. Negara atau pemerintah wajib hadir dan tidak boleh abai atas disparitas nasional ini.

Pemilik Indonesia juga bukan mereka yang setiap hari lantang memekikkan kata merdeka. Bukan pula karena sering merayakan segala kegiatan simbolik berlabel Indonesia, kebhinekaan, dan jargon-jargon bernuansa merah-putih lainnya. Semua baju luar itu sekadar atribut dan verbalisme, belum membuktikan keindonesiaan yang esesni dan sejati. Keindonesiaan itu harus bersemi dalam jiwa, alam pikiran, sikap, dan tindakan yang luhur dan utama sebagaimana disemaikan oleh para pendiri bangsa tahun 1945 secara otentik. Keindonesiaan yang membumi.

Maka dalam keindonesiaan, termasuk di dalamnya kebhinekaan, sesungguhnya ada nilai-nilai utama yang mesti dijadikan pedoman dan ditegakkan oleh seluruh komponenbangsa.

Tumpuannya pada nilai-nilai fundamental yang hidup subur dalam bumi rakyat Indonesia, sebutlah Agama dan Pancasila. Agama di negeri ini bahkan telah menjadi jiwa kebangsaan dan mendapat tempat konstitusional sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang-tubuhnya pasal 29. Ingatlah kemerdekaan Indonesia itu berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Agama juga telah hidup mendarahdaging dalam jatidiri bangsa jauh sebelum negara Indonesia terbentuk.

Agama harus memperoleh tempat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Agama apapun tidak boleh disepelekan, diabaikan, dan dipinggirkan dari denyut nadi kehidupan bangsa dan negara. Sekali agama dan perasaan beragama dicederai, dinodai, dan dinista oleh perangai yang semberono maka keindonesiaan dan kebhinekaan pun terlukai. Ada niat atau tidak diniati, tindakan yang berakibat pada pencederaan keyakinan dan rasa keberagamaan tetaplah bermasalah dan muaranya menodai keberagamaan.

Namun bagi umat beragama, tentu agama pun harus menjadi nilai luhur transendental yang mencerahkan jiwa, hati, pikiran, sikap, dan tindakan bagi para pemeluknya. Sehingga dengan agama para umatnya hidup berketuhanan, berperikemanusiaan, dan berkeadaban mulia. Setiap insan beragama menjadi shaleh secara individual dan sosial, serta melahirkan sosok-sosok teladan yang otentik. Jujur dan tidak menjual belikan urusan agama. Beragama dan menyuarakan ajaran damai pun bukanlah retorika di pentas forum dan wacana megah, tetapi harus dalam perbuatan otentik. Para tokohnya pun lurus hati dan tidak seperti burung merak. Agama harus benar-benar menjadi rahmat bagi semesta.
Nilai luhur lain dalam hidup berbangsa ialah kebersamaan yang otentik atau genuin sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan kebudayaan bangsa. Tidak boleh segelintir orang menguasai Indonesia, yang menyebabkan hilangnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Tidak boleh seseorang atau sekelompok orang karena merasa digdaya lantas berbuat sekehendak dirinya, yang menyebkan kehidupan berbangsa secara kolektif menjadi retak berantakan. Apalagi manakala perangai ugal-ugalan itu mengatasnamakan keindonesiaan, kebhinekaan, dan Pancasila.

Jika semua merasa memiliki Indonesia maka belajarlah hidup dalam kebersamaan yang otentik dan tidak egoistik. Perlu saling membangun keadaban luhur dalam berbangsa dan bernegara. Mereka yang besar jangan menguasai, yang kecil pun tidak anarki. Semua harus saling berbagi, saling memahami, serta menjamin hak hidup yang damai dan saling memajukan dengan jiwa tulus tanpa pura-pura. "Mayoritas melindungi minoritas, minoritas menghormati dan menghargai mayoritas", tutur Presiden Joko Widodo. Lalu, untuk apa menguasai Indonesia dengan hasrat angkara?

14 Jurus Hegemoni Kapitalisme Dunia

14 Jurus Hegemoni Kapitalisme Dunia
Dwi Condro Triono, Ph.D

Jurus 1.
Sistem ekonomi kapitalisme mengajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan terwujud jika semua pelaku ekonomi terfokus pada akumulasi kapital. Mereka lalu menciptakan sebuah mesin “penyedot uang” yang dikenal dengan lembaga perbankan. Oleh lembaga ini, sisa-sisa uang di sektor rumah tangga yang tidak digunakan untuk konsumsi akan “disedot”.

Lalu siapakah yang akan memanfaatkan uang di bank tersebut? Tentu mereka yang mampu memenuhi ketentuan pinjaman (kredit) dari bank, yaitu: fix return dan agunan. Konsekuensinya, hanya pengusaha besar dan sehat sajalah yang akan mampu memenuhi ketentuan ini. Siapakah mereka itu? Mereka itu tidak lain adalah kaum kapitalis, yang sudah mempunyai perusahaan yang besar, untuk menjadi lebih besar lagi. Nah, apakah adanya lembaga perbankan ini sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan apa?

Jurus 2.
Kaum kapitalis merasa perlu membuat mesin “penyedot uang” yang lebih ampuh lagi, yaitu pasar modal. Dengan pasar ini, para pengusaha cukup mencetak kertas-kertas saham untuk dijual kepada masyarakat dengan iming-iming akan diberi deviden.

Siapakah yang memanfaatkan keberadaan pasar modal ini? Dengan persyaratan untuk menjadi emiten dan penilaian investor yang sangat ketat, lagi-lagi hanya perusahaan besar dan sehat saja yang akan dapat menjual sahamnya di pasar modal ini. Siapa mereka itu? Kaum kapitalis juga, yang sudah mempunyai perusahaan besar, untuk menjadi lebih besar lagi. Adanya tambahan pasar modal ini, apakah sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan apa lagi?

Jurus 3.
Kaum kapitalis lalu mengunakan jurus ketiga, yaitu “memakan perusahaan kecil”. Bagaimana caranya? Menurut teori Karl Marx, dalam pasar persaingan bebas, ada hukum akumulasi kapital (the law of capital accumulations), yaitu perusahaan besar akan “memakan” perusahaan kecil. Contohnya, jika di suatu wilayah banyak terdapat toko kelontong yang kecil, maka cukup dibangun sebuah mal yang besar. Dengan itu toko-toko itu akan tutup dengan sendirinya.

Dengan apa perusahaan besar melakukan ekspansinya? Tentu dengan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jurus 4.
Agar perusahaan kapitalis dapat lebih besar lagi, mereka harus mampu memenangkan persaingan pasar. Persaingan pasar hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang dapat menjual produk-produknya dengan harga yang paling murah. Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan mengusai sumber-sumber bahan baku seperti: pertambangan, bahan mineral, kehutanan, minyak bumi, gas, batubara, air dsb. Dengan apa perusahaan besar dapat menguasai bahan baku tersebut? Tentu dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jurus 5.
Jika perusahaan kapitalis ingin lebih besar lagi, maka jurus berikutnya adalah “mencaplok” perusahaan milik negara (BUMN). Kita sudah memahami bahwa perusahaan negara umumnya menguasai sektor-sektor publik yang sangat strategis, seperti: sektor telekomunikasi, transportasi, pelabuhan, keuangan, pendidikan, kesehatan, pertambangan, kehutanan, energi dsb. Bisnis di sektor yang strategis tentu merupakan bisnis yang sangat menjanjikan, karena hampir tidak mungkin rugi. Lantas bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan mendorong munculnya Undang-Undang Privatisasi BUMN. Dengan adanya jaminan dari UU ini, perusahaan kapitalis dapat dengan leluasa “mencaplok” satu-persatu BUMN tersebut. Tentu tetap dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jurus 6.
Jika pada jurus kelima kaum kapitalis sudah mulai bersinggungan dengan UU, maka sepak terjangnya tentu akan mulai banyak menemukan hambatan. Bagaimana cara mengatasinya? Jurusnya ternyata sangat mudah, yaitu dengan masuk ke sektor kekuasaan itu sendiri. Kaum kapitalis harus menjadi penguasa, sekaligus tetap sebagai pengusaha.

Untuk menjadi penguasa tentu membutuhkan modal yang besar, karena biaya kampanye itu tidak murah. Bagi kaum kapitalis hal itu tentu tidak menjadi masalah, sebab permodalannya tetap akan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jika kaum kapitalis sudah mencapai 6 jurus ini, maka hegemoni ekonomi di tingkat nasional hampir sepenuhnya terwujud. Hampir tidak ada problem yang berarti untuk dapat mengalahkan kekuatan hegemoni ini. Namun, apakah masalah dari kaum kapitalis sudah selesai sampai di sini? Tentu saja belum. Ternyata hegemoni ekonomi di tingkat nasional saja belumlah cukup. Mereka justru akan menghadapi problem baru. Apa problemnya?

Problemnya adalah terjadinya ekses produksi. Bagi perusahaan besar, yang produksinya terus membesar, jika produknya hanya dipasarkan di dalam negeri saja, tentu semakin lama akan semakin kehabisan konsumen. Lantas, kemana mereka harus memasarkan kelebihan produksinya? Dari sinilah akan muncul jurus-jurus berikutnya, yaitu jurus untuk melakukan hegemoni di tingkat dunia.

Jurus 7.
Ketujuh adalah jurus untuk membuka pasar di negara-negara miskin dan berkembang yang padat penduduknya. Caranya adalah dengan menciptakan organisasi perdagangan dunia (WTO), yang mau tunduk pada ketentuan perjanjian perdagangan bebas dunia (GATT), sehingga semua negara anggotanya akan mau membuka pasarnya tanpa halangan tarif bea masuk, maupun ketentuan kuota impornya (bebas proteksi).

Dengan adanya WTO dan GATT tersebut, kaum kapitalis dunia akan dengan leluasa dapat memasarkan kelebihan produknya di negara-negara “jajahan”-nya. Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaga andalannya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jurus 8.
Jika kapitalis dunia ingin lebih besar lagi, maka jurusnya tidak hanya cukup dengan mengekspor kelebihan produksinya. Mereka harus menggunakan jurus yang kedelapan, yaitu membuka perusahaannya di negara-negara yang menjadi obyek ekspornya. Caranya adalah dengan membuka Multi National Coorporations (MNC) di negara-negara sasarannya.

Dengan membuka langsung perusahaan di negara tempat pemasarannya, mereka akan mampu menjual produknya dengan harga yang jauh lebih murah. Strategi ini juga sekaligus dapat menangkal kemungkinan munculnya industri-industri lokal yang berpotensi menjadi pesaingnya.

Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jurus 9.
Apakah dengan membuka MNC belum cukup? Jawabnya tentu saja belum. Masih ada peluang untuk menjadi semakin besar lagi. Caranya? Dengan jurus kesembilan. Jika kapitalis dunia ingin menjadi besar lagi, caranya adalah dengan menguasai sumber-sumber bahan baku yang ada di negara tersebut.

Untuk melancarkan jalannya jurus ini, kapitalis dunia harus mampu mendikte lahirnya berbagai UU yang mampu menjamin agar perusahaan asing dapat menguasai sepenuhnya sumber bahan baku tersebut. Contoh yang terjadi di Indonesia adalah lahirnya UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan jaminan bagi perusahaan asing untuk menguasai lahan di Indonesia sampai 95 tahun lamanya (itu pun masih bisa diperpanjang lagi). Contoh UU lain, yang akan menjamin kebebasan bagi perusahaan asing untuk mengeruk kekayaan SDA Indonesia adalah: UU Minerba, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dsb.

Jurus 10.
Menguasai SDA saja tentu belum cukup bagi kapitalis dunia. Mereka ingin lebih dari itu. Dengan apa? Jurus kesepuluh adalah jurus untuk menjadikan harga bahan baku lokal menjadi semakin murah. Caranya adalah dengan menjatuhkan nilai kurs mata uang lokalnya.

Untuk mewujudkan keinginannya ini, prasyarat yang dibutuhkan adalah pemberlakuan sistem kurs mengambang bebas bagi mata uang lokal tersebut. Jika nilai kurs mata uang lokal tidak boleh ditetapkan oleh pemerintah, lantas lembaga apa yang akan berperan dalam penentuan nilai kurs tersebut?

Jawabannya adalah dengan Pasar Valuta Asing (valas). Jika negara tersebut sudah membuka Pasar Valasnya, maka kapitalis dunia akan lebih leluasa untuk “mempermainkan” nilai kurs mata uang lokal, sesuai dengan kehendaknya. Jika nilai kurs mata uang lokal sudah jatuh, maka harga bahan-bahan baku lokal dijamin akan menjadi murah, kalau dibeli dengan mata uang mereka.

Jurus 11.
Kesebelas adalah jurus menjadikan upah tenaga kerja lokal bisa menjadi semakin murah. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan melakukan proses liberalisasi pendidikan di negara tersebut, yaitu dengan melakukan intervesi terhadap UU Pendidikan Nasionalnya. Apa targetnya?

Jika penyelenggaraan pendidikan sudah diliberalisasi, berarti pemerintah sudah tidak bertanggung jawab untuk memberikan subsidi bagi pendidikannya. Hal ini tentu akan menyebabkan biaya pendidikan akan semakin mahal, khususnya untuk pendidikan di perguruan tinggi. Akibatnya, banyak pemuda yang tidak mampu melanjutkan studinya di perguruan tinggi.

Keadaan ini akan dimanfaatkan dengan mendorong dibukanya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak-banyaknya. Dengan sekolah ini tentu diharapkan akan banyak melahirkan anak didik yang sangat terampil, penurut, sekaligus mau digaji rendah. Hal ini tentu lebih menguntungkan, jika dibanding dengan mempekerjakan sarjana. Sarjana biasanya tidak terampil, terlalu banyak bicara dan maunya digaji tinggi.

Jurus 12.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, jurus-jurus hegemoni kapitalis dunia di negara lain ternyata banyak mengunakan intervesi UU. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan, kecuali harus dilengkapi dengan jurus yang keduabelas. Jurus inilah yang akan menjamin proses intervensi UU akan dapat berjalan dengan mulus. Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan menempatkan penguasa boneka. Penguasa yang terpilih di negara tersebut harus mau tunduk dan patuh terhadap keinginan dari kaum kapitalis dunia. Bagaimana strateginya?

Strateginya adalah dengan memberikan berbagai sarana bagi mereka yang mau menjadi boneka. Sarana tersebut, mulai dari bantuan dana kampanye, publikasi media, manipulasi lembaga survey, hingga intervesi pada sistem perhitungan suara pada Komisi Pemilihan Umumnya.

Nah, apakah ini sudah cukup? Jika kaum kapitalis sudah mencapai 12 jurus ini, maka hegemoni ekonomi di tingkat dunia nyaris terwujud. Hampir tidak ada problem yang berarti untuk dapat mengalahkan kekuatan hegemoni ini. Namun, apakah masalah dari kaum kapitalis sudah selesai sampai di sini? Tentu saja belum. Mereka tetap saja akan menghadapi problem yang baru. Apa problemnya?

Jika hegemoni kaum kapitalis terhadap negara-negara tertentu sudah sukses, maka akan memunculkan problem baru. Problemnya adalah “mati”-nya negara jajahan tersebut. Bagi sebuah negara yang telah sukses dihegemoni, maka rakyat di negara tersebut akan semakin miskin dan melarat. Keadaan ini tentu akan menjadi ancaman bagi kaum kapitalis itu sendiri. Mengapa?

Jika penduduk suatu negeri itu jatuh miskin, maka hal itu akan menjadi problem pemasaran bagi produk-produk mereka. Siapa yang harus membeli produk mereka jika rakyatnya miskin semua? Di sinilah diperlukan jurus berikutnya.

Jurus 13.
Agar rakyat negara miskin tetap memiliki daya beli, maka kaum kapitalis dunia perlu mengembangkan Non Government Organizations (NGO) atau LSM. Tujuan pendirian NGO ini adalah untuk melakukan pengembangan masyarakat (community development), yaitu pemberian pendampingan pada masyarakat agar bisa mengembangkan industri-industri level rumahan (home industry), seperti kerajinan tradisionil maupun industri kreatif lainnya. Masyarakat harus tetap berproduksi (walaupun skala kecil), agar tetap memiliki penghasilan.

Agar operasi NGO ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diperlukan dukungan dana yang tidak sedikit. Kaum kapitalis dunia akan senantiasa men-support sepenuhnya kegiatan NGO ini. Jika proses pendampingan masyarakat ini berhasil, maka kaum kapitalis dunia akan memiliki tiga keuntungan sekaligus, yaitu: masyarakat akan tetap memiliki daya beli, akan memutus peran pemerintah dan yang terpenting adalah, negara jajahannya tidak akan menjadi negara industri besar untuk selamanya.

Sampai di titik ini kapitalisme dunia tentu akan mencapai tingkat kejayaan yang nyaris “sempurna”. Apakah kaum kapitalis sudah tidak memiliki hambatan lagi? Jawabnya ternyata masih ada. Apa itu? Ancaman krisis ekonomi. Sejarah panjang telah membuktikan bahwa ekonomi kapitalisme ternyata menjadi pelanggan yang setia terhadap terjadinya krisis ini.

Namun demikian, bukan berarti mereka tidak memiliki solusi untuk mengatasinya. Mereka masih memiliki jurus pamungkasnya. Apa itu?

Jurus 14.
Jurus pamungkas dari kaum kapitalis untuk menghadapi krisis ekonomi ternyata sangat sederhana. Kaum kapitalis cukup “memaksa” pemerintah untuk memberikan talangan (bailout) atau stimulus ekonomi. Dananya berasal dari mana? Tentu akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sebagaimana kita pahami bahwa sumber pendapatan negara adalah berasal dari pajak rakyat. Dengan demikian, jika terjadi krisis ekonomi, siapa yang harus menanggung bebannya. Jawabnya adalah: rakyat, melalui pembayaran pajak yang akan terus dinaikkan besarannya, maupun jenis-jenisnya.

Bagaimana hasil akhir dari semua ini? Kaum kapitalis akan tetap jaya dan rakyat selamanya akan tetap menderita. Di manapun negaranya, nasib rakyat akan tetap sama. Itulah produk dari hegemoni kapitalisme dunia.(*)

Jumat, 25 November 2016

Nasehat Enteng Untuk Bung Jokowi

Nasihat Enteng untuk Bung Jokowi
Oleh:M Amien Rais, Mantan Ketua MPR RI

=============
Sedikit banyak, masyarakat yang pada 411 melakukan demo agar penegakan hukum dan keadilan atas skandal Ahok di Kepulauan Seribu, merasa lumayan lega begitu Ahok dijadikan tersangka.

Namun, dalam pengamatan saya, yang sejak semula ikut demo dan aksi damai sejak 14 Oktober, ada pertanyaan besar. Mengapa Ahok tetap bebas dan masih bisa mengumbar pernyataan yang kian memanaskan suasana?

Sebagai contoh pernyataannya bahwa Indonesia belum utuh dan Pancasila belum benar-benar berfungsi bila minoritas belum jadi Presiden. Juga celotehannya kalau sampai masuk penjara, justru dia akan jadi presiden seperti halnya Nelson Mandela di Afrika Selatan. Bahkan, Ahok menuduh setiap pendemo 411 dibayar Rp 500 ribu. Dia makin ngawur.

Bung Jokowi, mohon jangan menyalahkan para pendemo bila ada kesan kurang percaya pada pemerintahan Anda dalam menegakkan hukum dan keadilan pada Ahok. Anda sendiri sangat terlambat mengambil sikap tegas pada Ahok dan baru bersuara pada dini hari 5 November di Istana. Setelah Anda menyaksikan gelombang unjuk rasa yang terbesar dan paling merata sepanjang sejarah negara kita.

Bung Jokowi, kita mundur sebentar. Ketika lebih dari dua juta hektare hutan kita dibakar oleh puluhan perusahaan tahun lalu, Anda bereaksi keras karena menyadari hutan adalah tabungan kehidupan masa depan bagi seluruh umat manusia. Negara pun diperkirakan rugi Rp 200 triliun, Anda mengatakan agar perusahaan pembakar hutan dicabut izinnya dan diproses secara hukum.

“Sekali lagi saya ingin tegaskan bahwa tindakan hukum akan diambil dengan sangat tegas.” Kemudian, “Jangan hanya menyasar rakyat biasa, tetapi harus juga tegas dan keras pada perusahaan yang menyuruh membakar.”

Kenyataannya, sepanjang 2016, hanya ada satu perusahaan pembakar hutan jadi tersangka. Padahal bukan kerugian materiil saja yang harus diingat, ribuan anak bangsa yang sesak saluran pernapasannya, apalagi anak-anak, sesungguhnya merupakan kejahatan kemanusiaan.

Kini puluhan perusahaan yang diduga keras terlibat pembakaran hutan itu sudah mengantongi SP3 atau surat perintah penghentian penyelidikan dari kepolisian. Mereka tersenyum dan sudah berjalan lenggang kangkung, sementara kebanyakan rakyat hidup makin kembang-kempis. Kita jadi ingat omongan Ahok bahwa Anda tidak mungkin jadi presiden tanpa bantuan para pengusaha.

Bung Jokowi, tulisan ini tidak ada unsur SARA-nya. Bila ada orang menghina suku, agama, ras atau golongan tertentu, itu menyangkut SARA. Namun menyebut nama orang karena dia melakukan kejahatan, apa pun suku, agama, ras dan golongannya justru kita perlukan.

Bila SARA menjadi penghalang orang menyebut pelaku kejahatan karena takut menyinggung SARA tertentu, SARA semakin jadi momok penegak hukum dan keadilan. Masyarakat kita menjadi munafik karena pelaku kejahatan selalu melenggang bebas, tidak bisa dibuka karena takut menyinggung SARA.

Para cukong dewasa ini sudah sangat percaya diri dan sudah tinggi waktunya menggenggam ekonomi dan politik sekaligus. Mereka bahkan menuduh Letjen TNI Johanes Suryo Prabowo sebagai rasis gara-gara menasihati, “Bila Cina sedang berkuasa, jangan sok jago”.

Walaupun mereka sudah menggenggam kekuatan ekonomi nyaris sempurna, tetapi masih sesak napas, masih terkungkung dalam ghettoekonomi. Mereka bertanya apa salahnya bila mereka juga jadi bupati, wali kota, gubernur, menteri, dan lainnya.

Sekelebatan aspirasi mereka itu demokratis. Namun jangan lupa, Bung Jokowi, seorang Milton Friedman, dedengkot ekonomi neolib saja memperingatkan lewat pendapatnya, “The combination of economic and political power in the same hands is a sure recipe for tyrany”.

Bung Jokowi, mengapa saya sampaikan hal ini karena saya yakin kasus Ahok ini tidak berdiri sendiri. Ahok ini sebuah mata rantai kekuatan ekonomi yang sudah bercokol di Indonesia.

Tentu Anda lebih paham dari saya karena Anda di pusaran kekuatan itu sehingga kami paham bila Anda menghadapi pilihan sulit dalam penuntasan skandal Ahok. Untuk menyebut langsung nama Basuki Tjahaja Purnama saja, Anda perlu jeda 15 detik karena beban psikis yang Anda alami. Itu terekam di media sosial ketika Anda berkunjung ke PP Muhammadiyah.

Akhirnya saya ingin sampaikan nasihat entheng-enthengan untuk Anda. Jangan Anda pernah berilusi satu detik pun, Anda mampu meletakkan TNI dan Polri berhadap-hadapan dengan rakyat Indonesia sendiri. Sepekan yang lalu Anda bersafari sangat intensif ke markas-markas Kopassus, Kostrad, Brimob, Marinir, juga ke PBNU, PP Muhammadiyah, PKB, PPP, PAN, dan lainnya.

Ada pernyataan Anda yang mengagetkan bahwa selaku Presiden, Anda dapat menggerakkan Kopassus sebagai pasukan elite cadangan dalam keadaan darurat. Karena safari intensif Anda terjadi setelah demo 411, banyak yang membaca dengan tafsir ganda. Kalau ada musuh menyerang negara kita atau kalau ada pemberontakan separatis, pernyataan Anda itu sangat oke.

Namun kalau demo menuntut penegakan hukum dan keadilan, secara tersirat Anda kategorikan bisa menjadi bahaya (emergency) yang harus dihadapi dengan senjata TNI kita, Anda, maaf, salah besar. Salah total.

TNI, dengan Sumpah Prajurit dan Sapta Marganya, Polri dengan Tribrata dan Catur Setyanya hanya setia pada bangsa, negara, dan pemerintah. Namun loyalitas pada pemerintah ini tentu dengan catatan selama pemerintah masih konsisten dalam rel kepentingan bangsa dan negara. Bukan terseret pada kepentingan kelompok, apalagi kepentingan aseng dan asing.

Bung Jokowi, seragam gagah yang dipakai seluruh prajurit TNI, alutsista yang cukup mahal untuk memelihara integritas teritorial Indonesia, dan seluruh pendanaan latihan dan pendidikan TNI berasal dari uang rakyat.

Demikian juga yang berkaitan dengan kepolisian kita. Bahkan pesawat kepresidenan, helikopter yang membawa Anda dari satu tempat ke tempat lain, seluruh anggota paspampres dan biaya apa saja yang dibutuhkan seorang presiden berasal dari uang rakyat.

Rakyat Indonesia, bukan rakyat negara lain. Karena itu berpihaklah pada rakyat secara adil, termasuk umat Islam yang merupakan komponen terbesar rakyat Indonesia. Hari-hari ini lewat proses hukum, pemerintah segera menuntaskan dugaan penistaan Alquran dan ulama oleh Ahok. Di atas pasal dan ayat KUHP dan undang-undang (UU), rasa keadilan masyarakat tentu jauh lebih mendasar.

Nasihat saya, jangan gegabah. Unggulkan kepentingan bangsa dan rakyat sendiri. Apalagi melancarkan tuduhan ada aktor politik penunggang demo 411, ada rencana makar menjelang 212, diperparah lagi oleh JK dengan menyatakan safari kilat Anda pasca 411 bukan karena akan ada kudeta (tentu tambah memperunyam suasana). Akibatnya, sumber masalah jadi makin tertutupi.

Muncullah isu ada gerakan massa mau mengganti dasar negara dan merobohkan Jokowi, ada kekuatan anti-Bhineka Tunggal Ika, ada aspirasi ISIS di demo 411, ada penggalangan //people power// ala 1998, dan berbagai isu lain yang menyeramkan.

Masalah pokok kita adalah skandal Ahok. Titik! Selesaikan secara cepat, tegas, transparan, dan adil sesuai janji Anda. Jangan melebar, jangan bermain api.

Bung Jokowi, jadilah bagian dari solusi. Jangan menjadi bagian dari masalah. Bravo!

Sumber:

Kamis, 24 November 2016

Tiga Pendekar dari Chicago

Tiga Pendekar dari Chicago

Oleh: Abdurrahman Wahid

Generasi pertama cendekiawan muslim dari Universitas Chicago ada tiga orang, yaitu Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Hingga kini, merekalah yang dianggap mewakili angkatan pertama itu, karena belum muncul generasi keduanya.
Ketiga “pendekar” di atas ternyata tidak menampilkan citra yang sama dan padu seperti para alumni Universitas McGill di Montreal, Kanada. “Mafia McGill” hampir semuanya menjadi “agen pencerahan” yang bersikap serba-terbuka kepada “hal-hal baru”, termasuk gagasan kerukunan antarumat beragama. Mafia itulah yang kemudian menguasai Departemen Agama sejak Profesor A. Mukti Ali menjabat menteri agama, pada tahun 1970-an.
Walaupun beberapa dedengkotnya, seperti Kafrawi, M.A., dibantai oleh Menteri Agama Alamsyah  Ratuperwiranegara (1978-1983), toh secara keseluruhan mafia tersebut masih kukuh menopang kegiatan departemen itu. Hal itu terjadi karena kuatnya kohesi para anggotanya, mulai A. Mukti Ali dan Harun Nasution hingga yang baru pulang belakangan dari sana.
Itu lain halnya dengan para pendekar dari Chicago. Nurcholish Madjid berangkat dari keterbukaan sikap yang ditunjukkan peradaban Islam di puncak kejayaannya, sekitar sepuluh abad lalu: keterbukaan yang membuat Islam mampu menyerap yang terbaik, dari mana pun datangnya. Proses penyergapan itu menjadikan Islam agama yang sarat dengan nilai universal yang dianut umat manusia secara tidak berkeputusan. Karenanya, Nurcholish Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan.
Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia hanya akan menyempitkan Islam sendiri, sebagai cara hidup bagian cukup besar dari umat manusia. Inklusivitas Islam haruslah dipertahankan kalau vitalitas agama terakhir itu ingin dapat dilestarikan. Sebab, keharusan mengembangkan inklusivitas Islam itu, dalam pandangan Nurcholish, hanya dapat terwujud dalam lembaga politik formal Islam. Terkenal sekali semboyan Nurcholish: “Islam yes, partai politik (Islam) no”.
Sudah tentu pendekatan kultural Nurcholish Madjid itu bertabrakan langsung dengan pandangan Amien Rais. Wakil Ketua PP Muhammadiyah itu terkenal dengan orientasi “cara hidup Islami” yang ditumbuhkannya di kampus-kampus selama ini. Cara hidup tersebut bermula dari kesungguhan berpegang pada Islam sebagai sumber nilai-nilai yang unik.
Nilai-nilai tersebut dapat saja dikembangkan umat agama atau paham lain, tetapi sebagai sistem akan memiliki kekhasan sendiri. Menurut pandangan ini, mau tidak mau kaum muslim harus memperhatikan dunia politik, yang akan melestarikan kekhasan Islam melalui pelestarian nilai-nilainya dalam sebuah sistem sosial yang utuh. Arti kekuasaan politik menjadi sangat penting sebagai alat upaya pelestarian itu.
Itu lain halnya dengan pandangan Syafi’i Ma’arif, yang tidak begitu risau dengan prospek kekhasan Islam sebagai sebuah sistem seperti anggapan Amien Rais. Ia lebih dekat pada pandangan Nurcholish, yang mengutamakan aspek kultural Islam. Tetapi, sebagai “orang organisasi”, ia juga menekankan arti penting upaya memasuki pusat-pusat kekuasaan (power centers).
Dengan memiliki kewenangan pemerintahan, orang-orang gerakan Islam (Islamic movements) dapat lebih jauh lagi mengembangkan Islam sebagai “budaya bangsa”. Mungkin akan lebih nges kalau pandangan ini disemboyankan sebagai “Islam yes, politik Islam yes”.
Cukup besar perbedaan antara ketiga pandangan itu. Dan itulah yang menjadi ciri “kesatuan” antara ketiga pendekar Chicago itu. Mereka sama-sama memiliki komitmen untuk mengembangkan Islam sebagai cara hidup, dalam bentuk sistematik atau “hanya” kultural. Mereka juga sama-sama merasakan kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan kaum muslim di segala bidang, untuk mengejar ketertinggalan mereka selama ini.
Untuk itu, mereka sependapat tentang perlunya perubahan mendasar dalam pandangan hidup kaum muslim: etos dan disiplin kerja serta etika sosial mereka. Dalam merumuskan kelayakan upaya-upaya itulah terjadi “perbedaan dalam kesatuan” antara mereka bertiga.
Nurcholish, dalam kegairahan meneguk “air kehidupan” dari berbagai sumber, melontarkan “kesamaan dasar” antara Islam dan agama-agama besar lain, yang terwujud dalam nilai-nilai universal yang dimilikinya. Kontan pandangan “aneh” ini digebuk beramai-ramai oleh kalangan umat (baca: gerakan) Islam. Ridwan Saidi dan Daud Rasyid “menguliti”-nya tanpa kasihan dan menuntut agar Nurcholish “bertobat”.
Sebenarnya, kalaupun Nurcholish dapat dipersalahkan, hal itu hanya terletak pada generalisasinya atas “kesamaan” antara Islam dan agama-agama lain. Ia tidak merumuskan hal itu sebagai sesuatu yang relatif, yang masih memungkinkan Islam dibedakan secara kategoris dari sudut pandang teologis.
Bagaimanapun, hal seperti itu tidak akan bisa diterima umat Islam. Ia seharusnya menyatakan bahwa secara teologis ada perbedaan esensial antara semua agama di dunia karena unikum masing-masing. Namun unikum itu harus “dikendalikan” dan “dipertalikan” dengan memberikan perlakuan dan kedudukan yang sama bagi semua warga negara di mata hukum negara. Kalau ini yang dikemukakannya, tentu tak ada yang keberatan terhadap pandangan Nurcholish.
Yang menarik, kedua pendekar lainnya dari Chicago tidak membelanya dari serangan Ridwan Saidi. Itu berarti antara mereka tampaknya tidak ada hohesi kuat. Benarkah demikian?

Tulisan ini disalin ulang dari Tempo No.9/XXII 27 Maret 1993

Rabu, 23 November 2016

Mengerucutkan Arus Massa Islam

Mengerucutkan Arus Massa Islam
-dari aneka tangkisan Kapolri sampai Penahanan Bun Yani

Andi Hakim

Yang membuat kita heran sampai hari ini adalah pemerintah Djokowi masih percaya bahwa penggunaan rekomendasi mitigasi konflik ala mitigasi bencana adalah yang paling tepat untuk membendung arus banjir protes umat Islam atas tuduhan penistaan agama Ahok. Bahwa seolah-olah aksi unjuk rasa damai umat Islam  yang merupakan bagian dari demokrasi yang sehat dianggap bencana.

Pernah kita bahas sebelumnya jika mitigasi, adalah pendekatan manajemen resiko yang intinya memonitoring dan mengatasi resiko yang berpotensi menjadi bencana. Lewat asumsi ini pemerintah melihat arus massa Islam dengan kaca mata kecurigaan dan berpeluang menggulingkan kekuasaan. Sehingga respon melalui pendekatan mitigasi ala bencana banjir ini dianggap yang paling tepat.

Beberapa pendekatan mitigasi tadi perlu kita ulang dengan beberapa tambahan.

1. Pendekatan "blame it on the rain".
Cara yang paling mudah menuduh aksi umat Islam tentu dengan cara menyalahkan hujan. Tepat setelah menganggap aksi damai umat islam 4/11 tidak lebih penting daripada mengawasi proyek kereta api di Bandara, Djokowi tiba-tiba mengadakan rapat darurat dan muncul dengan jaket penerbang. Ia menyebut jika aksi umat islam diotaki aktor intelektual.  Istilah aktor intelektual inilah yang kita sebut dengan teknik menyalahkan hujan. Mereka tetap akan menjadi anonimous atau tidak akan pernah dibuktikan. MIrip dengan menyalahkan hujan sebagai penyebab banjir.

2. Teori kill chicken scary monkeys.

Setelahnya dengan mudah dan dengan cara-cara di luar kewajaran polisi melakukan operasi pencidukan baik paksa maupun soft. Pencidukan paksa dilakukan misalnya pada 5 aktivis HMI dan pencidukan soft dilakukan dengan mengundang Bun Yani, orang yang disebut penyebar video Ahok di pulau seribu sebagai saksi.

Lewat penangkapan ini sebenarnya ada dua tujuan mitigasi yang dilakukan. Pertama membenarkan jika ada ada aktor intelektual di balik Aksi 4/11 yaitu para mahasiswa, anggota HMI. Kedua dengan penangkapan Bun Yani mesti ada proses lain yang akan dihubung-hubungkan dan dikaitkan dengan serangan misalnya ke tim Anies-Uno.  Teknik menciduk mahasiswa dan bun Yani yang katanya memanfaatkan sosial media adalah cara-cara menggertak monyet dengan membunuh ayam.

3. Melakukan kanalisasi.
Pemerintah menciptakan kanalisasi guna memecah arus besar aksi umat islam lewat kategori-kategorisasi. Tujuan kanalisasi adalah memperlemah arus dan mengosongi kantong massa.

Misalnya jika kita perhatikan sebelum dan setelah aksi 4/11 Djokowi melakukan pendekatan kepada the so called kelompok-kelompok massa besar Islam yang telah dikanalisasi dengan predikat islam moderat. Sementara peserta aksi digolongkan kepada Islam garis keras, Islam Wahabi, Islam anti kebhinekaan, islam politik, dan islam yang ditunggangi.

Kanalisiasi tadi melalui dua arus besar yaitu Islam moderat dalam hal ini kelompok NU, MUhammadiyah dan ditambah massa islam nanggung beriman yang ribut di med-sos tapi jarang ke masjid versus islam yang sakit hati dan senang turun ke jalan. 

Bila kita perhatikan ada perbedaan mitigasi antara sessi pra aksi dan pasca aksi. Di pra misalnya Djokowi  masih menganggap NU, Muhammadiyah yang harus datang ke Istana, maka pada sessi pasca aksi 4/11, ia yang berblusuk-blusukan ke kantor-kantor dan menghadiri kegiatan NU, MUhammadiyah lengkap dengan perangkat keislaman, seperti kopiah dan asalamualaikum.

4. Pameran Antisipasi
Setelah ketiga tahap tadi, maka langkah mitigasi lanjutannya adalah aneka blusukan internal dengan mendatangi tentara, mengundang elit politik, yang tujuannya adalah pameran antisipasi. Ia meskipun caranya keliru ingin menunjukkan bahwa semua angkatan dan partai-partai ada di belakangnya untuk terus menjaga keutuhan NKRI dari ancaman politik Islam. Semacam diplomasi show of force, bahwa saiya jangan coba-coba dijatuhkan lewat isu penistaan agama oleh Ahok.

Yang dikerjakannya mirip kantor BNPB pameran alat-alat penanggulangan banjir seperti mesin kompa banjir, perahu karet, ban penyelamat, tenda darurat dan dapur umum. Bahwa kami siap siaga menyambut banjir berikutnya dan siap mengantisipasi.

4. Stealing time. Mencuri waktu
Pendekatan mitigasi selanjutnya adalah stealing time. Sebenarnya cara inilah yang sekarang paling sering digunakan untuk melemahkan tuntutan umat islam agar Ahok ditahan karena penistaan agama.

Lewat proses buang-buang waktu, pemerintah berpikir akan mengurangi energi banjir solidaritas umat Islam atas penistaan agama. Aneka isu mulai dari makar sampai penarikan uang besar-besaran di semua ATM adalah paket-paket isu untuk mencuri waktu. Mengulurnya dengan tujuan agar kasus penistaan Ahok ini punah dan berlanjut mulus dengan langkah-langkah politiknya.

Termasuk penetapan Ahok sebagai tersangka tanpa penahanan namun Kepala Polisi Nagari dengan cara-cara diluar kebiasaan menciduk terduga mahasiswa dan netizern bun Yani sebagai tukang bikin ricuh. Munculnya kegancilan ini memang sengaja diciptakan untuk membangun wacana rasa keadilan yang nantinya akan menghabiskan waktu juga bila dibahas.


KESIMPULAN

Jika kita lihat perkembangan selanjutnya maka yang terjadi di luar perkiraan akan terjadi. 

1. Bahwa tersangka Ahok yang bebas tanpa penahanan dengan mudah akan merusak rasa keadilan umat Islam dan juga tentu masyarakat kita. Bagaimana mungkin mahasiswa Hmi dan Bun Yani serta para tersangka penistaan agama lainnya ditahan, Ahok begitu bebasnya. Sedemikian bebas sehingga ia dibiarkan saja memberikan satu interview dengan media asing dan menuduh para peserta Aksi Damai Umat Islam 4/11 dibayar 500 ribu per orang.

2. Bahwa pemerintah melakukan ancaman-ancaman via isu subversif/ makar adalah cara-cara orde baru yang bukan hanya ketinggalan zaman tetapi mensumirkan definisi kata "makar" sebagai tindakan fisik tidak menyenangkan itu sendiri.

Melalui aparatur-aparatur kekuasaannya pemerintah menciptakan teror makar termasuk pelarangan penayangan ILC karena dianggap mengganggu kebhineka tunggal ikaan dan menyebarkan kebencian SARA. Sementara tuduhan-tuduhan Ahok bahwa peserta aksi 4 November lalu yang dihadiri ratusan ribu umat islam di Jakarta saja telah menerima bayarang 500 ribu tidak dianggap sebagai sebuah ujaran kebencian.

Yang lebih parahnya lagi bahwa alasan kebijakan anti subversif ini disebutnya dengan sangat tidak profesional dipertimbangkan karena info itu didapatnya dari google.

Selanjutnya ia menggunakan cara-cara norak menyebarkan surat edaran lewat helikopter yang bukan hanya menganggap media sharing seperti applikasi twitter, facebook, atau instagram sebagai tidak berfaedah tetapi menghabiskan biaya besar.

Lewat tudingan seperti ini Kepala kepolisian Nagari Toto, sedang mengancam arus banjir solidaritas umat islam dengan siraman air.

3. Pada kenyataannya, apa yang dilakukan dengan teknik mitigasi ini adalah sekali lagi hanyalah stealing time. Pemerintah membelah arus umat islam dengan sasaran-sasaran banjir yang berbeda-beda untuk sekali lagi mengurangi energi.

Hanya sayangnya penanganan kasus penistaan agama oleh Ahok ini hanya mengerucutkan arus soldiaritas umat islam semakin kuat saja. Bahwa bukan hanya penistaan agama telah dilakukan namun pemerintah terkesan telah melakukan penistaan terhadap rasa keadilan.

Selasa, 22 November 2016

Perang di Suriah Lagi

Perang di Suriah Lagi
Oleh Andi Hakim

Sebelumnya saiyah ucapkan terimakasih kepada pemirsah yang telah mengatakan bahwa analisis saiya mengenai konflik di Suriah sangat bagus dan sesuai dengan kenyataan.

Pada pujian yang seperti ini kita katakan bahwa perang di suriah berkembang dengan alur yang tak dapat diduga dengan mudah. Sehingga semua pendekatan analisa konflik mulai dari isu sektarian suni versus syiah, isu regime jahat versus rakyat, demokratis versus otoriter, teori proxy war sampai teori kutukan sumber daya alam dapat digunakan untuk membacanya. Dengan hasil analisisnya yang sebenarnya hanya dapat menduga-duga atau mendekati saja.

1.00
Ini pertama bahwa perang di suriah telah beberapa kali bertransformasi. Di mulai dengan konflik sektarian ke isu Arab-Springs, lalu ke desentralisasi dan muncul perang melawan teroris islam (ISIL) yang muncul entah darimana dengan truk-truk Toyota yang dilengkapi senjata berat anti pesawat. Kemudian berlanjut dengan kehadiran apa yang disebut oleh Aliansi Barat dengan milisi suriah moderat dan kini (mungkin belum yang terakhir) adalah kampanye dunia yang dimotori Barat untuk melawan ancaman ISIL pasca serangan aliansi Suriah-Iran-Iran-Rusia dan false-flag teror di Paris.

Melihat perkembangan seperti ini sebenarnya kita juga sedang menyaksikan pula perubahan kebijakan luar negeri barat. Bahwa berkepanjangannya perang di Suriah tidak lepas dari intervensi mereka. Selain bahwa dengan melakukan serangan-serangan ke wilayah Suriah tanpa persetujuan pemerintahan Assad mereka secara terbuka mengintervensi negara berdaulat dan melanggar konvensi Jenewa PBB.

Artinya, perubahan transformasi perang di Suriah memang tidak dapat tidak adalah perubahan arah politik luar negeri Eropa. Yang akan tetap sama namun berobah pola dengan menyamarkannya dalam aksi-aksi yang seolah-olah berbeda.

2.00
Persoalan kedua  seperti pernah kita tuliskan di forum ini, adalah setelah serangan Paris yang mengatasnamakan ISIL, apakah eropa punya cukup kekuatan untuk memulai kampanye besar-besaran dan terbuka ke Suriah?. Serangan di Paris dapat menjadi Exit Strategy Prancis untuk keluar dari persoalan Suriah ataukah ia akan diteruskan menjadi Enter Strategy bagi barat untuk membuat kedua negara Irak dan Suriah hancur berantakan (failed-state) seperti halnya terjadi pada Libya.

Kekosongan kekuasaan di Libya pasca terbunuhnya Qadafi adalah rencana dari politik luar negeri Barat untuk membuat mereka lebih mudah menguasai sumber daya minyak di utara negeri itu yang kaya. Meskipun barat berkali-kali menyebutnya sebagai proses demokratisasi, membela rakyat dari rejim serta, menghilangkan ancaman bagi Israel namun persoalan keserakahan adalah faktor utama dari tidak pernah hilangnya nalar kolonialisme dalam otak orang Barat.

Stayangnya srategi failed states ini tidak terlalu mulus terjadi di Irak. Bermula dengan teror yang menyasar masjid-masjid dan komunitas dua kelompok Suni dan Syiah dengan tujuan devide et empera. Pernyataan dua Ulama Besar Irak Ali Sistani dan Baqir As Sadr untuk menahan diri pada apapun bentuk teror yang tujuannya menaikkan eskalasi konflik Suni-Syiah telah membangun komitmen bersama bagi warga Irak terutama di bagian selatan, untuk mendefiniskan dengan tepat bahwa musuh mereka sebenarnya adalah kedatangan tentara sekutu yang dipimpin AS.

Serangan-serangan milisi Irak baik Suni maupun syiah mulai diarahkan kepada tentara AS. Kampanye anti penjajah di Irak yang semakin kuat dan tuntutan dibentuknya pemerintahan mandiri rupanya membuat Obama mengambil inisiatif menarik mundur seluruh pasukan mereka setelah 10 tahun bercokol di sana. Meskipun demikian, kebanyakan orang Irak percaya bahwa keluarnya AS dari Irak adalah strategy exit door enter window sekedar keluar pintu tetapi masuk kembali lewat jendela.

Titik kesadaran tentang perlunya persatuan ini yang membuat strategi "failed state" di Libya tidak dapat dilaksanakan di Irak.

Strategi yang sama juga tidak dapat digunakan di Suriah. Dalam lima tahun perang terakhir di Suriah dan Irak menunjukkan jika aliansi-aliansi pro pemerintah baik di Damaskus maupun di Baghdad menunjukkan adanya jiwa korsa nasionalisme baru Arab Suriah. Kedatangan mersenaris (tentara bayaran) yang mengatasnamakan ISIL telah difahami sebagai ancaman baik politik, budaya dan ekonomi. Tumbuhnya aliansi Irak-Iran-Suriah-Rusia dengan Lebanon (Hizbullah) ada bukti jika poros perlawanan (the resistance groups) justu bertambah anggotanya di kawasan regional terutama dalam memerangi kepentingan Barat. 

3.00
Serangan Rusia yang dikoordinasikan dengan perang intelejen-elektronik-manual yang melibatkan aliansi perlawanan terhadap basis-basis ISIL tentu semakin tidak menyenangkan bagi aliansi sekutu (AS-Eropa-Arab Saudi-Qatar-Turki). Agenda yang mereka persiapkan untuk memperlemah posisi Assad sekarang dalam kondisi kritis dan tidak dapat lagi diharapkan. Barat membutuhkan a false flag sebagai exit strategy atau enter strategty mereka di kawasan ini.

Bahwa kenyataannya dari yang sudah-sudah, elit politik pro perang di Barat tidak terlalu banyak dapat diharapkan untuk berubah sikap. Serangan di Paris, ancaman kedatangan Imigran dan pengungsi Suriah adalah pre-text untuk dimunculkannya undangan-undang keamanan umum yang membuat posisi negara menjadi lebih kuat di mata publik.

Seperti kita lihat pasca serangan di Paris, Hollande membalas dengan memerintahkan pesawat-pesawat Prancis menyerang posisi ISIS. Sekali lagi tindakan yang dilakukan tanpa otoritas dari pemerintah Suriah maupun PBB. Artinya mereka tetap dalam kebiasaan untuk bertindak seperti terorist tetapi kali ini dalam wujud negara.

Apa tujuan dari serangan ini, ada tiga hal yang dapat kita susun sebagai asumsi: Pertama menjadi dasar bagi keluarnya UU anti imigran/pengungsi ke negara2 Schengen, kedua sebagai -testing the water- bagaimana persepsi publik Prancis terhadap kemungkinan serangan militer. Ketiga adalah cara bagaimana Prancis tetap eksis dan dianggap dalam konflik di Suriah. Mereka mengharapkan apa yang memang diharapkan dari tujuan perang ini, yaitu konsensi ke sumber daya Suriah berikut turunan2nya seperti proyek pipanisasi energi ke eropa.

Hanya saja kali ini tidak terlalu mudah bagi pemerintah negara-negara Barat untuk mencari dukungan publik. Mengingat pasca Charlie Hebdo, pandangan publik Prancis dan eropa tidak lagi sepenuhnya berpihak pada politik intervensi dan bahkan cenderung menyalahkan pemerintah mereka yang ikut camput. (Scholman:2015).

Sikap yang sama juga ditunjukkan publik Inggris, dimana kali ini serangan di Paris terpaksa dijadikan pre-text bagi munculnya proposal Tory (sebutan dua partai politik di Inggris) untuk serangan Inggris di Suriah. Sebelumnya pemerintah Inggris tidak membutuhkan hal-hal seperti ini untuk bertindak internvesionis di Irak dan Libya.

4.00
Jika boleh mengatakan apa dan bagaimana kelanjutan perang di Suriah, kita masih belum dapat memprediksikannya karena sekali para pemain dalam hal ini yaitu pemerintah2an hipokrit Barat selalu akan mencari jalan memainkan agendanya. Menjatuhkan Assad yang cerdas dan dianggap berbahaya bagi kepentingan ekonomi-politik energi mereka di kawasan. Artinya mereka (barat) akan tetap memilih opsi Enter Strategy.

Meskipun hal ini tidak akan mudah dan sangat beresiko, mengingat aliansi perlawanan Iran-Irak-Suriah-Lebanon-Rusia dapat mengambil tindakan yang juga tidak dapat kita prediksikan dengan mudah.